banner blog aing

Jumat, 22 Maret 2013

Kritik Mulla Sadra Ashalatul-Mahiyyah Suhrawardi


Ontologi[1] merupakan persoalan yang sangat penting dan fundamental yang muncul dalam filsafat islam dengan sejarah yang panjang.[2]Berbicara tentang “keberadaan” menjadi unsur penting yang berkaitan langsung dengan aqidah dan ketuhanan secara filosofis.[3]
Pembahasan tentang Ontologi[4] dalam Filsafat Islam semakin mendalam ketika muncul pembedaan antara mahiyyah dan wujud yang ada pada masa ibnu sina melahirkan dua aliran  besar yaitu : pendukung prinsip Keunggulan Esensi (ashalatul  al-mahiyah), yang memandang bahwa hanya mahiyah (esensi) yang lebih mendasar (ashil), sedangkan wujud adalah I’tibari, dan aliran pendukung prinsip Keunggulan Existensi/Wujud (ashalatal-wujud), yang berpendirian sebaliknya, yaitu bahwa wujudlah yang mendasar dan mahiyah hanyalah bersifat I’tibari.
 Dengan prinsip “ashalatul -mahiyyah” suhrawardi ingin menekankan bahwa perbedaan secara konsep bukan berarti berbeda dalam realitas. Dua hal yang secara konseptual dapat berbeda satu sama lain bukan berarti pasti berbeda (dalam realitas), sebagaimana perbedaan antara mahiyyah dan wujud hanya dalam pikiran sebagai analisis konseptual, sedang dalam dunia eksternal (realitas) dua hal tersebut adalah sama.

Wujud mencakup segala sesuatu. Ia mengandaikan ketidakterbatasan. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah bahwa wujud itu niscaya/ada/mutlak. Secara definisi, sebgaimana diutarakan oleh Taqi Misbah Yazdi dalam Daras filsafat Islam, subjek filsafat pertama atau metafisika adalah “maujud mutlaq” atau maujud qua maujud (al-maujud bi ma huwa maujud). Begitu jelasnya mafhum wujud, maka la tak mungkin bisa didefinisikan lewat genus (jins) clan diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289), mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat sulit bisa dipahami. Mulla Hadi Sabzawari dalam Syarh Manzumahnya berkata: Its (wujud’s) notion is one ofthe best-known things, But its deepest reality is in the extremity of hiddenness.Hal ini mengingat bahwa untuk mendefinisikan suatu objek diperlukan suatu hal yang lebih jelas dari objek itu sendiri. Sementara itu konsep tentang wujud adalah konsep yang paling jelas yang begitu saja hadir dalam benak.[5]
Ashalatul wujud berarti bahwa wujud adalah prinsip dari segala maujud-maujud yang ada. Lawan darinya adalah ashalah al-Mahiyah yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang prinsip sementara wujud sekadar asumsi akal. Perdebatan mengenai masalah ini sebenarnya mulai merebak semenjak Ibnu Sina mengenalkan pembedaan antara esensi (mahiyah) dan eksistensi (wujud). Ibnu Sina mengatakan bahwa wujud dan mahiyah adalah dua realitas yang bersatu (united) yang kemudian disebut sebagai maujud (eksisten). Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai maujud (eksisten) adalah gabungan antara wujud (eksistensi) dan mahiyah (quiditas).[6]
Perdebatan yang sangat sengit antara kaum pengikut ashalah al-Mahiyah yang diwakili oleh Suhrawardi dengan pengikut ashalah al-wujud yang diwakili oleh Mulla Shadra. Suhrawardi berargumen bahwa wujud, karena kedudukannya sebagai sifat umum segala yang ada, yaitu konsep yang paling umum hanyalah memiliki realitas sebagai konsep sekunder yang tidak mempuanyai hubungan dengan realitas yang ada. Ia hanyalah konsep dan abtraksi mental semata-mata. Jika, kata suhrawardi selanjutnya, kita menganggap bahwa wujud sebagai sifat esensi yang sebenarnya, maka esensi, agar memiliki sifat ini, harus ada sebelum wujud. Sebab, apabila kita terima teori itu, maka wujud itu sendiri akan memerlukan wujud lain yang bisa memberinya eksistensi; demikianlah seterusnya sehingga ia tak akan berakhir atau mengalami regresi yang infinite.[7]
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Shadra menyatakan bahwa yang riil adalah wujud, sementara esensi adalah abstraksi mental semata-mata. Baginya wujud bukan hanya lebih prinsipiil atau sekadar fondasi bagi seluruh realitas, namun ia adalah realitas itu sendiri. Sebab sifat wujud yang paling fundamental yakni simple atau basit berkarakter “menebar” ke dalam seluruh celah-celah apa yang disebut sebagai eksisten atau maujud. Dan eksisten atau mahiyah yang ada di hadapan kita tidak lebih dari pembatasan-pembatasan yang mempartikulasikan bentangan wujud itu sendiri.[8]
" وإنّي قد كنت شديد الذبّ عنهم في اعتبارية الوجود وتأصّل الماهيّات، حتى أن هداني ربي وانكشف لي انكشافا بيّنا أن الأمر بعكس ذلك، وهو أن الوجودات هي الحقائق المتأصّلة الواقعة في العين وأن الماهيّات المعبّر عنها في عرف طائفة من أهل الكشف واليقين بالأعيان الثابتة ما شمّت رائحة الوجود أبدا."[9]



[1] Greek: on, onto (being), logos (study,) The sciences of real being; the philosophical theory of reality; the doctrine of the universal and necessary characteristic of all existence, The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of the English LanguageDeluxe Encyclopedic Edition, (Florida: Trident Press International 1996) hal..883.
[2]Megawati Morris menggambarkan sejarah panjang perkembangan ontology sejak Aristotle yang kemudian berlanjut pada masa al-Farabi, Ibnu Sina dan Suhrawardi hingga munculnya pembedaan antara mahiyyah dan wujud. Lihat , Megawati Morris, Mulla Sadra’s Doctrine of the Primacy of Existence (Kuala Lumpur: ISTAC, 2003), hal.14-38
[3]Hal ini menjadi satu sumber pokok aqidah berkaitan dengan penciptaan (eskatologi), serta posisi antara Tuhan dan ciptaannya.
[4] .Dalam wilayah kajian filsafat pembahasan metafisika disebut sebagai filsafat pertama (Proote philosopia)
[5] . Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam. 2003. Bandung: Mizan. Hal. 170
[6] . Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
[7] . Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka. Hal. 35, Lihat juga Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003 pada tulisan dengan judul Filsafat Wujud
[8] . Ibid, hal. 44. Dan Hussein Shahab, Filsafat Wujud dalam Jurnal al-Huda Vol. III. No. 1. 2003
[9] Sadra, Mulla, al-Hikmat al-Mota’aliya fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’a, Vol. I, Journey 1, Ed. Ayatullah Hasan Hasan Zadahu Amaly, (Tehran: Wizarat al-Tsaqafah wa al-Irshad al-Islamy, 1383H), hal. 82

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More