banner blog aing

Jumat, 22 Maret 2013

Heurmenetika: Sebuah Interpretasi Ilmu Pengetahuan Sosial


Fenomenologi Husserl mengaitkan kehidupan social atau kehidupan manusia dengan realitas. Dan dengan konsep lebenswelt nya Husserl memberikan inspirasi kepada ilmu-ilmu social, yaitu ilmu yang menafsirkan suatu dunia yaitu dunia social.
Dalam hal penafsiran ilmiah dikembangkan sebuah method baru yaitu heurmenetika, yang mana merupakan suatu teori diantara beberapa teori yang melakukan pendekatan baru dalam ilmu social. Teori ini dikembangkan oleh Frederich Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Heidegger dan Georg Gadamer. Mereka meluaskan heurmenetika dari interpretasi terhadap ilmu penafsiran teks saja menjadi penafsiran terhadap ilmu social.

PENGERTIAN HEURMENETIKA

Kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).

Istilah Yunani berkenaan dengan kata “hermenuetik” ini dihubungkan dengan nama dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.[1]

Menurut Richard E. Palmer bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari hermeneuein, sebagai berikut.
Pertama, hermeneuein sebagai “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan), atau “to say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua, hermeneuein sebagai “to explain” (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi, serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, hermeneuein sebagai “to translate”. Pada dimensi ini “to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapat melihat melalui penglihatannya.[2]

Menurutnya pula terdapat perkembangan heurmenetika kedalam enam pembahasan yaitu sebagai teori penafsiran kitab suci, sebagai metode filologi, sebagai pemahaman linguistic, sebagai logika dari ilmu social budaya, sebagai fenomenologi dasein, dan sebagai teori interpretasi. 

HEURMENETIKA SEBAGAI PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL
           
Pembahasan heurmenetika sebenarnya adalah pembahasan tentang metodologi yang cangupannya ada dalam filsafat ilmu. Bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Heurmenetika merupakan cara pandang untuk memahami realitas social, seperti teks sejarah dan tradisi.

Sebagaimana comte dan J. Struat Mill, Wilhelm Dilthey melakukan dikotomi antara metode ilmu-ilmu alam yaitu metode erklaren dengan metode ilmu-ilmu social yaitu metode verstehen. Metode erklaren merupakan metode khas positivistic yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa perilaku alam menurut hukum sebab-akibat. Sedangkan metode verstehen merupakan pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan social, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa kehidupan social.[3]

Peranan subjek yang menafsirkan dalam heurmenetika sangatlah jelas, dan harus mendasari ilmu social itu sendiri pengalaman-pengalam yang subjektif ini akan membawa kepada suatu yang objektif.  Karena menurutnya dalam ilmu-ilmu humaniora khususnya sejarah, suatu yang objektif  ini sangat manusiawi yang mengandung kemiripan-kemiripan dari lembarpengalaman yang orisinil menurut subjek yang mengetahui. Oleh karena itu menurutnya perlu adanya pemroyeksian diri yang mengethui kepada fenomena yang terikat.

Untuk melihat peranan subjek dalam proses penafsiran, dibawah ini  terdapat pemikiran tokoh-tokoh yaitu F.D.E Schleiermacher, lalu Wilhelm Dilthey mereka berdua sering disebut sebagai filosof romantika. Pembahasan mereka mencangkup seputar metodologi. Kemudian Martin Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer yang sering disebut sebagai bapak heurmenetika modern. Pembahasan mereka mencangkup masalah ontology.

1. F.D.E Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey

Schleiermacher dan Dilthey sering disebut sebagai filusuf romantika karena kecenderungan pemikirannya yang cenderung kembali kemasa lampau. Mereka berdua mempergunakan teori empati dalam menjelaskan bahwa objek dapat diketahui secara reproduktif oleh ilmuwan social.

Hermenetika Schleiermacher sering disebut sebagai heurmenetika psikologis, karena menurutnya pembaca teks harus mampu berempati secara psikologis kedalam isi teks dan pengarangnya. Pembaca harus mampu mengalami kembali pengalaman-pengalaman yang yang pernah dialami pengarang yang termuat didalam teks itu. Untuk mengerti kepada teks, seorang pembaca harus mampu untuk keluar dari zamannya dan membangun kembali masa lampau tempat dimana zaman pengarang hidup. Ia berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh teks bukanlah sema sekali apa yang “kelihatannya” dikatakan kepada pembaca. Tetapi, maknanya harus ditemukan dengan merekonstruksi situasi historis, dimana teks tersebut berasal. Hanya dengan penafsiran yang terkontrol secara metodologis dan kritis, maksud pengarang dapat diungkap.”

Dalam heurmenetikanya Schleirmacher terdapat beberapa langkah: pertama Interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa. Kedua interpretasi psikolgis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika menuliskan teks ini. Dengan demikian untuk memahami sebuah teks pembaca harus dapat memahami susunan gramatikal bahasa pada zaman itu dan memahami suasana batin  sang pengarang sehingga dapat diketahui dengan mudah maksud dari teks tersebut.

Berbeda dengan Scheilmacher, Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa meskipun orang-orang secara tidak langsung dapat merasakan apa yang orang-orang dulu rasakan dalam peristiwa masa lampau. Tetapi dapat dibayangkan bagaimana mereka mengalaminya dengan demikian heurmenetikanya biasa disebut sebagai heurmenetika sejarah. Dan menurutnya pula bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan piskis tokoh yang ada didalam teks, dan berempati secara langsung kepada pencipta teks. Tetapi membuat rekonstruksi dan objektivitas mental, yaitu produk budaya. Jadi perhatian diarahkan kepada struktur-struktur simbolis. Yang terpenting menurutnya pemahaman yang terjadi didalam symbol-simbol yang dituliskan sang pengarang[4], entah pemahaman itu lebih baik atau pun lebih buruk, ia mengatakan: "Sangat memungkinkan jika seorang penafsir akan bisa memahami pengarang dengan lebih baik dibanding dengan pengarang itu memahami dirinya sendiri". Meskipun terdapat perbedaan pandangan tetapi mereka tetap mempertahankan pendapat bahwa heurmenetik merupakan "menafsirkan secara reproduktif". Dalam arti disini yaitu memahami sebagaimana dulu pernah dipahami.

Wilhelm Dilthey mengemukakan bahwa dalam memahami kehidupan social kita harus mengetahui juga kompleksitas kehidupan yang terjadi disekitar masyarakat tersebut. Misalkan kehidupan social, budaya, bahasa disekitar masyarakat tersebut.[5]


2. Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer

Berbeda dengan kedua filusuf romantik, Heideger dan gadamer dalam pembahasan heurmenetika filsafat banyak berkutat pada masalah ontology. Pemikiran Heidegger dalam heurmenetika sering disebut dengan fenomenologi dasein. Jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan, situasi pengarang, dan audiensnya. Bagi Heidegger heurmenetika merupakan penafsiran terhadap esensi yang selalu muncul dalam bentuk eksistensi. Sehingga tidak ada lagi kesesuaian mutlak antara konsep dengan realita obektif. Dan satu-satunya penampakan esensi tersebut adalah eksistensi manusia. Maka heurmenetika tidak lain merupakan penafsiran manusia itu sendiri (dasein) melalui bahasa. Jadi heurmenetika merupakan cirri hakiki manusia, memahami dan menafsirkan merupakan cirri hakiki dari manusia. Menurutnya Ilmu pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari wujud di dunia, subjek tidak dapat dipisahkan dari objek,(Dasein), eksistensi manusia, ada-disana; dan karena wujudnya di dalam dunia. Dunia bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi memang wujud manusia ada di dunia.[6]

Gadamer menolak jika metode ilmiah (scientific method) merupakan satu-satunya metodhe menuju kepada kebenaran. Ia menolak jika bukti merupakan satu-satunya cara untuk meraih kebenaran. Seni, filsafat, sejarah, menentang universalitas metode ilmiah sebagai cara ekslusif dimana ilmu sebagai kebenaran diungkap. Gadamer menantang dominasi metode ilmiah melalui sejarah kemanusiaan, dan bukan melalui sejarah metode. Ini mengimplikasikan 2 hal. Pertama, metode terbentang diluar tradisi kemanusiaan. Kedua, sekalipun tidak langsung, metode, dan khususnya metode ilmu-ilmu alam, tidak memiliki sejarah: metode yang berasal dari fikiran Bacon dan Descartes dan tidak mengalami perubahan berarti semenjak itu.

Dominasi positivism dalam ilmu social, mungkin dapat diatasi oleh heurmenetika romantic. Namun ia masih menyisakan problem: bagaimana seseorang dapat keluar dari zamannya dan masuk kedalam zaman lain? Bagi gadmer itu merupakan hal yang mustahil karena manusia tidak akan pernah terlepas dari prasanga-prasangkanya dan sosiologi yang mengitarinya lalu masuk kedalam suasana lain.menurutnya makna teks bersifat terbuka bagi pemaknaan orang yang dapat membacanya, meski berbeda waktu dan tempat. Oleh karenanya proses heurmenetika merupakan pristiwa historical, dialektikal dan kebahasaan.

Bagi gadamer bahasa merupakan endapan dari tradisi manusia dan menadi usaha saling memahami antara manusia. Ia berpendapat sebagaimana Heiddeger bahwa essensi bereksistensi melalui diri manusia, dan pengekspresiannya melalui bahasa. Oleh karena itu proses heurmenetika merupakan pemahaman terhadap tradisi melalui bahasa lebih dari sekedar methode. Metode tidaklah merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru  akan dicapai ika batas-batas metodologi dapat dilampaui.

Dalam pandangan Gadamer terdapat empat factor yang selalu terlibat dalam proses interpretasi, yaitu: 1. Bildung,  yakni pembentukan alam pikiran. Yang dimaksud disini adalah alam pikiran atau alan pikiran yang mengalir secara harmonis. Dalam kaitannya dalam penafsiran bahwa pengalaman subek akan berperan dalam penafsiran itu sendiri. 2. Sensus cummunis. pertimbangan praktis yang baik menurut umum. Sejahrawan memerlukannya untuk mendasari pola sikap dasar manusia. 3. Pertimbangan  merupakan penggolongan hal-hal yang khusus dari hal-hal yang universal, pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan terhadap apa yang harus dilakukan. 4. Taste atau selera, yaitu sikap subektif yang berhubungan dengan bermacam-macam rasa. Keempat hal ini terdapat didalam setiap proses interpretasi.

Berdasarkan pandangannya itu, Gadamer melihat suatu proses yang terdapat dalam proses heurmenetis berlaku apa yang disebut effectife history. Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis, yaitu masa lampau dimana teks dilahirkan dan dipublikasikan. Masa sekarang dimana penafsir datang dengan prasangka-prasangkanya yang kemudian ikut menafsirkan melalui dialog dengan masa sebelumnya, sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan kkonteks sang penafsir. Masa depan, dimana didalamnya terkandung nuansa baru yang produktif disinilah terkandung effectife history yang mana didalamnya terdapat kenyataan bahwa penafsirdan pelaku sama-sama merupakan bagian tak terpisahkan dari aktifitas historis yang berada dalam suatu kontiunitas sejarah.

Dengan demikian Gadamer berpendapat bahwa interpretasi haruslah terkait dengan prasangka-prasangka yang terdetik didalam pengalamannya. Karena manusia tidak akan pernah dapat menjauhkan diri dari prasangka, dan ia tidaklah perlu untuk menauhkan diri dari prasangka. Karena menghindari prasangka berarti mematikan pikiran.
           
Lalu persoalan waktu antara penafsir dengan pembuat teks tidak perlu diatasi. Yang terpenting baginya adalah mengenal jarak waktu sebagai kemungkinan positif dan produktif dalam proses pemahaman.[7]

KESIMPULAN

Heurmenetika yang semula hanya berkutat pada masalah interpretasi teks akhirnya masuk pada penafsiran masalah ilmu-ilmu social. Dalam heurmenetika Ilmu social harus diikuti oleh sikap subektif dari penafsir terhadap objek. Didalam heurmenetika ilmu-ilmu social manusia mendapatkan tempat lebih dalam mengekspresikan prasangka-prasangkanya. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya terhadap dominasi metodologi ilmiah yang menghilangkan subjek dalam ilmu social.



[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal.23-24.
[2] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 15.
[3]Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2003, hal.  136
[4] Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, hal. 185
[5] Ibid, hal. 138-136
[6] Ibid. 139-140
[7] Ibid, hal. 142-143

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More