Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari interaksi ataupun
komunikasi dengan manusia yang lain. Proses tersebut menjadikan manusia
berkembang seiring dengan kemampuan mereka dalam menangkap fenomena-fenomena
yang terjadi di sekitarnya. Interaksi sosial merupakan salah satu fondasi dari
hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang
berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Interaksi individu dalam beberapa
kondisi tertentu sangat memungkinkan terbentuknya tindakan dalam sistem sosial.[1] Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi
dua syarat, yaitu: pertama adanya kontak sosial dan kedua
adanya komunikasi.
Dari proses tindakan yang merupakan salah satu interaksi sosial,
maka timbul kelompok-kelompok sosial yang merupakan kesatuan sosial yang
terdiri dari kumpulan individu-individu yang bersama dengan mengadakan
hubungan timbal balik yang cukup
intensif dan
teratur, sehingga diharapkan adanya pembagian tugas, struktur, norma-norma
tertentu yang
berlaku bagi mereka.
Setiap
kumpulan individu tidak dapat
disebut kelompok sosial selama belum memenuhi syarat-syarat seperti,
setiap individu harus merupakan bagian dari kesatuan sosial, terdapat hubungan timbal balik diantara
individu-individu yang tergabung dalam kelompok, adanya faktor-faktor yang sama yang
dapat mempererat hubungan mereka yang bergabung
dalam kelompok,
berstrukur serta berkaidah, dan
mempunyai pola
perilaku, dan bersistem
serta berproses.[2]
Dari pengertiannya, kelompok sosial merupakan kumpulan manusia yang memiliki
kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.
Terbentuknya kelompok sosial dalam masyarakat
tertentu bisa menimbulkan konflik
apabila ada persaingan di dalamnya. Konflik dalam kelompok sosial
tersebut bisa terjadi antara individu dengan individu yang lain atau antara
individu dengan individu dari kelompok sosial yang lain, atau bahkan antar
kelompok sosial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konflik mempunyai arti atau
pengertian sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan.[3]
Adapun dalam ilmu sosial, konflik biasa diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik yang terjadi biasanya
terjadi karena kesalahpahaman atau tidak adanya saling memahami satu sama lain.
Upaya yang dilakukan sebelum, sedang berlangsung maupun setelah terjadinya
konflik semata-mata ingin pertikaian diantara kedua belah pihak berhenti untuk
tercapainya kondisi damai. Perdamaian merupakan persetujuan dalam mengakhiri
sebuah konflik, dan salah satu upaya dalam menangani ketegangan antara pelaku
dan korban dalam berkonflik adalah dengan diadakannya rekonsiliasi. Dalam
menempuh sebuah rekonsiliasi, pemaafan merupakan salah satu tindakan moral yang
bisa digunakan dalam meredam konflik antar individu ataupun kelompok sosial.
Dimasukannya dimensi pemaafan sebagai langkah awal dalam resolusi konflik
adalah bahwa fenomena yang terjadi di
masyarakat tidak hanya menggunakan satu sudut pandang atau pendekatan keilmuan
tunggal, karena pemaafan merupakan perilaku sosial psikologis dalam hubungan
antar individu.
Pemaafan dan Rekonsiliasi Konflik
Jill Scott dalam bukunya A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss Wrongdoing, mendefinisikan pemaafan secara harfiah yaitu melepaskan atau mengurangi kebencian terhadap orang untuk sebuah kesalahan; membebaskan kesalahan atau pelanggaran; membatalkan hutang.[4] Proses pemaafan tidak serta merta bisa terwujud, Pemaafan yang sungguh-sungguh akan selalu mengandung dua dimensi, yaitu dimensi intrapersonal dan dimensi intrapersonal. Yang pertama menjelaskan mengenai dunia intrapersonal korban terkait dengan kondisi-kondisi tertentu yang berlangsung dalam dunia emosi, pikiran, serta perilakunya yang muncul dari pengalamannya sebagai korban tindak pelanggaran, sementara dimensi yang kedua lebih berkaitan dengan kondisi-kondisi dimana pemaafan telah mengambil peran penting dalam proses pemulihan hubungan sosial.[5]
Model kombinasi dua dimensi yang digambarkan oleh Afthonul Afif dalam bukunya Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya bisa menjelaskan bagaimana pemaafan itu bisa terwujud. Kombinasi Dua Dimensi Pemaafan[6]
Intrapersona
|
Interpersona
|
Hasil
|
Tanpa
Komitmen
|
Tindakan
|
Pemaafan
Palsu
|
Komitmen
|
Tanpa
Tindakan
|
Pemaafaan
Diam-diam
|
Komitmen
|
Tindakan
|
Pemaafan
Total
|
Tanpa
Komitmen
|
Tanpa
Tindakan
|
Tiada
Pemaafan
|
Pemaafaan palsu (hollow forgiveness) terjadi dan hanya
berlangsung pada dimensi interpersonal, sedangkan pada dimensi intrapersonal
belum terjadi proses penyembuhan luka akibat konflik yang terjadi sehingga
memaafkan secara sungguh-sungguh dan tulus pun belm mampu. Pemaafan diam-diam (silent
forgiveness) merupakan pemaafan yang terjadi hanya ada pada dimensi
intrapersonal tanpa melibatkan dimensi interpersonal. Pemaafan total (total
forgiveness) terjadi ketika dimensi intrapersonal maupun interpersonal
telah berlangsung pemaafan. Tiada pemaafan (no Forgiveness) merupakan
kebalikan dari yang terjadi di model pemaafan total. Terjadinya tiada pemaafan
karena pada dua dimensi yaitu intrapersonal dan interpersonal tidak terjadi
pemaafan.[7]
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam proses pemaafan
sebagaimana yang ditawarkan oleh D. Patrick Miller dalam bukunya A Little
Book of Forgiveness diantaranya: 1. Meninjau secara rinci tentang perasaan
yang dialami termasuk kesedihan yang pahit dan keluhan yang serius. 2. Menyimpan
dalam pikiran mengengenai kesan apa saja yang bisa dimaafkan termasuk diri
sendiri, orang lain dan kejadian di masa lalu. 3. Membayangkan kehidupan akan
menjadi seperti apa tanpa ada rasa kesedihan atau keluhan yang telah
menghantui. 4. Membuat perbaikan antara orang yang telah menyakiti ataupun yang
disakiti. 5. Meminta bantuan kepada Tuhan atau bantuan dari alam, manusia,
maupun misteri dalam pikiran untuk mengatasi rasa takut serta hambatan pada
setiap langkah. 6. Memiliki kesabaran karena pemaafan menginduksi penyembuhan
luka yang mana ia akan mengikuti dengan sendiri seiring berjalannya waktu. 7.
Mengulangi beberapa langkah dari 1 sampai 6 sesering mungkin untuk kehidupan.[8]
Untuk mencapai sebuah resolusi konflik maka rekonsiliasi menjadi jalan bagi tercapainya tujuan dari kedua belah pihak. Pengertian dari rekonsiliasi adalah untuk mengembalikan hubungan; membawa ke dalam sebuah kesepakatan dan membangun hidup berdampingan secara damai. Orang-orang yang terlibat dalam rekonsiliasi bersifat individu atau kelompok dan boleh juga melibatkan mediator.[9] Rekonsiliasi sebenarnya lebih difokuskan kepada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat yang ditimbulkan dari konflik. Selain itu rekonsiliasi menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda serta mempertemukan segala energi yang ada untuk terbentuknya sebuah perdamaian dan keadilan.[10]
Rekonsiliasi yang sejati baru akan terjadi ketika kedua belah pihak
sama-sama menyepakati ditempuhnya jalan pemaafan. Kedua belah pihak harus mampu
membangun suasana saing percaya dan bersedia mewujudkan sebuah hubungan dengan
semangat baru, meski ia memang lebih sulit diciptakan, lantaran sering kali di
antara pihak yang bersengketa tidak bersedia menempuh jalan pemaafan.[11]
Adapun mengenai restorative justice memahami tindak kejahatan tidak
semata sebagai pelanggaran terhadap sebuah entitas abstrak yang bernama negara,
melainkan lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di
masyarakat dan hubungan-hubungan sosial.[12]
Van Ness dan Strong mengatakan bahwa restorative justice merupakan
sebuah gerakan reformasi yang telah dan akan mengambil bentuk dalam
agenda-agenda berikut: Pertama, restorative justice sebagai
sebuah sistem alternatif berbasis komunitas atas dominasi sistem peradilan
pidana. Kedua, restorative justice sebagai sumber pertimbangan
bagi kebijakan-kebijakan publik. Ketiga restorative justice sebagai
bagian yang hidup dalam sistem peradilan pidana. Keempat, restorative
justice sebagai gerakan reformasi internasional.[13]
Keberhasilan sebuah rekonsiliasi akan sangat ditentukan oleh sejauh
mana kebijakan-kebijakan politik pemerintahan transisi sanggup menjawab
sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: sudahkah masa lalu disikapi
secara terbuka di tingkat publik?, bagaimana hubungan-hubungan pihak-pihak yang
sebelumnya bertikai?, apakah hubungan mereka didasarkan pada masa lalu atau
masa depan?, apakah ada banyak versi tentang masa lalu? Bila tidak ada
kebijakan politik yang dengan sengaja ditunjukan untuk menjawab
pertanyan-pertanyaan tersebut, maka mewacanakan rekonsiliasi sama artinya
dengan menabur garam di atas luka-luka yang masih meradang.[14]
Wacana rekonsiliasi dan pemaafan akhirnya menjadi sesuatu yang
kurang berbobot dan rapuh secara moral,karena tidak memilik pendasaran masa
lalu yang kuat. Korban dan pelanggar menjadi predikat yang kabur, karena tidak
ada proses politik-hukum yang memungknkan seseorang ataupihak tertntu dapat
digolongkan ke dalam predikat itu. Penyembuhan luka pun menjadi proses yang
nyaris mustahil, karena tidak ada mekanisme restoratif apa pun yang sudah
diselenggarakan.[15]
Betapapun sulitnya mengadili pelanggar karena tiadanya kehendak politik yang
kuat dari penguasa – karena hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab memang
begitu tipis – atau hilangnya kepakeaan masyarakat akan derita yang ditanggung
korban akibat masa lalu yang terkunci rapat, harapan akan keadian dan masa
depan harus terus dirawat. Adanya harapan adalah dasar bagi setiap kemungkinan
di masa depan, tidak terkecuali tentang lahirnya manusia-manusia baru yang
dapat menghentikan rantai kejadian sebelumnya, meski kemungkinan ini betapapun
sulitnya untuk dipastikan. Namun, justru karena harapan adalah sesuatu yang
sangat dekat dengan ketidakpastian, ia sanggup merangsang manusia untuk
merefleksikan tindakan-tindakan sebelumnya atau untuk melahirkan tindakan-tindakan
baru. Disitulah makna atau pentingnya sebuah pemaafan dan janji.[16]
Hubungan antara maaf dan janji begitu dekat. Ketika korban
memaafkan, dia sebenarnya telah berjanji untuk tidak menuntut balas dan ketika
pelanggar meminta maaf, dia juga berjanji untuk tidak melanggar kembali. Janji
adalah pengikat bagi tindakan-tindakan agar lebih dapat dipastikan, agar
harapan-harapan lebih dekat dengan kenyataan. Sebagai tindakan baru, maaf
adalah kemungkinan terjauh yang masih dijangkau korban dalam merespo peristiwa-peristiwa
yang mengingkari kemanusiaan. Dengan demikian, maaf adalah sekaligus tindakan
yang dapat memulihkan kemanusiaan itu sendiri, sebuah penghormatan terhadap
manusia lain yang telah berbuat jahat semata-mata demi kebaikan orang tersebut.
Karena tiada sesuatu pun yang diharapkan dari pemberian maaf, dan tiada syarat
apapun yang diarapkan dari orang yang menerima maaf, maka ia berbeda secara
mendasar dengan rekonsiliasi.
Itu sebabnya maaf tidak dapat disalahpahami sebagai bentuk
pengingkaran atas hak-hak korban yang dilanggar, sebab korban tiada pernah
menempatkan pemulihan hak-haknya sebagai syarat pemberian maafnya, sebab maaf
adalah urusan tentang harapan di masa depan, bukan sekedar konsekuensi dari
pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu. Maaf pembatalan di depan
hukum? Maaf adalah tindakan yang tidak berhubungan atau tepatnya tidak
tergantung dengan hukum. Baik ketika hukum ditegakan maupun hukum dilanggar,
maaf tetap diberikan. Keduanya sama-sama menempatkan kemanusiaan sebagai dasar
bekerjanya namun sifatnya berbeda. Ketika keduanya beriringan dimana
kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab menemukan tempatnya bertumbuh, maka
rekonsiliasi akan menjadi tindakan baru yang menandai wajah kemanusiaan
berikutnya. Apabila dirumuskan maka yang terjadi adalah sebagai berikut: janji-janji
yang telah ditunaikan / penegakan hukum + maaf yang sudah diberikan =
rekonsiliasi.
Penutup
Dari pemaparan diatas bisa dilihat bagaimana sebuah pemaafan yang
berujung kepada terjadi sebuah rekonsiliasi bisa dijadikan acuan dalam resolusi
konflik. Restorative justice yang ingin dicapai mengharuskan pemaafan berjalan
di kedua dimensi, pelaku dan korban. Terkadang suslit menjalankan politik
pemaafan untuk mencari kemaslahatan bersama, tetapi dari proses pemaafan tersebut
bisa nampak apa yang diinginkan dari kedua belah pihak. Maka politik pemaafan
yang dibahas dalam tulisan ini ingin menjawab sekaligus menjadikan alternatif
dalam penyelesaian konflik ataupun sebagai sebuah resolusi dalam menangani
konflik.
Daftar Pustaka
Arif, Afhtonul, Pemaafan,
Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa
Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998)
Lederach, John Paul, Building
Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies (Washington: United
State Institute of Peace Press, 1999)
Miller, D. Patrick, A Little Book
of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA, 1994)
Parson, Talcott, The Social
System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991)
Scott, Jill, A Poetics of
Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New York:Palgrave
MacMilan, 2010)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008)
[1] Talcott Parson,
The Social System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan
Paul Ltd, 1991) hlm 1
Cipta, 1998), hlm. 200
[3] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional, 2008) hlm 746
[4] Jill Scott, A
Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New
York:Palgrave MacMilan, 2010) hlm 205
[5] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015) hlm 83
[6] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 95
[7] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 98-104
[8] D. Patrick
Miller, A Little Book of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA,
1994) hlm 9-15
[9] Jill Scott, A
Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, hlm 206
[10] John Paul
Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies
(Washington: United State Institute of Peace Press, 1999) hlm 29
[11] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 78
[12] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 328
[13] Daniel W. Van
Ness dan Karen Heetderks Strong, Restorative Justice: An Intoduction to
Restorative Justice (New Providence, NJ: LexisNexis Group, 2010) hlm 13-14
dalam Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice:
Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm
389-390
[14] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hm 398
[15] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 404
[16] Afhtonul Arif,
Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal
Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 405-6
0 komentar:
Posting Komentar