banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Jumat, 22 Maret 2013

Heurmenetika: Sebuah Interpretasi Ilmu Pengetahuan Sosial


Fenomenologi Husserl mengaitkan kehidupan social atau kehidupan manusia dengan realitas. Dan dengan konsep lebenswelt nya Husserl memberikan inspirasi kepada ilmu-ilmu social, yaitu ilmu yang menafsirkan suatu dunia yaitu dunia social.
Dalam hal penafsiran ilmiah dikembangkan sebuah method baru yaitu heurmenetika, yang mana merupakan suatu teori diantara beberapa teori yang melakukan pendekatan baru dalam ilmu social. Teori ini dikembangkan oleh Frederich Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Heidegger dan Georg Gadamer. Mereka meluaskan heurmenetika dari interpretasi terhadap ilmu penafsiran teks saja menjadi penafsiran terhadap ilmu social.

PENGERTIAN HEURMENETIKA

Kata “hermeneutik” berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata bendanya hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).

Istilah Yunani berkenaan dengan kata “hermenuetik” ini dihubungkan dengan nama dewa Hermes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hermes menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan.[1]

Menurut Richard E. Palmer bahwa mediasi dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Dewa Hermes itu terkandung dalam tiga bentuk makna dasar dari hermeneuein dan hermeneia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari hermeneuein, sebagai berikut.
Pertama, hermeneuein sebagai “to express” (mengungkapkan), “to assert” (menegaskan), atau “to say” (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi “pemberitahuan” dari Hermes.
Kedua, hermeneuein sebagai “to explain” (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi, serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, hermeneuein sebagai “to translate”. Pada dimensi ini “to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain. “Penerjemahan” membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenarnya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapat melihat melalui penglihatannya.[2]

Menurutnya pula terdapat perkembangan heurmenetika kedalam enam pembahasan yaitu sebagai teori penafsiran kitab suci, sebagai metode filologi, sebagai pemahaman linguistic, sebagai logika dari ilmu social budaya, sebagai fenomenologi dasein, dan sebagai teori interpretasi. 

HEURMENETIKA SEBAGAI PENDEKATAN ILMU-ILMU SOSIAL
           
Pembahasan heurmenetika sebenarnya adalah pembahasan tentang metodologi yang cangupannya ada dalam filsafat ilmu. Bukan problem metafisika yang mempersoalkan realitas. Heurmenetika merupakan cara pandang untuk memahami realitas social, seperti teks sejarah dan tradisi.

Sebagaimana comte dan J. Struat Mill, Wilhelm Dilthey melakukan dikotomi antara metode ilmu-ilmu alam yaitu metode erklaren dengan metode ilmu-ilmu social yaitu metode verstehen. Metode erklaren merupakan metode khas positivistic yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa perilaku alam menurut hukum sebab-akibat. Sedangkan metode verstehen merupakan pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan social, dengan cara menafsirkan objeknya yang berupa kehidupan social.[3]

Peranan subjek yang menafsirkan dalam heurmenetika sangatlah jelas, dan harus mendasari ilmu social itu sendiri pengalaman-pengalam yang subjektif ini akan membawa kepada suatu yang objektif.  Karena menurutnya dalam ilmu-ilmu humaniora khususnya sejarah, suatu yang objektif  ini sangat manusiawi yang mengandung kemiripan-kemiripan dari lembarpengalaman yang orisinil menurut subjek yang mengetahui. Oleh karena itu menurutnya perlu adanya pemroyeksian diri yang mengethui kepada fenomena yang terikat.

Untuk melihat peranan subjek dalam proses penafsiran, dibawah ini  terdapat pemikiran tokoh-tokoh yaitu F.D.E Schleiermacher, lalu Wilhelm Dilthey mereka berdua sering disebut sebagai filosof romantika. Pembahasan mereka mencangkup seputar metodologi. Kemudian Martin Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer yang sering disebut sebagai bapak heurmenetika modern. Pembahasan mereka mencangkup masalah ontology.

1. F.D.E Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey

Schleiermacher dan Dilthey sering disebut sebagai filusuf romantika karena kecenderungan pemikirannya yang cenderung kembali kemasa lampau. Mereka berdua mempergunakan teori empati dalam menjelaskan bahwa objek dapat diketahui secara reproduktif oleh ilmuwan social.

Hermenetika Schleiermacher sering disebut sebagai heurmenetika psikologis, karena menurutnya pembaca teks harus mampu berempati secara psikologis kedalam isi teks dan pengarangnya. Pembaca harus mampu mengalami kembali pengalaman-pengalaman yang yang pernah dialami pengarang yang termuat didalam teks itu. Untuk mengerti kepada teks, seorang pembaca harus mampu untuk keluar dari zamannya dan membangun kembali masa lampau tempat dimana zaman pengarang hidup. Ia berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh teks bukanlah sema sekali apa yang “kelihatannya” dikatakan kepada pembaca. Tetapi, maknanya harus ditemukan dengan merekonstruksi situasi historis, dimana teks tersebut berasal. Hanya dengan penafsiran yang terkontrol secara metodologis dan kritis, maksud pengarang dapat diungkap.”

Dalam heurmenetikanya Schleirmacher terdapat beberapa langkah: pertama Interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa. Kedua interpretasi psikolgis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika menuliskan teks ini. Dengan demikian untuk memahami sebuah teks pembaca harus dapat memahami susunan gramatikal bahasa pada zaman itu dan memahami suasana batin  sang pengarang sehingga dapat diketahui dengan mudah maksud dari teks tersebut.

Berbeda dengan Scheilmacher, Wilhelm Dilthey menyatakan bahwa meskipun orang-orang secara tidak langsung dapat merasakan apa yang orang-orang dulu rasakan dalam peristiwa masa lampau. Tetapi dapat dibayangkan bagaimana mereka mengalaminya dengan demikian heurmenetikanya biasa disebut sebagai heurmenetika sejarah. Dan menurutnya pula bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan piskis tokoh yang ada didalam teks, dan berempati secara langsung kepada pencipta teks. Tetapi membuat rekonstruksi dan objektivitas mental, yaitu produk budaya. Jadi perhatian diarahkan kepada struktur-struktur simbolis. Yang terpenting menurutnya pemahaman yang terjadi didalam symbol-simbol yang dituliskan sang pengarang[4], entah pemahaman itu lebih baik atau pun lebih buruk, ia mengatakan: "Sangat memungkinkan jika seorang penafsir akan bisa memahami pengarang dengan lebih baik dibanding dengan pengarang itu memahami dirinya sendiri". Meskipun terdapat perbedaan pandangan tetapi mereka tetap mempertahankan pendapat bahwa heurmenetik merupakan "menafsirkan secara reproduktif". Dalam arti disini yaitu memahami sebagaimana dulu pernah dipahami.

Wilhelm Dilthey mengemukakan bahwa dalam memahami kehidupan social kita harus mengetahui juga kompleksitas kehidupan yang terjadi disekitar masyarakat tersebut. Misalkan kehidupan social, budaya, bahasa disekitar masyarakat tersebut.[5]


2. Heidegger dan Hans-Gorg Gadamer

Berbeda dengan kedua filusuf romantik, Heideger dan gadamer dalam pembahasan heurmenetika filsafat banyak berkutat pada masalah ontology. Pemikiran Heidegger dalam heurmenetika sering disebut dengan fenomenologi dasein. Jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan, situasi pengarang, dan audiensnya. Bagi Heidegger heurmenetika merupakan penafsiran terhadap esensi yang selalu muncul dalam bentuk eksistensi. Sehingga tidak ada lagi kesesuaian mutlak antara konsep dengan realita obektif. Dan satu-satunya penampakan esensi tersebut adalah eksistensi manusia. Maka heurmenetika tidak lain merupakan penafsiran manusia itu sendiri (dasein) melalui bahasa. Jadi heurmenetika merupakan cirri hakiki manusia, memahami dan menafsirkan merupakan cirri hakiki dari manusia. Menurutnya Ilmu pengetahuan tentang dunia tidak dapat diasingkan dari wujud di dunia, subjek tidak dapat dipisahkan dari objek,(Dasein), eksistensi manusia, ada-disana; dan karena wujudnya di dalam dunia. Dunia bukanlah tempat keberadaan manusia tetapi memang wujud manusia ada di dunia.[6]

Gadamer menolak jika metode ilmiah (scientific method) merupakan satu-satunya metodhe menuju kepada kebenaran. Ia menolak jika bukti merupakan satu-satunya cara untuk meraih kebenaran. Seni, filsafat, sejarah, menentang universalitas metode ilmiah sebagai cara ekslusif dimana ilmu sebagai kebenaran diungkap. Gadamer menantang dominasi metode ilmiah melalui sejarah kemanusiaan, dan bukan melalui sejarah metode. Ini mengimplikasikan 2 hal. Pertama, metode terbentang diluar tradisi kemanusiaan. Kedua, sekalipun tidak langsung, metode, dan khususnya metode ilmu-ilmu alam, tidak memiliki sejarah: metode yang berasal dari fikiran Bacon dan Descartes dan tidak mengalami perubahan berarti semenjak itu.

Dominasi positivism dalam ilmu social, mungkin dapat diatasi oleh heurmenetika romantic. Namun ia masih menyisakan problem: bagaimana seseorang dapat keluar dari zamannya dan masuk kedalam zaman lain? Bagi gadmer itu merupakan hal yang mustahil karena manusia tidak akan pernah terlepas dari prasanga-prasangkanya dan sosiologi yang mengitarinya lalu masuk kedalam suasana lain.menurutnya makna teks bersifat terbuka bagi pemaknaan orang yang dapat membacanya, meski berbeda waktu dan tempat. Oleh karenanya proses heurmenetika merupakan pristiwa historical, dialektikal dan kebahasaan.

Bagi gadamer bahasa merupakan endapan dari tradisi manusia dan menadi usaha saling memahami antara manusia. Ia berpendapat sebagaimana Heiddeger bahwa essensi bereksistensi melalui diri manusia, dan pengekspresiannya melalui bahasa. Oleh karena itu proses heurmenetika merupakan pemahaman terhadap tradisi melalui bahasa lebih dari sekedar methode. Metode tidaklah merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran. Kebenaran justru  akan dicapai ika batas-batas metodologi dapat dilampaui.

Dalam pandangan Gadamer terdapat empat factor yang selalu terlibat dalam proses interpretasi, yaitu: 1. Bildung,  yakni pembentukan alam pikiran. Yang dimaksud disini adalah alam pikiran atau alan pikiran yang mengalir secara harmonis. Dalam kaitannya dalam penafsiran bahwa pengalaman subek akan berperan dalam penafsiran itu sendiri. 2. Sensus cummunis. pertimbangan praktis yang baik menurut umum. Sejahrawan memerlukannya untuk mendasari pola sikap dasar manusia. 3. Pertimbangan  merupakan penggolongan hal-hal yang khusus dari hal-hal yang universal, pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan terhadap apa yang harus dilakukan. 4. Taste atau selera, yaitu sikap subektif yang berhubungan dengan bermacam-macam rasa. Keempat hal ini terdapat didalam setiap proses interpretasi.

Berdasarkan pandangannya itu, Gadamer melihat suatu proses yang terdapat dalam proses heurmenetis berlaku apa yang disebut effectife history. Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis, yaitu masa lampau dimana teks dilahirkan dan dipublikasikan. Masa sekarang dimana penafsir datang dengan prasangka-prasangkanya yang kemudian ikut menafsirkan melalui dialog dengan masa sebelumnya, sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan kkonteks sang penafsir. Masa depan, dimana didalamnya terkandung nuansa baru yang produktif disinilah terkandung effectife history yang mana didalamnya terdapat kenyataan bahwa penafsirdan pelaku sama-sama merupakan bagian tak terpisahkan dari aktifitas historis yang berada dalam suatu kontiunitas sejarah.

Dengan demikian Gadamer berpendapat bahwa interpretasi haruslah terkait dengan prasangka-prasangka yang terdetik didalam pengalamannya. Karena manusia tidak akan pernah dapat menjauhkan diri dari prasangka, dan ia tidaklah perlu untuk menauhkan diri dari prasangka. Karena menghindari prasangka berarti mematikan pikiran.
           
Lalu persoalan waktu antara penafsir dengan pembuat teks tidak perlu diatasi. Yang terpenting baginya adalah mengenal jarak waktu sebagai kemungkinan positif dan produktif dalam proses pemahaman.[7]

KESIMPULAN

Heurmenetika yang semula hanya berkutat pada masalah interpretasi teks akhirnya masuk pada penafsiran masalah ilmu-ilmu social. Dalam heurmenetika Ilmu social harus diikuti oleh sikap subektif dari penafsir terhadap objek. Didalam heurmenetika ilmu-ilmu social manusia mendapatkan tempat lebih dalam mengekspresikan prasangka-prasangkanya. Sebagaimana yang terjadi sebelumnya terhadap dominasi metodologi ilmiah yang menghilangkan subjek dalam ilmu social.



[1] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal.23-24.
[2] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 15.
[3]Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma Dan Kerangka Ilmu Pengetahuan, Belukar, Yogyakarta, 2003, hal.  136
[4] Mohammad Muslih, Filsafat ilmu, hal. 185
[5] Ibid, hal. 138-136
[6] Ibid. 139-140
[7] Ibid, hal. 142-143

Sayyed Ahmad Khan: Pelopor Pendidikan di India

Abad kejumudan Islam ditandai dengan berbagai sikap para pemeluknya untuk menolak segala bentuk yang baru, apalagi yang datangnya dari luar. Sikap curiga, hati-hati, rendah diri, uzlah dan masa bodoh terhadap perkembangan keadaan dijadikan peluang yang paling empuk bagi kaum penjajah untuk tetap bertahan dalam daerah jajahan, dan kalau perlu mencari tambahan.
Akibatnya pada pertengahan abad ke 19 hampir semua negara yang mayoritas penduduknya Muslim menjadi daerah jajahan. Berlarut-larut penguasa asing terutama Inggris, Belanda, Perancis, Italia, Rusia menaklukan wilayah-wilayah Islam dan menjajahnya.
Belanda memasuki Indonesia tahun 1606 M, Inggris memasuki India tahun 1757, memasuki Malaka tahun 1811, memasuki Aden dan Laut Merah tahun 1839, memasuki Arabia Selatan dan Timur tahun 1840, memasuki Mesir tahun 1882, memasuki Sudan 1898.
Tujuan dan misi para penjajah ini adalah untuk memisahkan kaum Muslimin dari agama Islam dan mengkristenkan pemeluk Islam.[1]
Dalam menghadapi kaum penjajah yang dengan berbagai cara mereka lakukan guna melemahkan darah taklukan, maka kaum Muslimin memiliki sikap yang bermacam-macam. Ada kalanya mereka terus melakukan perlawanan dengan penuh semangat kepahlawanan, dan ada pula yang lari dari kenyataan kemudian mengasingkan diri ke tempat yang dianggap sepi sambil mendambakan kebahagiaan ukhrawi. Nasib duniawi mereka tinggalkan karena hanya menimbulkan melahirkan sengketa, permusuhan serta perebutan kekuasaan. Dengan demikian menjadi hidup suburlah paham kesufian dalam pemahaman yang amat dangkal. Mereka hanya mementingkan hubungan  hablun minallah, sedangkan hubungan hablun minannas kebanyakan meraka abaikan. Timbullah kesan, seakan-akan masalah Islam hanyalah yang menyangkut segi ritual atau ibadah dalam arti sempit, sedang di bidang muamalah sama sekali buta.

Kebencian Kaum Muslim
Timbul kebencian kaum Muslimin terhadap pemerintahan Inggris, hal ini dipicu karena kedudukan kaum Muslim yang rendah di India. Seperti telah terjadi diskriminasi terhadap kaum Muslim di India. Kebencian yang dibumbui perasaan emosional melahirkan sikap rasional, menolak segala yang datang dari pihak lain tanpa mempertimbangkan baik buruknya, maupun manfaat dan madharatnya.
Kebencian terhadap ilmu pengetahuan dari Barat malah mengakibatkan kemunduran bagi umat Islam di India sendiri, sedangkan orang-orang Hindu sudah jauh melangkah maju dalam langkah lapangan ilmu pengetahuan karena mereka mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya mengeruk sebanyak mungkin ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat itu.
Di tengah situasi kebencian kaum Muslim ini munculah seorang mujahid Islam yang memikirkan nasib umat Islam serta pendidikan yang ketinggalan dari kaum lainnya ketika itu, dia adalah Sayyed Ahmad Khan.

Sayyed Ahmad Khan
Lahir pada tahun 1817, Sayyed Ahmad Khan seperti ditakdirkan mengisi kesenjangan kepemimpinan yang terjadi di kalangan masyarakat India masa itu. Ke kalangan atas, hubungannya dengan orang-orang besar berlangsung leluasa. Intelektualitasnya tinggi, pandangannya tajam. Kecepatannya menangkap pengertian sangat mengagumkan, terutama membaca fikiran sebelum hal itu diucapkan orang.
Nenek moyang Sayyed Ahmad Khan sangat terkenal di medan perang, namun karena mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, maka mereka juga menganggap dirinya memiliki kekeramatan rohani juga[2].
Ayah Sayyed Ahmad Khan yang bernama Mir Muttaqi adalah seorang pemimpin agama, tetapi karena keturunan Sayid maka ia juga memperoleh pengaruh besar dan juga sangat dihormati oleh raja Mughal pada waktu itu, Akbar Syah II. Kakeknya Khwaja Fariduddin adalah panglima perang yang di kemudian hari diberi kedudukan agamis semi-hakim oleh kaisar Mughal dan menjadi perdana menteri selama delapan tahun di istana Mughal.

Peran Sir Sayyed Ahmad Khan di India
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya[3].  mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal. (Az-Zumar : 18)
Ajaran Al-Quran diatas dijalankan dan dipraktekan oleh Sayyed Ahmad Khan guna memperbaiki nasib umat Islam India, yang pada waktu itu sedang ditimpa penyakit jamid (beku berpikir) dan jahid (reaksioner). Dengan memetik serta menyeleksi mana yang paling baik, walaupun datangnya dari barat, maka pada tahun 1867, dia menulis “Wajiblah kita mempelajari kitab-kitab ilmu pengetahuan Barat, meskipun pengarangnya bukan orang Islam dan di dalamnya menyalahi Quran suci. Kita harus meniru cara orang Arab zaman dahulu, yang tidak takut akan kehilangan imannya karena mempelajari kitab Pythagoras”.[4]
Dengan Semboyan “Tolonglah dirimu sendiri, hanya dengan demikian engkau akan maju”. Sayyed Ahmad Khan bangkit membangunkan umat Islam India yang sedang malas, sikap puas, dan tidur pulas, membangunkan, menyadarkan mereka dari kemunduran dan keterbelakangan dengan menganjurkan agar mereka menuntut ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, sekalipun ilmu pengetahuan itu datangnya dari Barat.
Sebagai tindak lanjut dari anjurannya itu, maka pada tahun 1875 ia mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama “Aligarh College” yang bertujuan mencetak dan melahirkan pemimpin dan sarjana-sarjana Muslim yang mampu mewujudkan masyarakat Islam modern sesuai dengan tuntutan zaman, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam.
Perguruan “Aligarh College” ini dalam perkembangan selanjutnya tidak hanya menerima mahasiswa Muslim saja, tetap juga memberi kesempatan pula kepada orang-orang Hindu dan Kristen untuk memasukinya, sehingga perguruan tersebut menjadi terkenal dan ramai dikunjungi orang. Satu hal yang ditekankan di sini ialah bagi mahasiswa yang beragama Islam diwajibkan mengikuti mata kuliah agama Islam, sedangkan untuk mahasiswa-mahasiswa yang beraliran Syi’ah diberikan mata kuliah agama Islam menurut madzhab Syiah. Selain itu, perguruan ini menitikberatkan perhatiannya kepada pembentukan kepribadian mahasiswa, yang dalam hal ini sejalan dengan tujuan didirikannya “Aligard College” itu sendiri.

Perjalanan Inspiratif
Pada tahun 1869 anak Sayid Ahmad Khan, Sayid Mahmud, memperoleh beasiswa untuk studi lebih tinggi di universitas Cambridge, dan Sayid Ahmad Khan memutuskan untuk menyertainya ke Inggris. Maka pada usia 52 tahun yang sebagian besar orang India merasa bahwa mereka harus beristirahat dengan senang hati, ia meninggalkan negerinya untuk suatu perjalanan yang jauh lagi mahal pada waktu itu.
Sayid Ahmad Khan menetap di Inggris selama 17 bulan dan sibuk bekerja. Ia mempunyai banyak kawan dengan orang-orang Inggris yang sudah pensiun, dan mereka menunjukan keramahan dan kebaikan yang besar. Lord Lawrence umpamanya, setiap bulan selalu mendampingi dan mengatur kunjungan Sayid Ahmad ke lembaga-lembaga yang penting. Ia dipilih menjadi anggota kehormatan dari Atheneum dan juga diterima di Kantor Urusan India. Dan gelar C.S.I (Companion of order of the Star of India) dianugerahkan kepadanya
Di Inggris Sayid Ahmad Khan menghadiri banyak pertemuan sosial dan politik, selain itu ia juga menulis buku jawaban terhadap Life of Muhammad, karya Sir William Muir[5].
Sayid Ahmad Khan menghabiskan banyak waktu di Inggris untuk menghilangkan konsepsi yang salah tentang Islam. Tetapi sudah barang tentu ia adalah terlalu cerdik dan terlalu jujur untuk tidak melihat kesulitan-kesulitan Islam dan umat Muslim dapat diselesaikan hanya dengan penerbitan literatur polemik atau apologestik. Masih banyak lagi hal-hal yang perlu dibenahi dari kehidupan umat Muslim. Sayid Ahmad Khan sangat terkesan dengan kebiasaan dan tingkah laku rakyat Inggris, dengan kegiatan bekerja, kebersihan, ketepatan dan keteraturan cara hidup mereka. Sayid Ahmad Khan berpikir bahwa rakyatnya harus memperbarui diri mereka sendiri dalam banyak hal, dan merasa bahwa pendidikan yang benar adalah kunci bagi semua masalah ini. Ia mengunjungi Cambridge dan universitas-universitas di Inggris lainnya, dan ia memutuskan bahwa setelah kembali ke India ia akan bekerja untuk menyiarkan pendidikan yang baik dan modern di antara orang-orang muslim serta berusaha untuk mendirikan perguruan tinggi Muslim Cambridge di negerinya.
Pada akhir 1870 Sayid Ahmad Khan kembali ke India dan segera menerbitkan majalah Tahdzibul Akhlaq (Pembaruan Sosial). Nomor pertama dari Tahdzibul Akhlaq terbit pada tanggal 24 Desember 1870. Dengan majalah tersebut Sayid Ahmad Khan memulai suatu kampanye yang kuat untuk meningkatkan moral dan tingkah laku umat Muslim India. Dalam Tahdzibul Akhlaq ia dengan keras mengkritik semua adat kebiasaan yang dipandang menghambat kemajuan rakyat. Ia bandingkan adat kebiasaan orang Muslim India dengan adat kebiasaan bangsa-bangsa di dunia Barat, dan mempergunakan bahasa yang keras untuk menyadarkan umat Muslim India pada kemunduran serta kehancuran moral dan intelektualnya.[6]



Perguruan Tinggi Islam
Bersama-sama dengan terbitnya Tahdzibul Akhlaq, Sayid Ahmad Khan juga mulai bekerja untuk menyiarkan pendidikan modern. Pada tanggal 26 Desember 1870, di Benares ia mendirikan “Society for the Educational Progress of Indian Muslims” (Himpunan untuk Kemajuan Pendidikan Orang-orang Muslim India) yang setelah menerima banyak anjuran dan dipertimbangkan masak-masak, memutuskan untuk memulai mendirikan perguruan tinggi Islam. Pertama-tama Sayid Ahmad Khan ingin mendirikan universitas seperti universitas Cambridge, tetapi pemerintah India tidak mengizinkan. Aligarh di mana Sayid Ahmad Khan pernah beberapa tahun menjadi wakil hakim, dipilih sebagai pusatnya. Pada bulan Juni 1875 kelas-kelas pendahuluan dibuka, kemudian pada bulan Juli 1876 Sayid Ahmad Khan pensiun dari kantor pemerintahan dan menetap di Aligarh. Di sini ia mulai bekerja, sebagaimana tujuannya, dengan penuh semangat dan teliti.[7]
Perguruan Tinggi Aligarh pada asasnya hanyalah kerja Sayid Ahmad Khan, namun ia juga didukung oleh pembantu-pembantu yang cakap, dan peranan yang dilakukan anaknya, Sayid Mahmud, dalam merencanakan dan mengatur Perguruan Tinggi tersebut tidaklah kecil. Sayid Mahmud kembali ke India setelah berhasil dari Universitas Cambridge, dan ia tidak hanya memberikan banyak perincian mengenai cara kerja perguruan tinggi di Inggris, tetapi ia juga dapat menarik banyak orang dari Cambridge untuk membantu Perguruan Tinggi Aligarh.
Pada tahun 1886 ia mendirikan “Mohammadan Educational Conference” (Konferensi Pendidikan Islam)[8] yang mengadakan pertemuan di berbagai kota di India dan membawa pesan-pesan Aligarh ke seluruh wilayah India. Konferensi tersebut, sangat memperhatikan masalah pemerataan pendidikan modern di kalangan umat Muslim, dan mengambil resolusi-resolusi serta tindakan-tindakan guna menghilangkan faktor-faktor yang menghalangi kemajuan pendidikan.



Penutup
Bagi umat Muslim Sayid Ahmad Khan adalah seorang pembaru. Ia menganalisis sebab-sebab kemunduran orang Islam dan hasilnya, karena rasa apati terhadap pendidikan Barat. Berkat pribadi yang menarik, kerja keras, kemampuan yang besar, dan pandangannya yang tajam, ia berhasil mencapai sukses.
Sayid Ahmad Khan dianugerahi umur panjang. Pada hari-hari akhir hayatnya, yang ia butuhkan untuk istrahat, ia masih bekerja. Akhirnya ia meninggal dunia pada 27 Maret 1898, pada usia 81 tahun.


[1] Imam Munawwiw. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari Masa ke Masa. Pt bina ilmu. 2006. Surabaya. Hal 447
[2] Ahmad Khan memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui keturunan Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.
[3] Ialah mereka yang mendengarkan ajaran-ajaran Al Qur’an dan ajaran-ajaran yang lain, tetapi yang diikutinya ialah ajaran-ajaran Al Qur’an karena ia adalah yang paling baik.
[4] Imam Munawwir. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam. Hal 450
[5] Lahir di Glasgow dan dididik di akademi Kilmarnock, di Glasgow dan universitas Edinburgh, dan di sekolah Haileybury. Muir menjabat sebagai sekretaris gubernur di provinsi North West, dan sebagai anggota dewan pendapatan Agra. Dan selama pemberontakan ia memimpin intelejen di sana
[6] H.A. Mukti Ali. Alam Pikiran Islam Modern Di India Dan Pakistan. Mizan. 1996. Bandung. Hal 70
[7] Ibid. Hal 72
[8] Ibid. Hal 74

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More