Ontologi[1] merupakan persoalan yang
sangat penting dan fundamental yang muncul dalam filsafat islam dengan sejarah
yang panjang.[2]Berbicara
tentang “keberadaan” menjadi unsur penting yang berkaitan langsung dengan
aqidah dan ketuhanan secara filosofis.[3]
Pembahasan
tentang Ontologi[4]
dalam Filsafat Islam semakin mendalam ketika muncul pembedaan antara mahiyyah
dan wujud yang ada pada masa ibnu sina melahirkan dua aliran besar yaitu : pendukung prinsip Keunggulan
Esensi (ashalatul al-mahiyah),
yang memandang bahwa hanya mahiyah (esensi) yang lebih mendasar (ashil),
sedangkan wujud adalah I’tibari, dan aliran pendukung prinsip Keunggulan
Existensi/Wujud (ashalatal-wujud), yang berpendirian sebaliknya, yaitu
bahwa wujudlah yang mendasar dan mahiyah hanyalah bersifat I’tibari.
Dengan prinsip “ashalatul -mahiyyah”
suhrawardi ingin menekankan bahwa perbedaan secara konsep bukan berarti berbeda
dalam realitas. Dua hal yang secara konseptual dapat berbeda satu sama lain
bukan berarti pasti berbeda (dalam realitas), sebagaimana perbedaan antara mahiyyah
dan wujud hanya dalam pikiran sebagai analisis konseptual, sedang dalam
dunia eksternal (realitas) dua hal tersebut adalah sama.
Wujud
mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi
logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara
definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat
Islam, subjek filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau
maujud qua maujud (al-maujud bi ma huwa maujud). Begitu jelasnya
mafhum wujud, maka la tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) clan
diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang
wujud itu sendiri. Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud
adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud
adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam
Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud’s) notion is one ofthe best-known things,
But its deepest reality is in the extremity of hiddenness.Hal ini mengingat bahwa untuk mendefinisikan suatu objek diperlukan
suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang
wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.[5]
Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah
prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah
al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud
sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai
merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan
eksistensi (wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua
realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten).
Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan
antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[6]
Perdebatan yang sangat sengit antara kaum
pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan
pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi
berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada,
yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep
sekunder yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah
konsep dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita
menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar
memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila kita terima teori
itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya
eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami
regresi yang infinite.[7]
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra
menyatakan bahwa yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi
mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar
fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab
sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter
“menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau
maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari
pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri.[8]
" وإنّي قد كنت شديد الذبّ عنهم في اعتبارية
الوجود وتأصّل الماهيّات، حتى أن هداني ربي وانكشف لي انكشافا بيّنا أن الأمر بعكس
ذلك، وهو أن الوجودات هي الحقائق المتأصّلة الواقعة في العين وأن الماهيّات
المعبّر عنها في عرف طائفة من أهل الكشف واليقين بالأعيان الثابتة ما شمّت رائحة
الوجود أبدا."[9]
[1] Greek: on,
onto (being), logos (study,) The sciences of real being; the
philosophical theory of reality; the doctrine of the universal and necessary
characteristic of all existence, The New International Webster’s
Comprehensive Dictionary of the English LanguageDeluxe Encyclopedic Edition,
(Florida: Trident Press International 1996) hal..883.
[2]Megawati Morris
menggambarkan sejarah panjang perkembangan ontology sejak Aristotle yang
kemudian berlanjut pada masa al-Farabi, Ibnu Sina dan Suhrawardi hingga
munculnya pembedaan antara mahiyyah dan wujud. Lihat , Megawati
Morris, Mulla Sadra’s Doctrine of the Primacy of Existence (Kuala
Lumpur: ISTAC, 2003), hal.14-38
[3]Hal ini menjadi
satu sumber pokok aqidah berkaitan dengan penciptaan (eskatologi), serta posisi
antara Tuhan dan ciptaannya.
[4] .Dalam wilayah
kajian filsafat pembahasan metafisika disebut sebagai filsafat pertama (Proote
philosopia)
[5] . Muhammad
Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam. 2003.
Bandung: Mizan. Hal. 170
[6] . Hussein
Shahab, Filsafat
Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
[7] . Fazlur
Rahman, Filsafat
Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 35, Lihat juga Jurnal al-Huda Vol.
III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud
[8] . Ibid, hal.
44. Dan Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda
Vol. III. No. 1. 2003
[9] Sadra, Mulla, al-Hikmat
al-Mota’aliya fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’a, Vol. I, Journey 1, Ed.
Ayatullah Hasan Hasan Zadahu Amaly, (Tehran: Wizarat al-Tsaqafah wa al-Irshad
al-Islamy, 1383H), hal. 82
0 komentar:
Posting Komentar