Abad kejumudan Islam ditandai dengan berbagai sikap para pemeluknya
untuk menolak segala bentuk yang baru, apalagi yang datangnya dari luar. Sikap
curiga, hati-hati, rendah diri, uzlah dan masa bodoh terhadap perkembangan
keadaan dijadikan peluang yang paling empuk bagi kaum penjajah untuk tetap
bertahan dalam daerah jajahan, dan kalau perlu mencari tambahan.
Akibatnya pada pertengahan abad ke 19 hampir semua negara yang
mayoritas penduduknya Muslim menjadi daerah jajahan. Berlarut-larut penguasa
asing terutama Inggris, Belanda, Perancis, Italia, Rusia menaklukan
wilayah-wilayah Islam dan menjajahnya.
Belanda memasuki Indonesia tahun 1606 M, Inggris memasuki India
tahun 1757, memasuki Malaka tahun 1811, memasuki Aden dan Laut Merah tahun
1839, memasuki Arabia Selatan dan Timur tahun 1840, memasuki Mesir tahun 1882,
memasuki Sudan 1898.
Tujuan dan misi para penjajah ini adalah untuk memisahkan kaum
Muslimin dari agama Islam dan mengkristenkan pemeluk Islam.[1]
Dalam menghadapi kaum penjajah yang dengan berbagai cara mereka
lakukan guna melemahkan darah taklukan, maka kaum Muslimin memiliki sikap yang
bermacam-macam. Ada kalanya mereka terus melakukan perlawanan dengan penuh
semangat kepahlawanan, dan ada pula yang lari dari kenyataan kemudian
mengasingkan diri ke tempat yang dianggap sepi sambil mendambakan kebahagiaan
ukhrawi. Nasib duniawi mereka tinggalkan karena hanya menimbulkan melahirkan
sengketa, permusuhan serta perebutan kekuasaan. Dengan demikian menjadi hidup
suburlah paham kesufian dalam pemahaman yang amat dangkal. Mereka hanya
mementingkan hubungan hablun minallah,
sedangkan hubungan hablun minannas kebanyakan meraka abaikan. Timbullah kesan,
seakan-akan masalah Islam hanyalah yang menyangkut segi ritual atau ibadah
dalam arti sempit, sedang di bidang muamalah sama sekali buta.
Kebencian Kaum Muslim
Timbul kebencian kaum Muslimin terhadap pemerintahan Inggris, hal
ini dipicu karena kedudukan kaum Muslim yang rendah di India. Seperti telah
terjadi diskriminasi terhadap kaum Muslim di India. Kebencian yang dibumbui
perasaan emosional melahirkan sikap rasional, menolak segala yang datang dari
pihak lain tanpa mempertimbangkan baik buruknya, maupun manfaat dan
madharatnya.
Kebencian terhadap ilmu pengetahuan dari Barat malah mengakibatkan
kemunduran bagi umat Islam di India sendiri, sedangkan orang-orang Hindu sudah
jauh melangkah maju dalam langkah lapangan ilmu pengetahuan karena mereka
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya mengeruk sebanyak mungkin ilmu
pengetahuan yang berasal dari Barat itu.
Di tengah situasi kebencian kaum Muslim ini munculah seorang
mujahid Islam yang memikirkan nasib umat Islam serta pendidikan yang
ketinggalan dari kaum lainnya ketika itu, dia adalah Sayyed Ahmad Khan.
Sayyed Ahmad Khan
Lahir pada tahun 1817, Sayyed Ahmad Khan seperti ditakdirkan
mengisi kesenjangan kepemimpinan yang terjadi di kalangan masyarakat India masa
itu. Ke kalangan atas, hubungannya dengan orang-orang besar berlangsung
leluasa. Intelektualitasnya tinggi, pandangannya tajam. Kecepatannya menangkap
pengertian sangat mengagumkan, terutama membaca fikiran sebelum hal itu
diucapkan orang.
Nenek moyang Sayyed Ahmad Khan sangat terkenal di medan perang,
namun karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, maka mereka juga
menganggap dirinya memiliki kekeramatan rohani juga[2].
Ayah Sayyed Ahmad Khan yang bernama Mir Muttaqi adalah seorang
pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayid maka ia juga memperoleh pengaruh
besar dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II.
Kakeknya Khwaja Fariduddin adalah panglima perang yang di kemudian hari diberi
kedudukan agamis semi-hakim oleh kaisar Mughal dan menjadi perdana menteri
selama delapan tahun di istana Mughal.
Peran Sir Sayyed Ahmad Khan di India
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya[3]. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi
Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar :
18)
Ajaran Al-Quran diatas dijalankan dan dipraktekan oleh Sayyed Ahmad
Khan guna memperbaiki nasib umat Islam India, yang pada waktu itu sedang
ditimpa penyakit jamid (beku berpikir) dan jahid (reaksioner). Dengan memetik
serta menyeleksi mana yang paling baik, walaupun datangnya dari barat, maka
pada tahun 1867, dia menulis “Wajiblah kita mempelajari kitab-kitab ilmu
pengetahuan Barat, meskipun pengarangnya bukan orang Islam dan di dalamnya
menyalahi Quran suci. Kita harus meniru cara orang Arab zaman dahulu, yang
tidak takut akan kehilangan imannya karena mempelajari kitab Pythagoras”.[4]
Dengan Semboyan “Tolonglah dirimu sendiri, hanya dengan demikian
engkau akan maju”. Sayyed Ahmad Khan bangkit membangunkan umat Islam India yang
sedang malas, sikap puas, dan tidur pulas, membangunkan, menyadarkan mereka
dari kemunduran dan keterbelakangan dengan menganjurkan agar mereka menuntut
ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, sekalipun ilmu pengetahuan itu datangnya
dari Barat.
Sebagai tindak lanjut dari anjurannya itu, maka pada tahun 1875 ia
mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama “Aligarh College” yang bertujuan
mencetak dan melahirkan pemimpin dan sarjana-sarjana Muslim yang mampu
mewujudkan masyarakat Islam modern sesuai dengan tuntutan zaman, namun tetap
berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam.
Perguruan “Aligarh College” ini dalam perkembangan selanjutnya
tidak hanya menerima mahasiswa Muslim saja, tetap juga memberi kesempatan pula
kepada orang-orang Hindu dan Kristen untuk memasukinya, sehingga perguruan
tersebut menjadi terkenal dan ramai dikunjungi orang. Satu hal yang ditekankan
di sini ialah bagi mahasiswa yang beragama Islam diwajibkan mengikuti mata
kuliah agama Islam, sedangkan untuk mahasiswa-mahasiswa yang beraliran Syi’ah
diberikan mata kuliah agama Islam menurut madzhab Syiah. Selain itu, perguruan
ini menitikberatkan perhatiannya kepada pembentukan kepribadian mahasiswa, yang
dalam hal ini sejalan dengan tujuan didirikannya “Aligard College” itu sendiri.
Perjalanan Inspiratif
Pada tahun 1869 anak Sayid Ahmad Khan, Sayid Mahmud, memperoleh
beasiswa untuk studi lebih tinggi di universitas Cambridge, dan Sayid Ahmad
Khan memutuskan untuk menyertainya ke Inggris. Maka pada usia 52 tahun yang
sebagian besar orang India merasa bahwa mereka harus beristirahat dengan senang
hati, ia meninggalkan negerinya untuk suatu perjalanan yang jauh lagi mahal
pada waktu itu.
Sayid Ahmad Khan menetap di Inggris selama 17 bulan dan sibuk
bekerja. Ia mempunyai banyak kawan dengan orang-orang Inggris yang sudah
pensiun, dan mereka menunjukan keramahan dan kebaikan yang besar. Lord Lawrence
umpamanya, setiap bulan selalu mendampingi dan mengatur kunjungan Sayid Ahmad
ke lembaga-lembaga yang penting. Ia dipilih menjadi anggota kehormatan dari
Atheneum dan juga diterima di Kantor Urusan India. Dan gelar C.S.I (Companion
of order of the Star of India) dianugerahkan kepadanya
Di Inggris Sayid Ahmad Khan menghadiri banyak pertemuan sosial dan
politik, selain itu ia juga menulis buku jawaban terhadap Life of Muhammad,
karya Sir William Muir[5].
Sayid Ahmad Khan menghabiskan banyak waktu di Inggris untuk
menghilangkan konsepsi yang salah tentang Islam. Tetapi sudah barang tentu ia
adalah terlalu cerdik dan terlalu jujur untuk tidak melihat kesulitan-kesulitan
Islam dan umat Muslim dapat diselesaikan hanya dengan penerbitan literatur
polemik atau apologestik. Masih banyak lagi hal-hal yang perlu dibenahi dari
kehidupan umat Muslim. Sayid Ahmad Khan sangat terkesan dengan kebiasaan dan
tingkah laku rakyat Inggris, dengan kegiatan bekerja, kebersihan, ketepatan dan
keteraturan cara hidup mereka. Sayid Ahmad Khan berpikir bahwa rakyatnya harus
memperbarui diri mereka sendiri dalam banyak hal, dan merasa bahwa pendidikan
yang benar adalah kunci bagi semua masalah ini. Ia mengunjungi Cambridge dan
universitas-universitas di Inggris lainnya, dan ia memutuskan bahwa setelah
kembali ke India ia akan bekerja untuk menyiarkan pendidikan yang baik dan
modern di antara orang-orang muslim serta berusaha untuk mendirikan perguruan
tinggi Muslim Cambridge di negerinya.
Pada akhir 1870 Sayid Ahmad Khan kembali ke India dan segera
menerbitkan majalah Tahdzibul Akhlaq (Pembaruan Sosial). Nomor pertama dari
Tahdzibul Akhlaq terbit pada tanggal 24 Desember 1870. Dengan majalah tersebut
Sayid Ahmad Khan memulai suatu kampanye yang kuat untuk meningkatkan moral dan
tingkah laku umat Muslim India. Dalam Tahdzibul Akhlaq ia dengan keras
mengkritik semua adat kebiasaan yang dipandang menghambat kemajuan rakyat. Ia
bandingkan adat kebiasaan orang Muslim India dengan adat kebiasaan
bangsa-bangsa di dunia Barat, dan mempergunakan bahasa yang keras untuk
menyadarkan umat Muslim India pada kemunduran serta kehancuran moral dan
intelektualnya.[6]
Perguruan Tinggi Islam
Bersama-sama dengan terbitnya Tahdzibul Akhlaq, Sayid Ahmad Khan
juga mulai bekerja untuk menyiarkan pendidikan modern. Pada tanggal 26 Desember
1870, di Benares ia mendirikan “Society for the Educational Progress of Indian Muslims”
(Himpunan untuk Kemajuan Pendidikan Orang-orang Muslim India) yang setelah
menerima banyak anjuran dan dipertimbangkan masak-masak, memutuskan untuk
memulai mendirikan perguruan tinggi Islam. Pertama-tama Sayid Ahmad Khan ingin
mendirikan universitas seperti universitas Cambridge, tetapi pemerintah India
tidak mengizinkan. Aligarh di mana Sayid Ahmad Khan pernah beberapa tahun
menjadi wakil hakim, dipilih sebagai pusatnya. Pada bulan Juni 1875 kelas-kelas
pendahuluan dibuka, kemudian pada bulan Juli 1876 Sayid Ahmad Khan pensiun dari
kantor pemerintahan dan menetap di Aligarh. Di sini ia mulai bekerja,
sebagaimana tujuannya, dengan penuh semangat dan teliti.[7]
Perguruan Tinggi Aligarh pada asasnya hanyalah kerja Sayid Ahmad
Khan, namun ia juga didukung oleh pembantu-pembantu yang cakap, dan peranan
yang dilakukan anaknya, Sayid Mahmud, dalam merencanakan dan mengatur Perguruan
Tinggi tersebut tidaklah kecil. Sayid Mahmud kembali ke India setelah berhasil
dari Universitas Cambridge, dan ia tidak hanya memberikan banyak perincian
mengenai cara kerja perguruan tinggi di Inggris, tetapi ia juga dapat menarik
banyak orang dari Cambridge untuk membantu Perguruan Tinggi Aligarh.
Pada tahun 1886 ia mendirikan “Mohammadan Educational Conference”
(Konferensi Pendidikan Islam)[8]
yang mengadakan pertemuan di berbagai kota di India dan membawa pesan-pesan
Aligarh ke seluruh wilayah India. Konferensi tersebut, sangat memperhatikan
masalah pemerataan pendidikan modern di kalangan umat Muslim, dan mengambil
resolusi-resolusi serta tindakan-tindakan guna menghilangkan faktor-faktor yang
menghalangi kemajuan pendidikan.
Penutup
Bagi umat Muslim Sayid Ahmad Khan adalah seorang pembaru. Ia
menganalisis sebab-sebab kemunduran orang Islam dan hasilnya, karena rasa apati
terhadap pendidikan Barat. Berkat pribadi yang menarik, kerja keras, kemampuan
yang besar, dan pandangannya yang tajam, ia berhasil mencapai sukses.
Sayid Ahmad Khan dianugerahi umur panjang. Pada hari-hari akhir
hayatnya, yang ia butuhkan untuk istrahat, ia masih bekerja. Akhirnya ia
meninggal dunia pada 27 Maret 1898, pada usia 81 tahun.
[1] Imam
Munawwiw. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa. Pt
bina ilmu. 2006. Surabaya. Hal 447
[2] Ahmad
Khan memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui keturunan
Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
[3] Ialah
mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan ajaran-ajaran yang lain,
tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Qur’an karena ia adalah yang
paling baik.
[4] Imam
Munawwir. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam. Hal 450
[5] Lahir di
Glasgow dan dididik di akademi Kilmarnock, di Glasgow dan universitas
Edinburgh, dan di sekolah Haileybury. Muir menjabat sebagai sekretaris gubernur
di provinsi North West, dan sebagai anggota dewan pendapatan Agra. Dan selama
pemberontakan ia memimpin intelejen di sana
[6] H.A.
Mukti Ali. Alam Pikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan. Mizan. 1996.
Bandung. Hal 70
[7] Ibid.
Hal 72
[8] Ibid.
Hal 74
0 komentar:
Posting Komentar