Fenomenologi
Husserl mengaitkan kehidupan social atau kehidupan manusia dengan realitas. Dan
dengan konsep lebenswelt nya Husserl memberikan inspirasi kepada
ilmu-ilmu social, yaitu ilmu yang menafsirkan suatu dunia yaitu dunia social.
Dalam
hal penafsiran ilmiah dikembangkan sebuah method baru yaitu heurmenetika, yang
mana merupakan suatu teori diantara beberapa teori yang melakukan pendekatan
baru dalam ilmu social. Teori ini dikembangkan oleh Frederich Schleirmacher,
Wilhelm Dilthey, Heidegger dan Georg Gadamer. Mereka meluaskan heurmenetika
dari interpretasi terhadap ilmu penafsiran teks saja menjadi penafsiran
terhadap ilmu social.
PENGERTIAN
HEURMENETIKA
Kata
“hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
“menafsirkan”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “penafsiran”
atau “interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti interpreter
(penafsir).
Istilah
Yunani berkenaan dengan kata “hermenuetik” ini dihubungkan dengan nama dewa
Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter
kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung
Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes
menjadi penting sebab jika terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan
pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi
simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil
tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.[1]
Menurut Richard
E. Palmer bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang
diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar
dari hermeneuein dan hermeneia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba
dari hermeneuein, sebagai berikut.
Pertama, hermeneuein
sebagai “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan),
atau “to say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi
“pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua, hermeneuein
sebagai “to explain” (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan
menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada
penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial
dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu,
merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi
tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi, serta
menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, hermeneuein
sebagai “to translate”. Pada dimensi ini “to interpret”
(menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan) yang merupakan
bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”.
Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat
dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah
menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat
kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan dunia,
bahkan persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari
pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapat
melihat melalui penglihatannya.[2]
Menurutnya pula terdapat
perkembangan heurmenetika kedalam enam pembahasan yaitu sebagai teori
penafsiran kitab suci, sebagai metode filologi, sebagai pemahaman linguistic,
sebagai logika dari ilmu social budaya, sebagai fenomenologi dasein, dan
sebagai teori interpretasi.
HEURMENETIKA
SEBAGAI PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL
Pembahasan
heurmenetika sebenarnya adalah pembahasan tentang metodologi yang cangupannya
ada dalam filsafat ilmu. Bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas.
Heurmenetika merupakan cara pandang untuk memahami realitas social, seperti
teks sejarah dan tradisi.
Sebagaimana
comte dan J. Struat Mill, Wilhelm Dilthey melakukan dikotomi antara metode
ilmu-ilmu alam yaitu metode erklaren dengan metode ilmu-ilmu social
yaitu metode verstehen. Metode erklaren merupakan metode khas
positivistic yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa perilaku alam menurut
hukum sebab-akibat. Sedangkan metode verstehen merupakan pemahaman subjektif
atas makna tindakan-tindakan social, dengan cara menafsirkan objeknya yang
berupa kehidupan social.[3]
Peranan
subjek yang menafsirkan dalam heurmenetika sangatlah jelas, dan harus mendasari
ilmu social itu sendiri pengalaman-pengalam yang subjektif ini akan membawa
kepada suatu yang objektif. Karena
menurutnya dalam ilmu-ilmu humaniora khususnya sejarah, suatu yang objektif ini sangat manusiawi yang mengandung
kemiripan-kemiripan dari lembarpengalaman yang orisinil menurut subjek yang
mengetahui. Oleh karena itu menurutnya perlu adanya pemroyeksian diri yang
mengethui kepada fenomena yang terikat.
Untuk
melihat peranan subjek dalam proses penafsiran, dibawah ini terdapat pemikiran tokoh-tokoh yaitu F.D.E
Schleiermacher, lalu Wilhelm Dilthey mereka berdua sering disebut sebagai
filosof romantika. Pembahasan mereka mencangkup seputar metodologi. Kemudian
Martin Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer yang sering disebut sebagai bapak
heurmenetika modern. Pembahasan mereka mencangkup masalah ontology.
1. F.D.E
Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey
Schleiermacher
dan Dilthey sering disebut sebagai filusuf romantika karena kecenderungan
pemikirannya yang cenderung kembali kemasa lampau. Mereka berdua
mempergunakan teori empati dalam menjelaskan bahwa objek dapat diketahui secara
reproduktif oleh ilmuwan social.
Hermenetika
Schleiermacher sering disebut sebagai heurmenetika psikologis, karena
menurutnya pembaca teks harus mampu berempati secara psikologis kedalam isi
teks dan pengarangnya. Pembaca harus mampu mengalami kembali
pengalaman-pengalaman yang yang pernah dialami pengarang yang termuat didalam
teks itu. Untuk mengerti kepada teks, seorang pembaca harus mampu untuk keluar
dari zamannya dan membangun kembali masa lampau tempat dimana zaman pengarang
hidup. Ia berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh teks bukanlah sema sekali apa
yang “kelihatannya” dikatakan kepada pembaca. Tetapi, maknanya harus ditemukan
dengan merekonstruksi situasi historis, dimana teks tersebut berasal. Hanya
dengan penafsiran yang terkontrol secara metodologis dan kritis, maksud
pengarang dapat diungkap.”
Dalam
heurmenetikanya Schleirmacher terdapat beberapa langkah: pertama Interpretasi
gramatikal dengan media kaedah bahasa. Kedua interpretasi psikolgis
dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika
menuliskan teks ini. Dengan demikian untuk memahami sebuah teks pembaca harus
dapat memahami susunan gramatikal bahasa pada zaman itu dan memahami suasana
batin sang pengarang sehingga dapat
diketahui dengan mudah maksud dari teks tersebut.
Berbeda
dengan Scheilmacher, Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa meskipun orang-orang
secara tidak langsung dapat merasakan apa yang orang-orang dulu rasakan dalam
peristiwa masa lampau. Tetapi dapat dibayangkan bagaimana mereka mengalaminya
dengan demikian heurmenetikanya biasa disebut sebagai heurmenetika sejarah. Dan
menurutnya pula bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan piskis tokoh yang ada
didalam teks, dan berempati secara langsung kepada pencipta teks. Tetapi
membuat rekonstruksi dan objektivitas mental, yaitu produk budaya. Jadi
perhatian diarahkan kepada struktur-struktur simbolis. Yang terpenting
menurutnya pemahaman yang terjadi didalam symbol-simbol yang dituliskan sang
pengarang[4],
entah pemahaman itu lebih baik atau pun lebih buruk, ia mengatakan:
"Sangat memungkinkan jika seorang penafsir akan bisa memahami pengarang
dengan lebih baik dibanding dengan pengarang itu memahami dirinya
sendiri". Meskipun terdapat perbedaan pandangan tetapi mereka tetap
mempertahankan pendapat bahwa heurmenetik merupakan "menafsirkan secara
reproduktif". Dalam arti disini yaitu memahami sebagaimana dulu pernah
dipahami.
Wilhelm
Dilthey mengemukakan bahwa dalam memahami kehidupan social kita harus
mengetahui juga kompleksitas kehidupan yang terjadi disekitar masyarakat
tersebut. Misalkan kehidupan social, budaya, bahasa disekitar masyarakat
tersebut.[5]
2.
Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer
Berbeda
dengan kedua filusuf romantik, Heideger dan gadamer dalam pembahasan
heurmenetika filsafat banyak berkutat pada masalah ontology. Pemikiran
Heidegger dalam heurmenetika sering disebut dengan fenomenologi dasein. Jika
Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang
kehidupan, situasi pengarang, dan audiensnya. Bagi Heidegger heurmenetika
merupakan penafsiran terhadap esensi yang selalu muncul dalam bentuk
eksistensi. Sehingga tidak ada lagi kesesuaian mutlak antara konsep dengan
realita obektif. Dan satu-satunya penampakan esensi tersebut adalah eksistensi
manusia. Maka heurmenetika tidak lain merupakan penafsiran manusia itu sendiri
(dasein) melalui bahasa. Jadi heurmenetika merupakan cirri hakiki manusia,
memahami dan menafsirkan merupakan cirri hakiki dari manusia. Menurutnya Ilmu
pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari wujud di dunia, subjek
tidak dapat dipisahkan dari objek,(Dasein), eksistensi manusia, ada-disana; dan
karena wujudnya di dalam dunia. Dunia bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi
memang wujud manusia ada di dunia.[6]
Gadamer
menolak jika metode ilmiah (scientific method) merupakan satu-satunya metodhe
menuju kepada kebenaran. Ia menolak jika bukti merupakan satu-satunya cara
untuk meraih kebenaran. Seni, filsafat, sejarah, menentang universalitas metode
ilmiah sebagai cara ekslusif dimana ilmu sebagai kebenaran diungkap. Gadamer
menantang dominasi metode ilmiah melalui sejarah kemanusiaan, dan bukan melalui
sejarah metode. Ini mengimplikasikan 2 hal. Pertama, metode terbentang diluar
tradisi kemanusiaan. Kedua, sekalipun tidak langsung, metode, dan khususnya
metode ilmu-ilmu alam, tidak memiliki sejarah: metode yang berasal dari fikiran
Bacon dan Descartes dan tidak mengalami perubahan berarti semenjak itu.
Dominasi
positivism dalam ilmu social, mungkin dapat diatasi oleh heurmenetika romantic.
Namun ia masih menyisakan problem: bagaimana seseorang dapat keluar dari
zamannya dan masuk kedalam zaman lain? Bagi gadmer itu merupakan hal yang
mustahil karena manusia tidak akan pernah terlepas dari prasanga-prasangkanya
dan sosiologi yang mengitarinya lalu masuk kedalam suasana lain.menurutnya
makna teks bersifat terbuka bagi pemaknaan orang yang dapat membacanya, meski
berbeda waktu dan tempat. Oleh karenanya proses heurmenetika merupakan pristiwa
historical, dialektikal dan kebahasaan.
Bagi
gadamer bahasa merupakan endapan dari tradisi manusia dan menadi usaha saling
memahami antara manusia. Ia berpendapat sebagaimana Heiddeger bahwa essensi
bereksistensi melalui diri manusia, dan pengekspresiannya melalui bahasa. Oleh
karena itu proses heurmenetika merupakan pemahaman terhadap tradisi melalui
bahasa lebih dari sekedar methode. Metode tidaklah merupakan wahana pemahaman
yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru
akan dicapai ika batas-batas metodologi dapat dilampaui.
Dalam
pandangan Gadamer terdapat empat factor yang selalu terlibat dalam proses
interpretasi, yaitu: 1. Bildung, yakni pembentukan alam pikiran. Yang dimaksud
disini adalah alam pikiran atau alan pikiran yang mengalir secara harmonis.
Dalam kaitannya dalam penafsiran bahwa pengalaman subek akan berperan dalam
penafsiran itu sendiri. 2. Sensus cummunis. pertimbangan praktis yang
baik menurut umum. Sejahrawan memerlukannya untuk mendasari pola sikap
dasar manusia. 3. Pertimbangan merupakan penggolongan hal-hal yang khusus
dari hal-hal yang universal, pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan
terhadap apa yang harus dilakukan. 4. Taste atau selera, yaitu sikap
subektif yang berhubungan dengan bermacam-macam rasa. Keempat hal ini terdapat
didalam setiap proses interpretasi.
Berdasarkan
pandangannya itu, Gadamer melihat suatu proses yang terdapat dalam proses
heurmenetis berlaku apa yang disebut effectife history. Konsep ini dimaksudkan
untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis,
yaitu masa lampau dimana teks dilahirkan dan dipublikasikan. Masa
sekarang dimana penafsir datang dengan prasangka-prasangkanya yang kemudian
ikut menafsirkan melalui dialog dengan masa sebelumnya, sehingga akan muncul
penafsiran yang sesuai dengan kkonteks sang penafsir. Masa depan, dimana
didalamnya terkandung nuansa baru yang produktif disinilah terkandung effectife
history yang mana didalamnya terdapat kenyataan bahwa penafsirdan pelaku
sama-sama merupakan bagian tak terpisahkan dari aktifitas historis yang berada
dalam suatu kontiunitas sejarah.
Dengan
demikian Gadamer berpendapat bahwa interpretasi haruslah terkait dengan
prasangka-prasangka yang terdetik didalam pengalamannya. Karena manusia tidak
akan pernah dapat menjauhkan diri dari prasangka, dan ia tidaklah perlu untuk
menauhkan diri dari prasangka. Karena menghindari prasangka berarti mematikan
pikiran.
Lalu
persoalan waktu antara penafsir dengan pembuat teks tidak perlu diatasi. Yang
terpenting baginya adalah mengenal jarak waktu sebagai kemungkinan positif dan
produktif dalam proses pemahaman.[7]
KESIMPULAN
Heurmenetika
yang semula hanya berkutat pada masalah interpretasi teks akhirnya masuk pada
penafsiran masalah ilmu-ilmu social. Dalam heurmenetika Ilmu social harus
diikuti oleh sikap subektif dari penafsir terhadap objek. Didalam heurmenetika
ilmu-ilmu social manusia mendapatkan tempat lebih dalam mengekspresikan
prasangka-prasangkanya. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya terhadap dominasi
metodologi ilmiah yang menghilangkan subjek dalam ilmu social.
[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Kanisius,
Yogyakarta, 1999, hal.23-24.
[2] Richard E. Palmer, Hermeneutika,
Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2003, hal. 15.
[3]Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Kajian Atas
Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta,
2003, hal. 136
[4] Mohammad Muslih, Filsafat
ilmu, hal. 185
[5] Ibid, hal. 138-136
[6] Ibid. 139-140
[7] Ibid, hal. 142-143