banner blog aing

Jumat, 22 Maret 2013

Euthanasia Dalam Hukum Islam

Setiap makhluk, termasuk manusia, mengalami siklus kehidupan yang di mulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta di akhiri dengan kematiannya.
Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai individu di perlakukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari tuhan. Tak seorang pun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk memepercepat waktu kematian.
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak mau kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi.
Tidak demikian halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan. Terlepas dari siap tidaknya mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka menginginkan kematian segera tiba.
Kematian yang diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh.
Kemajuan iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup dan mati. Tidak jarang seseorang yang telah berhenti pernapasannya dan telah berhenti denyut jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator), dapat bangkit kembali. Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat, tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup dengan bantuan berbagai alat medis.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”[1]. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahmah atau taisir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya[2]. Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, MA, (qatl ar-rahmah): tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa meresakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit. Oleh karena itu, euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing (mati dengan tenang).[3]
Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama. Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif.
Macam-macam Euthanasia
Ditinjau dari kondisi pasien, tindakan euthanasia dikategorikan menjadi dua macam yaitu:
1.      Euthanasia positif atau aktif (taisir al-maut al-fa’al) : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medis, seperti melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lainnya. Misalnya, seorang penderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering tak sadarkan diri. Dalam hal ini dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian keluarganya menyarankan agar dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (over dosis) sekaligus dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.      Euthanasia negatif atau pasif: suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), kerena berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup bagi pasien, mungkin salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah tinggi, tidak berfungsinya jantung, dan sebagainya. Hal ini sering disebut dengan “fase antara”, dikalangan awam menyebut “antara hidup dan mati”. Kondisi euthanasia negatif ini bagi pasien, yakni dengan cara menghentian pengobatan maka kemungkinan besar akan mempercepat kematian pasien, hal ini dibolehkan, mugkin karena alasan dana yang tak sanggup, atau rasa kasihan terhadap pasien.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun[4].
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran yang bulat terhadap masalah tersebut[5]. Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat Publik Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia jika memenuhi syarat-syarat berikut[6]:
a.       Obat atau vaksin tidak ada.
b.      Kondisi kesehatannya makin parah.
c.       Atas permintaannya dan keluarganya serta atas persetujuan dokter.
d.      Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin parah tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan[7]. Pendapat ini merujuk kepada firman Allah SWT:

الَّذِى خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ.

”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”[8].
Tetapi pengalaman juga menunjukkan bahwa pada saat-saat ketika hal-hal yang tidak secara tegas dilarang dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan terlarang menurut pandangan pemuka agama, suatu saat dapat berubah.
Pandangan Hukum Islam
Kelahiran dan kematian merupakan hak prerogative Tuhan dan bukan hak manusia sehingga tidak ada seorangpun didunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi dan kita imani sebagai aturan tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri..
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus berlangsung.[9] Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri.
Secara logika berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian dan pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya. Namun akan timbul berbagai permasalahan ketika euthanasia didasarkan pada konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya agama Islam. Dalam konteks hukum, euthanasia menjadi bermasalah karena berkaitan dengan jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya. Sedangkan dalam konteks agama Islam, euthanasia menjadi bermasalah karena kehidupan dan kematian adalah berasal dari pencipta-Nya.
Tindakan Euthanasia berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan kematian yang diwujudkan melalui Euthanasia merupakan sikap keputusan yang dibenci oleh Tuhan, sesuai Q.S. Yusuf (12) : 87. Yang berbunyi :
Artinya : “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada  berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf : 87).
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui Euthanasia Killing. Bahkan tindakan Euthanasia Killing dalam hal ini mengakibatkan dosa yang berlipat ganda yaitu dosa karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa karena membunuh diri sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.[10]
Berbicara mengenai euthanasia, khususnya euthanasia aktif, berarti berbicara mengenai pembunuhan, karena antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam dunia kedokteran, euthanasia dikenal sebagai tindakan yang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan ini semua dilakukan untuk mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang baik tanpa penderitaan yang tidak perlu.[11]
Memudahkan proses kematian secara aktif tidak di perkenankan oleh syara’ sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka hal tersebut telah masuk didalam pembunuhan, seperti pemberian racun yang keras, penyengatan listrik, atau mrnggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.[12]
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am 151).
Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.
Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah?, Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh. Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah.[13]
Menurut Imam As-Syafi’i bahwa berobat adalah hukumnya sunnah. Sementara madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa berobat adalah sunnah muakkadah yang mendekati wajib. Sementara madzhab Malik bahwa berobat itu setara antara mengerjakan atau meninggalkannya. Karena Malik berkata, “Tidak mengapa berobat dan tidak mengapa meninggalkannya”. Syaikh Al-Islam (Ibnu Taimiah) berkata, “(Berobat) tidak wajib menurut pendapat mayoritas ulama, yang mewajibkannya hanya sekelompok kecil dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i dan Ahmad”.[14]
Para ulama’ bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama, berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. Agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:
“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[15]

Dalam hal ini Yusuf Qardhawi sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’la.[16]
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya yaitu para dokter, maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Maka memudahkan proses kematian ini tidak perlu diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (euthanasia), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Akan tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi. Dan jika demikian, maka tindakan pasif ini adalah jaiz hukumnya dan dibenarkan oleh syara’ apabila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya.[17]
Kesimpulan
Akhir dari penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara keduanya dalam masalah euthanasia, yakni keduanya sama-sama mengedepankan unsur kemashlahatan, bahwa mencegah suatu penyakit adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan sisi perbedaannya lebih tertekan pada cara mengaplikasikan euthanasia tersebut, yakni pada cara mengakhiri penderitaan pasien. Dalam Islam dikenal penyembuhan yang bersifat ilmiah dan ilahiyah, sedangkan dalam Ilmu Kedokteran, hanya penyembuhan yang bersifat 'aqliyah semata dan juga atas dasar unsur darurat.
Pada prinsipnya pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda: “Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).


[1] Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press 2003, hal 177.
[2] M.Ali Hasan. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada1995, hal 145.
[3] Yusuf Qardhawi. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press 1995, hal 749.
[4] Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer…,  hal 178.
[5] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hal. 51.
[6] Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996, hal. 28.
[7] Ibid, hal 29
[8] Surat Al-Mulk, ayat:2
[9] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer…, hal. 51.
[10] http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/euthanasia-dalam-pandangan-islam.
[11] K. Bertens, Euthanasia Perdebatan yang Berkepanjangan, dalam Kliping LSI, Edisi 8, tahun
VII, Agustus 2001, hal. 120.
[12] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer…, hal 751.
[13] http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektif-islam.html
[14] http://al-atsariyyah.com/hukum-berobat.html.
[15] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer…, hal 752.
[16] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer…, hal 753
[17] Ibid, hal 754

1 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More