Setiap makhluk,
termasuk manusia, mengalami siklus kehidupan yang di mulai dari proses
pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta
di akhiri dengan kematiannya.
Dari proses
siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung
misteri besar & ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Untuk dapat
menentukan kematian seseorang sebagai individu di perlakukan kriteria
diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat di pertanggung
jawabkan secara ilmiah. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah
merupakan hak dari tuhan. Tak seorang pun yang berhak menundanya sedetikpun,
termasuk memepercepat waktu kematian.
Kematian, pada
umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan, namun akan dialami
oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak dapat ditunda,
namun kebanyakan orang tidak mau kematian itu datang dengan segera. Kebanyakan
orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba. Orang bukan hanya
saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari itu, orang
ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi.
Tidak demikian
halnya dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang
diderita sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana
bagi mereka kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga
merupakan suatu hal yang dicari dan diidamkan. Terlepas dari siap tidaknya
mereka menghadapi kehidupan setelah kematian, mereka menginginkan kematian
segera tiba.
Kematian yang
diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal
pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam
istilah medis disebut euthanasia yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan
terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh.
Kemajuan
iptekdok telah membuat kabur batas antara hidup dan mati. Tidak jarang
seseorang yang telah berhenti pernapasannya dan telah berhenti denyut
jantungnya, berkat intervensi medis misalnya alat bantu nafas (respirator),
dapat bangkit kembali. Kadang upaya penyelamatan berhasil sempurna tanpa cacat,
tapi terkadang fungsi pernapasan & jantung kembali normal, tanpa disertai
pulihnya kesadaran, yang terkadang bersifat permanen. Secara klinis dia
tergolong “hidup”, tetapi secara sosial apa artinya? Dia hanya bertahan hidup
dengan bantuan berbagai alat medis.
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian”[1].
Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahmah atau taisir al-maut.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang
kematiannya[2].
Menurut Dr. Yusuf Qardhawi, MA, (qatl ar-rahmah): tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa meresakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan
meringankan penderitaan si sakit. Oleh karena itu, euthanasia sering disebut
juga dengan mercy killing (mati dengan tenang).[3]
Euthanasia
biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien
hanya akan memperpanjang penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri
tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau
menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh
atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama. Atau bisa juga dengan alasan
bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar
pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa
hasil positif.
Macam-macam
Euthanasia
Ditinjau dari
kondisi pasien, tindakan euthanasia dikategorikan menjadi dua macam yaitu:
1.
Euthanasia positif atau aktif (taisir al-maut al-fa’al) : suatu
tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan
alat-alat pembantu medis, seperti melepaskan saluran zat asam, melepas alat
pemacu jantung dan lainnya. Misalnya, seorang penderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa hingga penderita sering tak sadarkan diri. Dalam hal ini
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian keluarganya
menyarankan agar dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (over dosis)
sekaligus dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
2.
Euthanasia negatif atau pasif: suatu tindakan membiarkan
pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), kerena berdasarkan
pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup bagi pasien,
mungkin salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah, seperti bocornya
pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah tinggi,
tidak berfungsinya jantung, dan sebagainya. Hal ini sering disebut dengan “fase
antara”, dikalangan awam menyebut “antara hidup dan mati”. Kondisi euthanasia negatif
ini bagi pasien, yakni dengan cara menghentian pengobatan maka kemungkinan
besar akan mempercepat kematian pasien, hal ini dibolehkan, mugkin karena
alasan dana yang tak sanggup, atau rasa kasihan terhadap pasien.
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara
mana pun[4].
Euthanasia
merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi
hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah
dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam
seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum
positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran
yang bulat terhadap masalah tersebut[5]. Demikian
juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian
yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen
atau alasan. Dalam Debat Publik Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua
Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein
menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia jika memenuhi
syarat-syarat berikut[6]:
a.
Obat atau vaksin tidak ada.
b.
Kondisi kesehatannya makin parah.
c.
Atas permintaannya dan keluarganya serta atas persetujuan dokter.
d.
Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
Masjfuk Zuhdi
mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada
dan kondisi pasien makin parah tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan
mati itu di tangan Tuhan[7].
Pendapat ini merujuk kepada firman Allah SWT:
الَّذِى
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ.
”Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa diantara kamu yang lebih
baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”[8].
Tetapi pengalaman
juga menunjukkan bahwa pada saat-saat ketika hal-hal yang tidak secara tegas
dilarang dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan terlarang menurut pandangan
pemuka agama, suatu saat dapat berubah.
Pandangan Hukum Islam
Kelahiran dan
kematian merupakan hak prerogative Tuhan dan bukan hak manusia sehingga tidak
ada seorangpun didunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek
umurnya sendiri. Atau dengan kata lain, meskipun secara lahiriah atau tampak
jelas bahwa seseorang menguasai dirinya sendiri, tapi sebenarnya ia bukan
pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan tertentu yang harus kita patuhi
dan kita imani sebagai aturan tuhan. Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya
sendiri, tetapi tetap saja ia tidak boleh membunuh dirinya sendiri..
Pro kontra
terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus berlangsung.[9] Mengingat
euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam
kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka Majlis Ulama Indonesia
(MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni
1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan
bunuh diri.
Secara logika
berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, euthanasia tidak ada
permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari proses penelitian
dan pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut kemanusiaan, euthanasia
tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu menolong sesama manusia
dalam mengakhiri kesengsaraannya. Namun akan timbul berbagai permasalahan ketika
euthanasia didasarkan pada konteks yang lain seperti hukum dan agama, khususnya
agama Islam. Dalam konteks hukum, euthanasia menjadi bermasalah karena
berkaitan dengan jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi
keberadaanya. Sedangkan dalam konteks agama Islam, euthanasia menjadi
bermasalah karena kehidupan dan kematian adalah berasal dari pencipta-Nya.
Tindakan
Euthanasia berbeda dengan berdoa memohon tunjukan kepada Allah agar dipilihkan
yang terbaik antara hidup dengan mati karena tindakan ini merupakan cerminan
sikap hidup yang optimis dan bukan keputusasaan. Sedangkan mengharapkan
kematian yang diwujudkan melalui Euthanasia merupakan sikap keputusan yang
dibenci oleh Tuhan, sesuai Q.S. Yusuf (12) : 87. Yang berbunyi :
Artinya : “Dan
jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan
kaum yang kafir”. (Q.S. Yusuf : 87).
Dari ayat
diatas dapat dipahami bahwa sikap putus asa dikategorikan sebagai sikap
kekufuran apalagi keputusasaan yang menjurus kepada kematian melalui Euthanasia
Killing. Bahkan tindakan Euthanasia Killing dalam hal ini mengakibatkan dosa
yang berlipat ganda yaitu dosa karena putus asa dari rahmat Allah dan dosa
karena membunuh diri sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.[10]
Berbicara
mengenai euthanasia, khususnya euthanasia aktif, berarti berbicara mengenai
pembunuhan, karena antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam dunia
kedokteran, euthanasia dikenal sebagai tindakan yang dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang atau sengaja melakukan
sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan ini semua
dilakukan untuk mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan kematian yang
baik tanpa penderitaan yang tidak perlu.[11]
Memudahkan
proses kematian secara aktif tidak di perkenankan oleh syara’ sebab yang
demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si
sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka
hal tersebut telah masuk didalam pembunuhan, seperti pemberian racun yang
keras, penyengatan listrik, atau mrnggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk
pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.[12]
Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am
151).
Adapun jika itu
atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat
besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh
dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya
mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan
dosa.
Allah Ta’ala
berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Jika kita
memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa
sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan
pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak
bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien.
Karenanya,
hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah
berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah?, Jika kita katakan berobat
hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif)
hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka
berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh. Dan
jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti
menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah.[13]
Menurut Imam
As-Syafi’i bahwa berobat adalah hukumnya sunnah. Sementara madzhab Abu Hanifah
menyatakan bahwa berobat adalah sunnah muakkadah yang mendekati wajib. Sementara
madzhab Malik bahwa berobat itu setara antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Karena Malik berkata, “Tidak mengapa berobat dan tidak mengapa meninggalkannya”.
Syaikh Al-Islam (Ibnu Taimiah) berkata, “(Berobat) tidak wajib menurut pendapat
mayoritas ulama, yang mewajibkannya hanya sekelompok kecil dari para pengikut
mazhab Asy-Syafi’i dan Ahmad”.[14]
Para ulama’
bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama, berobat ataukah
bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar itu lebih utama,
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang
wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. Agar
mendoakannya, lalu beliau menjawab:
“Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga, dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘sebenarnya saya tadi
ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar
saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar
tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).[15]
Dalam hal ini
Yusuf Qardhawi sependapat dengan golongan yang mewajibkannya apabila sakitnya
parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah
Allah Ta’la.[16]
Oleh karena
itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita
dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh,
sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan
dimengerti oleh para ahlinya yaitu para dokter, maka tidak ada seorang pun yang
mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Maka memudahkan
proses kematian ini tidak perlu diistilahkan dengan qatl ar-rahmah (euthanasia),
karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Akan tetapi
dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga
tidak dikenai sanksi. Dan jika demikian, maka tindakan pasif ini adalah jaiz
hukumnya dan dibenarkan oleh syara’ apabila keluarga penderita mengizinkannya
dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan
keluarganya.[17]
Kesimpulan
Akhir dari
penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan di antara
keduanya dalam masalah euthanasia, yakni keduanya sama-sama mengedepankan unsur
kemashlahatan, bahwa mencegah suatu penyakit adalah suatu kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap individu. Sedangkan sisi perbedaannya lebih tertekan pada
cara mengaplikasikan euthanasia tersebut, yakni pada cara mengakhiri
penderitaan pasien. Dalam Islam dikenal penyembuhan yang bersifat ilmiah dan
ilahiyah, sedangkan dalam Ilmu Kedokteran, hanya penyembuhan yang bersifat
'aqliyah semata dan juga atas dasar unsur darurat.
Pada prinsipnya
pembunuhan secara sengaja terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului
takdir. Allah telah menentukan batas akhir usia manusia. Dengan mempercepat
kematiannya, pasien tidak mendapatkan manfaat dari ujian yang diberikan Allah
Swt kepadanya, yakni berupa ketawakalan kepada-Nya Raulullah saw bersabda:
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali
Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang dicobakannya
itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
[1]
Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta: Gema Insani Press 2003, hal 177.
[2]
M.Ali Hasan. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada1995, hal 145.
[4]
Setiawan Budi Utomo. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer…, hal 178.
[5] Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi
Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer,
Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995, hal. 51.
[6] Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia,
Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996, hal. 28.
[7] Ibid,
hal 29
[8] Surat Al-Mulk, ayat:2
[9]
Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum
Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontemporer…, hal. 51.
[10]
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/euthanasia-dalam-pandangan-islam.
[11] K.
Bertens, Euthanasia Perdebatan yang Berkepanjangan, dalam Kliping LSI,
Edisi 8, tahun
VII, Agustus
2001, hal. 120.
[13] http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektif-islam.html
[14]
http://al-atsariyyah.com/hukum-berobat.html.
[15]
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer…, hal 752.
[17] Ibid,
hal 754
1 komentar:
tenkyu ilmunya, copas ah
Posting Komentar