Setelah ideology sosialis tumbang
dengan berakhirnya Uni Soviet sebagai gerbongnya. Masyarakat dunia mulai
bertanya-tanya, apakah hal ini menunjukan lahirnya eksistensi kapitalisme yang
selama ini menjadi saingan sosialisme. Setelah runtuhnya sosialisme di Uni
Soviet seolah-olah memberikan sinyal terhadap dunia bahwa ideology kapitalis
mulai menguasai dunia dan tentu saja mencengkram berbagai Negara tak terkecuali
di Negara-negara dunia ketiga.
Amerika Serikat sebagai salah
gembong ideology kapitalis menancapkan pengaruhnya diberbagai Negara,
keberadaan WTO, GATT dan memanfaatkan IMF dan Bank Dunia, seolah-olah usaha
Amerika semakin terlaksana sehingga iming-iming bantuan dari
organisasi-organsisasi tersebut guna pencapaian pertumbuhan ekonomi ternyata malah
memperburuk keadaan negara-negara yang dibantunya.
Ekonomi kapitalis yang hanya
mementingkan pertumbuhan ekonomi, tanpa ingin mengetahui apakah pertumbuhan
ekonomi yang dicapai betul-betul mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan
ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor
moneter). Dalam kenyataannya, di dalam sistem ekonomi kapitalis pertumbuhannya
lebih dari 85 % di topang oleh sektor non-riil dan sisanya sektor riil.
Akibatnya adalah ketika sektor non-rill ini ambruk, maka ekonomi negara-negara
yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk. Inilah fenomena yang
menimpa negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis saat krisis ekonomi
melanda dunia beberapa dekade terakhir.
Kekayaan yang hanya bertumpuk pada
segelintir orang merupakan kenyataan bahwa ideology kapitalisme hanya
mengedepankan sifat indivisualistik belaka. Karenanya sudah dapat dipastikan
bahwa saat ini yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Dalam sistem
kapitalistik aspek kesejahteraan masyarakat banyak yang terabaikan.
Sesuai dengan namanya. Ideologi
Kapitalisme berfalsafahkan modal (capital ), sehingga peran modal dalam
keberlangsungan perekonomian sangat dominan. Dengan berfalsafahkan capital
seperti ini, tentu saja membawa akibat buruk, karena bagi mereka yang tidak
mempunyai kapital atau bermodalkan sedikit akan tersisih dengan sendirinya, dan
pada akhirnya masyarakat “kecil” akan terpinggirkan ditengah-tengah sistem
kapitalis.
Ditengah keterpurukan itu, Islam
menawarkan sebuah solusi alternative bagi perekonomian dunia. Sistem ekonomi
Islam yang telah lama dikonsepkan semenjak zaman Nabi telah membrikan penawaran
yang cukup kongkrit bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan umat manusia.
Sistem ekonomi Islam yang bersumberkan petunjuk wahyu, mempunyai konsep dan
filosofi yang mendalam untuk menata perekonomian masyarakat. Oleh karena itu,
sudah saatnya sistem ekonomi Islam dibumikan untuk terciptanya kesejahteraan
masyarakat yang dinanti-nantikan.
B. Sejarah Kapitalisme
Sebuah pemikiran tentu tidak
“ujug-ujug” datang begitu saja, tetapi paling tidak ada beberapa hal yang
melatarbelakangi keberadaannya. Begitupula dengan kapitalisme, sebagai sebuah
ideologi tentunya mempunyai rangkaian historisitas dalam membentuk ideologi
tersebut.
Munculnya kapitalime dapat
ditelusuri semenjak abad ke-16 bahkan semenjak ide-ide awal pencerahan Eropa.
Pemikiran-pemikiran mengenai indivisualisme, Humanisme, Protestanisme,
Liberalisme dan Pragmatisme banyak dikemukakan pada masa-masa pencerahan eropa.[1]
Paling tidak, ada dua hal yang
melatarbelakangi transformasi kapitalisme, yaitu:
1. Reformasi Protestan
Reformasi protesatan mengubah
pandangan keagamaan masyarakat Eropa yang awalnya menganggap rendah kegiatan
pandangan (mencari kekeyaan). Reformasi protestan melahirkan pandangan etos
kerja yang kemudian menjadi faktor pendorong masyarakat eropa berfikir
kapitalis.
Adalah seorang penganut perotestan
yang bernama Benyamin Franklin yang banyak menggembor-gemborkan tentang
semangat untuk mencari keuntungan-keuntungan yang rasional.[2]
2. Revolusi Industri
Revolusi industri dengan penemuan
teknologi barunya (mesin) di Inggris. Mengubah pola produksi dan pola ekonomi.
Struktur ekonomi menjadi terpolarisasi kedalam hubungan antara pemilik modal
industri dan kaum pekerja.
Fase ini ditandai oleh pengaruh
pemikiran Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “An Iqury Into The Nature
and Cause of nation”.
Disamping itu, ekonomi kapitalis
berkembang karena adanya politik kolonialisme dan imprealisme yang melanda
negara-negara Asia dan Afrika. Paul Baran menyatakan bahwa kapitalisme
terbentuk ketika terjadi akumulasi modal dalam bentuk modal dagang yang
kemudian menjadi dasar ekspansi Eropa dimana negara memberikan dukungan
terhadap kompetisi. Dengan demikian, Baran melihat perkembangan kapitalisme
sebagai perkembangan di satu wilayah dengan mengorbankan wilayah-wilayah
lainnya.
Berkaitan erat dengan kebijakan
Kapitalisme, Perang Dunia II telah mendorong upaya untuk penyusunan kembali
pemikiran ekonomi yang kemudian melahirkan ekonomi pembangunan, Gunnar Myrdal
menyatakan gagasan pembangunan ini dilatarbelakangi oleh: Pertama likuidasi
kekuasaan struktur kolonial yang cepat. Kedua, adanya harapan akan
perkembangan di negara-negara terbelakang itu sendiri. Ketiga,
ketegangan internasional yang memuncak pada perang dingin, yang membuat nasib
negara-negara terbelakang menjadi keprihatinan kebijakan luar negeri.[3]
C. Kerangka Berfikir Kapitalisme
Sesuai dengan akhirannya “isme”,
kapitalisme merupakan sebuah faham. Bahkan semacam keyakinan. Kapitalisme
terdiri dari kumpulan gagasan, yang kemudian mencapai bentuk ideologi. Ideologi
dalam arti ide-ide besar yang terstruktur secara konsisten (sistematis) untuk
hal-hal yang dianggap pokok bagi kehidupan manusia, terutama berkenaan dengan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ideologi dimaksud juga dapat dianggap
sebagai penglihatan ke depan (visi) yang komperhensif atau sebagai cara
memandang segala sesuatu.[4]
Landasan filosofi sekaligus welstanchaung
sisitem ekonomin kapitalis adalah matralisme dan sekulerisme. [5] Pengertian manusia sebagai homo
economicus atau economic man adalah manusia yang materalis hedeonis,
sehingga ia selalu dianggap memiliki serakah atau rakus terhadap materi. Dalam
perspektif materalisme hedeonis murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi
dan diorientasikan kepada segalal sesuatu yang bersifat material. Manusia
dianggap merasa bahagia jika segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara
melimpah. Pengertian kesejahteraan yang materialistik seperti ini sering kali
menafikan atau paling tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur
spritual.
Disisi lain dari landasan filosofi
kapitalisme adalah sekularisme. Yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat
spiritual dan material secara dikotomis. Segala sesuatu yang berkaitan dengan
dunia merupakan urusan manusia itu sendiri sedangkan agama hanyalah mengurusi
hubungan manusia dengan tuhannya saja. Maka jangan heran dalam sistem
kapitalisme, norma dan etika menjadi barang langka yang sulit ditemukan.
Untuk mengidentifikasi ideologi
kapitalis. Disini perlu dikemukakan mengenai ide-ide dari kapitalisme itu
sendiri. Ada beberapa ide pokok yang dianggap menjadi gagasan terpenting dan
paling mendasar dalam kapitalisme dewasa ini. Pertama, diakuinya hak
milik perorangan secara luas, bahkan hampir tanpa batas. Kedua, diakui
adanya motif ekonomi, mengejar keuntungan secara maksimal, pada semua individu.
Ketiga, adanya kebebasan untuk berkompetisi antar individu, dalam rangka
peningkatan status sosial ekonomi masing-masing. Keempat, adanya
mekanisme pasar yang mengatur persaingan dan kebebasan tersebut. [6]
Disamping itu, dengan tidak jauh
berbeda Umer Chapra mengemukakan tentang ciri yang menonjol dari kapitalisme:[7]
1. Ia menganggap ekspansi kekayaan
yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan ( want
) menurut preferensi individual sebagai sangat esensial bagi kesejahteraan
manusia.
2. Ia menganggap bahwa kebebasan
individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri
dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai sesuatu hal yang
sangat penting bagi inisiatif individu.
3. Ia berasumsi bahwa inisiatif
individual ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi dalam
suatu pasar kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan efesiensi optiimum
dalam alokasi sumber daya.
4. Ia tidak mengakui pentingnya
peran pemerintah atau penilaian kolektif, baik dalam efesiensi alokatif maupun
pemerataan ditribusi.
5. Ia mengklaim bahwa melayani
kepentingan diri sendiri ( self interest ) oleh setiap individu secara
otomatis melayani kepentingan sosial kolektif.
Kapitalisme memandang bahwa manusia
adalah pemilik satu-satunya terahdap harta yang diusahakan, tidak ada hak orang
lain di dalamnya.[8] Konsep hak milik dalam kapitalisme
sangat tak terbatas sehingga individualistis sangat ditonjolkan dalam
kapitalisme ini. Seseorang bebas membangun rumah yang sangat mewah dengan dana
milyaran rupiah. Walaupun tetangganya merasa keberatan dengan pembangunan
tersebut karena misalnya rumahnya menjadi terhalangi dari sinar matahari.
Kebebasan absolut ini merupakan
sebuah rumusan yang dikemukakan oleh John Locke yang mengatakan bahwa manusia
adalah miliknya sendiri. Bahkan John Locke menyatakan bahwa perolehan pribadi
tanpa batas sesungguhnya sesuai dengan ajaran-ajaran injil maupun menurut akal
sehat.[9] Norma semacam ini mengakibatkan
masyarkat lebih cenderung memikirkan kegiatan yang efektif dalam mencari harta.
Sehingga dialiktika kehidupan kapitalis mendorong sikap yang mementingkan diri
sendiri.[10]
Faktor pendukung kebebasan ini
adalah[11]
1) Pandangan terhadap eksisitensi
individu sebagai pusat dunia dan tujuan yang akan di raih
2) Adanya tujuan untuk
merealisasikan kekuasaan terbesar bagi kepentingann individu, dan pertimbangan
bahwa kepentingan umum dinyatakan sebagai kumpulan kepentingan-kepentingan
individu.
3) Urgensi kebebasan ekonomi tanpa
batas dan perdagangan sempurna yang diharapkan akan memberikan jaminan
kebutuhan para konsumen.
Motif mencari keuntungan meupakan
ide lain dari kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalis dipengaruhi oleh semangat
mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas.
Usaha kapitalis ini didukung oleh nilai-nilai kebebasan untuk memenuhi
kebutuhan. Dalam mendapatkan laba sebanyak-banyaknya tersebut, kadangkala
sampai tidak memperdulikan etika dan moral karena ketatnya persaingan tersebut.
Kebebasan yang ditawarkan kapitalis membawa konsekuensi persaingan atau
kompetisi yang sangat ketat antar individu. Sehingga kompetisi ini berujung
pada mekanisme pasar dalam menentukan harga.
Adam Smith adalah peletak dasar
pemikiran kapitalisme yang menjelaskan bekerjanya mekanisme hukum pasar atas
dasar dorongan kepentingan-kepentingan pribadi karena kompetisi dan kekuatan
individualisme dalam menciptakan keteraturan ekonomi. Melaluinya, kapitalisme
melakukan klasifikasi antara nilai guna dengan nilai tukar yang ada pada setiap
komoditi. Ukuran riil dari nilai tukar komoditi, harus dilihat dari kondisi
pertukaran, dimana 'ukuran riil' dari nilai komoditi adalah kuantitas dari
kerja yang berada dalam barang-barang lain yang dapat dipertukarkan di pasar.
Tokoh berikutnya yang penting adalah
David Ricardo, yang melakukan kritik terhadap Adam Smith, terutama yang
berkaitan dengan nilai komoditi. Menurutnya, nilai komoditi terdapat pada kerja
manusia berikut bahan-bahan mentah dan alat-alat kerja. Ricardo menemukan bahwa
komoditi yang dijual pada harganya, kira-kira akan setara dengan jumlah kerja
yang diperlukan untuk memproduksinnya. Asumsinya satu-satunya nilai tukar, berawal
dari jumlah kerja yang digunakan untuk memproduksi, Karenanya dari Ricardo-lah
sifat parasit dari seluruh pendapatan yang tidak diperoleh dari kerja
terbongkar, sebab darinya, kelak akan ditemukan apa yang dinamai dengan nilai
lebih dan kerja lebih.[12]
Disamping itu, salah satu hal yang
paling mendasar dari kapitalisme adalah pengalihan surplus ekonomi kepada kaum
pemilik modal. Surplus ekonomi itu kemudian diakumulasikan dan harus
“disalurkan” kembali agar mendapat surplus berikutnya, yang juga diupayakan
agar terjadi secara berkesinambungan (sustainable). Surplus ekonomi itu
setidaknya didapat dari rente ekonomi (bunga dan sewa) dan keuntungan usaha
produksi.[13]
Adapun dari sisi pengawasan, dengan
berpijak pada kebebasan individu. Kapitalisme meminimalisir peran pemerintah
sebagai pengatur dalam kegiatan pasar. Sehingga pemerintah tidak dapat campur
tangan dalam mekanisme pasar. Karena invisble hand –nya ini, kapitalis
percaya mekanisme pasar akan tumbuh dengan sendirinya.
Terlepas (jika kita tidak setuju
sepenuhnya) dari pandangan Marx, kita memang dapat memberi arti Kapitalisme
sejak abad ke 19 sebagai suatu formasi sosial. Formasi sosial yang dimaksud
meliputi struktur sosial atau susunan masyarakat, mekanisme produksi, serta
kinerja (performa) ekonomi yang utama. Secara singkat, kapitalisme dapat
didefinisikan sebagai tatanan sosial kemasyarakatan yang didominasi oleh para
pemilik modal, dimana mekanisme harga (pasar) menjadi cara pemecahan masalah
yang utama dalam menentukan produksi, konsumsi dan distribusi.[14]
Sekelumit hal-hal diatas merupakan
ide-ide dasar dari sistem kapitalis yang tentunya tidak secara gamblang
terjelaskan semua yang terkandung dalam kapitalsme itu sendiri. Karena memang
kapitalisme mrupakan sebuah ideologi yang sudah terstruktur dan menjadi
pandangan sebagian masyarakat.
D. Dampak Kapitalisme
Pernahkah kita membayangkan, 3 orang
terkaya di dunia, kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP)
48 negara termiskin dunia, yang berarti setara dengan seperempat jumlah total
negara di dunia? Itulah hasil penelitian Brecher dan Smith. Tidak kalah
hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan
tertinggi dunia setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu
sama dengan 3 miliar manusia. Di Indonesia, Putera Sampoerna (58 tahun) baru
saja menggegerkan dunia bisnis Indonesia karena telah menjual 40% sahamnya
senilai US$ 2 miliar. Berarti, Bos PT HM Sampoerna Tbk. tersebut akan menerima
uang senilai Rp 18,6 triliun. Padahal Putra Sampoerna hanyalah orang nomor 387
dari 500 orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes.[15]
Pada tahun 1960, 20% penduduk dunia
terkaya menikmati 75% pendapatan dunia. Sedangkan 20% penduduk termiskin hanya
menerima 2,3% pendapatan dunia. Pada tahun 1997 ketimpangan global itu bukan
semakin berkurang, namun makin parah. Sebanyak 20% penduduk terkaya itu menikmati
pendapatan global makin banyak, yakni 80%. Sebaliknya, 20% penduduk termiskin
dunia menerima pendapatan global makin sedikit, yakni menjadi 1% saja. [16]
Dari data-data yang dikemukakan
diatas menunjukan adanya kesenjangan yang sangat jauh antara yang kaya dan
miskin. Dengan dalih kebebasan, sistem kapitalis sejatinya hanya melahirkan
diskriminasi antara yang kaya dan yang miskin. Alasannya, kebebasan yang
diterapkan saat ini hanya menguntungkan orang kaya, sedangkan usaha milik
rakyat tidak didukung dana supaya bisa bersaing secara bebas dengan pemilik
modal besar.
Sebagai bukti, perbankan di
Indonesia tidak lain dari pada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali
bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan
perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga
deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan
hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit
menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga
tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar
pemberantasan kemiskinan.[17]
Keadilan dalam sistem kapitalisme
sangat diabaikan, kesenjangan gajih antara atasan dan bawahan sangat
menghawatirkan. Oleh karenanya, di dalam sistem kapitalis kebebasan memilih
pekerjaan merupakan salah satu hal yang sangat diagungkan. Dengan begitu,
penentuan upah yang tinggi mempengaruhi pekerjaan seseorang. Dari sini munculah
eksploitasi besar-besaran pada kaum buruh. Disatu pihak para bos menrima gajih
yang sangat tinggi sementara para buruh hanya mendapatkan gajih yang minim.
Terutama di negara-negara dunia berkembang semisal Indonesia.
Sebagai contoh,[18] sebuah perusahan sepatu terkenal NIKE
dibuat oleh para pekerja di Indonesia. Dari satu sepatu yang dibuat tersebut di
pasaran harganya sekitar 1,5-2 juta rupiah. Namun, dari satu sepatu yang dijual
mahal tersebut para buruh hanya mendapatkan lima ribu rupiah saja, sebuah upah
yang sangat kecil. Bahkan untuk membeli tali sepatunya saja tidak cukup.
Dengan begitu, sebagian besar
keuntungan dari sepatu tersebut pastilah lebih mengalir kepada para pemilik
modal. Maka pantaslah bahwa sistem semacam ini menambah kesenjangan yang sangat
lebar antara yang kaya dan yang miskin. Inilah yang dinamakan ketidak adilan
dalam sistem ekonomi.
Kekuatan modal yang ada dalam
kapitalisme menujukan potensi kesenjangan berikutnya. Sesuai konsepnya capital,
kapitalisme menghargai mereka yang mempunyai modal besar. Namun akibatnya
bagi mereka yang hanya bermodalkan kecil dengan sendirinya akan tersisih
dikancah perdagangan bebas.
Hal ini bisa kita lihat dalam
perekonomian nasional. Betapa pemodal asing berlomba-lomba untuk menanamkan
modalnya di Indonesia, tapi dipihak lain posisi ekonomi rakyat dan ekonomi
nasional tergerus oleh akibat masuknya modal besar dari asing tersebut. Dengan
masuknya paritel besar dari perancis seperti Carrefour, pasar-pasar
tradisional mulai terancam keberadaannya.[19]
Tidak adanya campur tangan negara
dalam perekonomian membuat pengawasan dari negara tidak diperhitungkan. Negara
yang seharusnya dapat meilindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Dalam sisitem
ekonomi kapitais peran negara hanyalah sebagai penonton belaka. Karena kekuatan
sesungguhnya hanyalah berada di tangan pemodal besar.
Dari aspek lingkunganpun, dampak
dari kapitalisme sangat terasa. Motif ekonomi yang hanya mengejar keuntungan
materi saja menyebabkan lingkungan-lingkungan menjadi terabaikan. Akibatnya
Kerusakan ekologi akibat kekayaann alam yang dikuras tanpa peremajaan menyebabkan
banyak kekhawatiran akan nasib bumi saat ini. Luas hutan sebagai paru-paru
dunia terus menyempit keberadaannya. Maka sudah seharusnya manusia mengehntikan
keserakahannya dalam mengenggeruk lingkungannya.
Beberapa hal diatas merupakan
sedikit contoh dari dampak yang ditimbulkan dengan diterapkannya sistem
kapitalis. Dengan melihat kenyataan semacam itu, apakah dunia tidak melihat
bahwa sistem tersebut hanyalah akan membawa kesengseraan rakyat banyak ?
Melihat dampak yang ditimbulkan
kapitalisme diatas di Barat sendiri sebagai jantunnya kapitalisme telah menuai
berbagai kritik. Dalam kritik tersebut ditekankan pentingnya pemenuhan
kebutuhan dan sentuhan moral kemanusiaan, khususnya kepada kelompok masyarakat
yang kaya.
Kritik-kritik tersebut mendorong
lahirnya aliran-aliran pemikiran ekonomi antara lain: (1) Aliran ekonomi hibah
yang berpendapat bahwa “suatu pikiran” yang tidak untuk diri sendiri tidak lagi
dianggap sebagai penyelewengan rasionaitas untuk menjelaskan perilaku individu
(2) Aliran ekonomi humanistik, yang menekankan pemenuhan kebutuhan dan
pengembangan manusia, (3) ekonomi sosial yang melibatkan formulasi ekonomi
dalam bentuk pertimbangan etika, bahwa kesakralan gagasan abad pencerahan sudah
tidak disukai dan dianggap gagal.[20]
E. Solusi Islam Dalam Tantangan
Ekonomi Dunia
Pada dasarnya, setiap manusia
menginginkan kebahagiaan baik didunia maupun diakhirat kelak. Apakah itu dari
segi material, spiritual, individual maupun sosial. Namun, untuk meraih semua
itu ternyata sangat sulit karena keterbatasan-kterbatasan yang ada dalam diri
mansuia itu sendiri. Masalah ekonomi hanyalah merupakan salah satu aspek yang
dapat menghantarkan manusia kedalam kebahagiaan yang dicita-citakannya
tersebut.
Dalam Islam, falah merupakan
tujuan hidup seorang muslim. Untuk kehidupan dunia, falah mencakup tiga
pengertian, yaitu kelangsungan hidup, kebebasan berkeinginan, serta kekuatan
dan kehormatan. Sedangkan untuk kehidupan akhirat, falah mencakup
pengertian kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan abadi, kemuliaan abadi,
dan pengetahuan abadi ( bebas dari segala kebodohan ).[21]
Disamping itu, secara konseptual
terdapat perbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam
memandang manusia. Ekonomi konvensional mengasumsikan mansusia sebagai rational
economic man, sedangkan ekonomi Islam hendak membentuk manusia yang
berkarakter Islamic man ( ’ibadurrahman ). Islamic man dianggap
perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan
untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin,
Allah lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.[22]
Isalamic man dalam mengkonsumsi suatu barang
tidaklah dilandasi hanya untuk mencari kepuasaan belaka. Namun lebih dari pada
itu, seorang Islamic man akan lebih mempertimbangkan tentang ststus
barang tersebut apakah halal atau haram, israf atau tidak, tabzir
atau tidak bahkan apakah cara mendapatkannya merugikan orang lain atau tidak.
Merupakan pertimbangan-pertimbangan yang harus diperhitungkan oleh seorang Islamic
man.
Oleh karena itu, Islamic man
tidak lah materialistik. Ia selalu memegang prinsip syari’ah yang selalu
menekankan pentingnya berbuat kebajikan terhadap semua orang. Tolong menolong,
peduli terhadap sesama merupakan diantara karakterisik Islamic man yang
berkecimpung di dalam aktivitas perekonomian. Berbeda dengan kapitalisme yang
mempunyai karakter materalistik sehingga kurang mengindahkan nilai-nilai etika.
Dalam ekonomi Islam, hukum hak milik
individu adalah hak untuk memiliki, menimati dan memindah tangankan kekayaan yang
diakui dan dipelihara oleh Islam, tetapi mereka mempunyai kewajiban moral untuk
menyedekahkan hartanya, karena kekayaannya itu juga merupakan hak masyarakat
bahkan hewan.[23] Oleh karena itu, al-Qur’an tidak
menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar diantara orang-orang kaya saja.[24]
Untuk memperoleh harta, kadangkala
manusia dengan nafsunya melakukan apa saja demi mencapai apa yang diinginkannya
tersebut. Sehingga kadangkala hak-hak orang lain menjadi terabaikan dan
menjadikan perolehan-perolehan yang didapatkan berasal dari eksploitasi orang
lain. Tujuan nyata dari masyarakat Islam adalah membebaskan manusia dan ini
hanya bisa di lakukan di dalam suatu masyarakat dimana kekayaan bukan diperoleh
dengan “kekuatan” namun dengan “hasil kerja”.[25]
Dalam ajaran Islam, hak milik
dikategorikan menjadi tiga, yaitu:[26]
a. Hak milik individual ( milkiyah
fardhiyah / privat ownership )
b. Hak milik Umum atau publik ( milkiyah
‘ammah / public ownership )
c. Hak milik negara ( Milkiyah
daulah / state ownership ).
Dalam ekonomi Islam tujuan yang
hendak dicapai adalah falah. Oleh karenanya matrealisme atau keuntungan
sebanyak-banyaknya tidaklah menjadi tujuan utama dari ekonomi Islam. Mencapai
falah yakni kebahagiaan di dunia dan diakhirat merupakan rujukan utama bagi
ekonmi Islam. Hal inilah yang dikatakan sebagai kesejahteraan hakiki.
Dalam ekonomi kapitalisme, kita
kenal motif ekonomi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Ini
menandakan falsafah materalisme kapitalis yang orientasinya hanya diarahkan
kepada hal-hal yang berbau materi belaka. Pada akhirnya motivasi dari semua itu
hanyalah untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimalkan
kekayaan dan konsumsinya lewat cara apapun.
Menurut Islam, manusia harus
mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want) sehingga dapat membawa
maslahah dan bukan mudharat.. Sedangkan keperluan ( need ) muncul dari
suatu pemikirtan atau identifikasi secara objektif atas berbgai sarana yang
diperlaukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh
rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionalitas ajaran Islam, sehaingga
bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitas. Jadi, seorang
muslim mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya
sehingga memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini
merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri yaitu maslahah
al-ibad, ( kesejahteraan hakiki untuk manusia ), sekaligus sebagai cara
untuk mendapatkan falah yang maksimum.[27]
Berkaitan dengan mekanisme pasar
yang mengagungkan kebebasan individu. Islam dengan tegas menolak padangangan
mengenai keagungan privat proverty,kepentingan investor, asceticism (
menghindari kehidupan duniawi ), economic egalitarianism maupun
authoritarianism ( ekonomi terpimpin atau paham mematuhi seseorang atau badan
secara mutlak ).
Dalam mekanisme pasar, sebenarnya
Islam juga membolehkan mekanisme penentuan harga diserahkan ke pasar. Dan dalam
hal ini pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak
terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau privat sektor dengan
kegiatan monopolistik ataupun lainnya.[28]
Kertidakbolehan intervensi negara
dalam penentuan harga pasar adalah ketika keadaan normal. Namun dalam keadaan
pasar darurat yang menutntut pihak-pihak tertentu untuk ambil bagian menentukan
harga hal tersebut diperbolehkan. Pengertian darurat disini ialah
kondisi-konsdisi yang menghalangi kompetisi yang fair terjadi (
market Failure ).[29]
Pemerintah berhak untuk
mengintervensi pasar pada empat dan situasi kondisi sebagai berikut:[30]
1. Kebutuhn masyarakat atau hajat
orang banyak akan sebuah komoditi ( barang maupun jasa ); para fukaha sepakat
bahwa sesuatu yang menjadi hajat orang banyak tidak dapat diperjual belikan
kecuali denga harga yang sesuai.
2. Terjadi kasus monopoli; para
fukaha sepakat untuk, meberlakukan hak hajar ( ketetapan yang membatasi hak
guna dan hak pakai atas kepemilikan barang ) oleh pemerintah. Hal ini untuk
mengatasi adanya tindakan negatif ( berbahaya ) yang dapat dilakukan oleh
pihak-pihak yang melakukan kegiatan monopolistik ataupun penimbunan barang.
3. Terjadi keadaan pemboikotan (
al-hasr ), dimana distribusi barang hanya terkonsentrasi pada satu
penjualan atau pihak tertentu. Penetapan harga disini untuk meghindari
penjualan barang tersebut dengan harga yang ditetapkan sepihak dan semena-mena
oleh pihak penjual tersebut.
4. Terjadi koalisi dan kolusi antar
para penjual, dimana sejaumlah pedagang sepakat untuk melakukan transaki
diantara mereka sendiri, dengan harga penjualan yang tentunya dibawah harga
pasar. Ketetapan intervensi ini untuk menghindari kemungkinan terjadi fluktuasi
harga barang yang ekstream dan dinamis.
Perlu ditegaskan disini bahwa
perbedaan konsep mekanisme pasar Islami dengan kapitalisme adalah bahwa
mekanisme pasar kapitalis tidak, bahkan mengharamkan campur tangan dari pihak
pemerintah. Berbeda dengan Islam yang membolehkan intervensi dalam keadaan
darurat sebagaimana yang dikemukakan diatas.
F. Penutup
Ada banyak kritikan yang dilancarkan
untuk mebantah kapitalisme. Kapitalisem dianggap sisstem ekonomi yang terbukti
gagal dalam mensejahterakan manusia. Fakta-fakta banyak dikemukakan,
kesenjangan yang sangat jauh antara yang kaya dan yang miskin, degradasi moral
para pebisnis mebuktikan bahwa kapitalisme bukanlah sebuah solusi yang bijak.
Keberadaan ekonomi Islam,
akhir-akhir ini lebih banyak dilirik oleh masyarakat dunia. Keberadaannya bisa
dijadikan sebagai alternatif untuk membenahi carut marut perekonomian saat ini.
Tidak cukup sampai disana, sebagai muslim yang berjuang untuk menegakan
nilia-nilai Islami tentunya harus dibarengi dengan kemampuan pengetahuan yang
mumpuni supaya dapat menterjemahkan ruh syari’at dan dapat megamplikasikannya
secara tepat demi terciptanya masyarakat yang sejahtera lahir batin dunia
akhirat. Wallahua’lam Bishowab.
0 komentar:
Posting Komentar