banner blog aing

Rabu, 15 Maret 2017

POLITIK PEMAAFAN & RESOLUSI KONFLIK

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari interaksi ataupun komunikasi dengan manusia yang lain. Proses tersebut menjadikan manusia berkembang seiring dengan kemampuan mereka dalam menangkap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Interaksi sosial merupakan salah satu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Interaksi individu dalam beberapa kondisi tertentu sangat memungkinkan terbentuknya tindakan dalam sistem sosial.[1] Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: pertama adanya kontak sosial dan kedua adanya komunikasi.

Dari proses tindakan yang merupakan salah satu interaksi sosial, maka timbul kelompok-kelompok sosial yang merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu-individu yang bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan adanya pembagian tugas, struktur, norma-norma tertentu yang  berlaku bagi mereka. Setiap kumpulan individu tidak dapat disebut kelompok sosial selama belum memenuhi syarat-syarat seperti, setiap individu harus merupakan bagian dari kesatuan sosial, terdapat hubungan timbal balik diantara individu-individu yang tergabung dalam kelompok, adanya faktor-faktor yang sama yang dapat mempererat hubungan mereka yang bergabung dalam kelompok, berstrukur serta berkaidah, dan mempunyai pola perilaku, dan bersistem serta berproses.[2] Dari pengertiannya, kelompok sosial merupakan kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.

Terbentuknya kelompok sosial dalam masyarakat tertentu bisa menimbulkan konflik  apabila ada persaingan di dalamnya. Konflik dalam kelompok sosial tersebut bisa terjadi antara individu dengan individu yang lain atau antara individu dengan individu dari kelompok sosial yang lain, atau bahkan antar kelompok sosial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konflik mempunyai arti atau pengertian sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan.[3] Adapun dalam ilmu sosial, konflik biasa diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik yang terjadi biasanya terjadi karena kesalahpahaman atau tidak adanya saling memahami satu sama lain. Upaya yang dilakukan sebelum, sedang berlangsung maupun setelah terjadinya konflik semata-mata ingin pertikaian diantara kedua belah pihak berhenti untuk tercapainya kondisi damai. Perdamaian merupakan persetujuan dalam mengakhiri sebuah konflik, dan salah satu upaya dalam menangani ketegangan antara pelaku dan korban dalam berkonflik adalah dengan diadakannya rekonsiliasi. Dalam menempuh sebuah rekonsiliasi, pemaafan merupakan salah satu tindakan moral yang bisa digunakan dalam meredam konflik antar individu ataupun kelompok sosial. Dimasukannya dimensi pemaafan sebagai langkah awal dalam resolusi konflik adalah bahwa  fenomena yang terjadi di masyarakat tidak hanya menggunakan satu sudut pandang atau pendekatan keilmuan tunggal, karena pemaafan merupakan perilaku sosial psikologis dalam hubungan antar individu.

Pemaafan dan Rekonsiliasi Konflik
 
Jill Scott dalam bukunya A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss Wrongdoing, mendefinisikan pemaafan secara harfiah yaitu melepaskan atau mengurangi kebencian terhadap orang untuk sebuah kesalahan; membebaskan kesalahan atau pelanggaran; membatalkan hutang.[4] Proses pemaafan tidak serta merta bisa terwujud, Pemaafan yang sungguh-sungguh akan selalu mengandung dua dimensi, yaitu dimensi intrapersonal dan dimensi intrapersonal. Yang pertama menjelaskan mengenai dunia intrapersonal korban terkait dengan kondisi-kondisi tertentu yang berlangsung dalam dunia emosi, pikiran, serta perilakunya yang muncul dari pengalamannya sebagai korban tindak pelanggaran, sementara dimensi yang kedua lebih berkaitan dengan kondisi-kondisi dimana pemaafan telah mengambil peran penting dalam proses pemulihan hubungan sosial.[5]
Model kombinasi dua dimensi yang digambarkan oleh Afthonul Afif dalam bukunya Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya bisa menjelaskan bagaimana pemaafan itu bisa terwujud. Kombinasi Dua Dimensi Pemaafan[6]
 
Intrapersona
Interpersona
Hasil
Tanpa Komitmen
Tindakan
Pemaafan Palsu
Komitmen
Tanpa Tindakan
Pemaafaan Diam-diam
Komitmen
Tindakan
Pemaafan Total
Tanpa Komitmen
Tanpa Tindakan
Tiada Pemaafan

Pemaafaan palsu (hollow forgiveness) terjadi dan hanya berlangsung pada dimensi interpersonal, sedangkan pada dimensi intrapersonal belum terjadi proses penyembuhan luka akibat konflik yang terjadi sehingga memaafkan secara sungguh-sungguh dan tulus pun belm mampu. Pemaafan diam-diam (silent forgiveness) merupakan pemaafan yang terjadi hanya ada pada dimensi intrapersonal tanpa melibatkan dimensi interpersonal. Pemaafan total (total forgiveness) terjadi ketika dimensi intrapersonal maupun interpersonal telah berlangsung pemaafan. Tiada pemaafan (no Forgiveness) merupakan kebalikan dari yang terjadi di model pemaafan total. Terjadinya tiada pemaafan karena pada dua dimensi yaitu intrapersonal dan interpersonal tidak terjadi pemaafan.[7]
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam proses pemaafan sebagaimana yang ditawarkan oleh D. Patrick Miller dalam bukunya A Little Book of Forgiveness diantaranya: 1. Meninjau secara rinci tentang perasaan yang dialami termasuk kesedihan yang pahit dan keluhan yang serius. 2. Menyimpan dalam pikiran mengengenai kesan apa saja yang bisa dimaafkan termasuk diri sendiri, orang lain dan kejadian di masa lalu. 3. Membayangkan kehidupan akan menjadi seperti apa tanpa ada rasa kesedihan atau keluhan yang telah menghantui. 4. Membuat perbaikan antara orang yang telah menyakiti ataupun yang disakiti. 5. Meminta bantuan kepada Tuhan atau bantuan dari alam, manusia, maupun misteri dalam pikiran untuk mengatasi rasa takut serta hambatan pada setiap langkah. 6. Memiliki kesabaran karena pemaafan menginduksi penyembuhan luka yang mana ia akan mengikuti dengan sendiri seiring berjalannya waktu. 7. Mengulangi beberapa langkah dari 1 sampai 6 sesering mungkin untuk kehidupan.[8]
 
Untuk mencapai sebuah resolusi konflik maka rekonsiliasi menjadi jalan bagi tercapainya tujuan dari kedua belah pihak. Pengertian dari rekonsiliasi adalah untuk mengembalikan hubungan; membawa ke dalam sebuah kesepakatan dan membangun hidup berdampingan secara damai. Orang-orang yang terlibat dalam rekonsiliasi bersifat individu atau kelompok dan boleh juga melibatkan mediator.[9] Rekonsiliasi sebenarnya lebih difokuskan kepada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat yang ditimbulkan dari konflik. Selain itu rekonsiliasi menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda serta mempertemukan segala energi yang ada untuk terbentuknya sebuah perdamaian dan keadilan.[10]
Rekonsiliasi yang sejati baru akan terjadi ketika kedua belah pihak sama-sama menyepakati ditempuhnya jalan pemaafan. Kedua belah pihak harus mampu membangun suasana saing percaya dan bersedia mewujudkan sebuah hubungan dengan semangat baru, meski ia memang lebih sulit diciptakan, lantaran sering kali di antara pihak yang bersengketa tidak bersedia menempuh jalan pemaafan.[11] Adapun mengenai restorative justice memahami tindak kejahatan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap sebuah entitas abstrak yang bernama negara, melainkan lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat dan hubungan-hubungan sosial.[12]

Van Ness dan Strong mengatakan bahwa restorative justice merupakan sebuah gerakan reformasi yang telah dan akan mengambil bentuk dalam agenda-agenda berikut: Pertama, restorative justice sebagai sebuah sistem alternatif berbasis komunitas atas dominasi sistem peradilan pidana. Kedua, restorative justice sebagai sumber pertimbangan bagi kebijakan-kebijakan publik. Ketiga restorative justice sebagai bagian yang hidup dalam sistem peradilan pidana. Keempat, restorative justice sebagai gerakan reformasi internasional.[13]

Keberhasilan sebuah rekonsiliasi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kebijakan-kebijakan politik pemerintahan transisi sanggup menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: sudahkah masa lalu disikapi secara terbuka di tingkat publik?, bagaimana hubungan-hubungan pihak-pihak yang sebelumnya bertikai?, apakah hubungan mereka didasarkan pada masa lalu atau masa depan?, apakah ada banyak versi tentang masa lalu? Bila tidak ada kebijakan politik yang dengan sengaja ditunjukan untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut, maka mewacanakan rekonsiliasi sama artinya dengan menabur garam di atas luka-luka yang masih meradang.[14]

Wacana rekonsiliasi dan pemaafan akhirnya menjadi sesuatu yang kurang berbobot dan rapuh secara moral,karena tidak memilik pendasaran masa lalu yang kuat. Korban dan pelanggar menjadi predikat yang kabur, karena tidak ada proses politik-hukum yang memungknkan seseorang ataupihak tertntu dapat digolongkan ke dalam predikat itu. Penyembuhan luka pun menjadi proses yang nyaris mustahil, karena tidak ada mekanisme restoratif apa pun yang sudah diselenggarakan.[15] Betapapun sulitnya mengadili pelanggar karena tiadanya kehendak politik yang kuat dari penguasa – karena hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab memang begitu tipis – atau hilangnya kepakeaan masyarakat akan derita yang ditanggung korban akibat masa lalu yang terkunci rapat, harapan akan keadian dan masa depan harus terus dirawat. Adanya harapan adalah dasar bagi setiap kemungkinan di masa depan, tidak terkecuali tentang lahirnya manusia-manusia baru yang dapat menghentikan rantai kejadian sebelumnya, meski kemungkinan ini betapapun sulitnya untuk dipastikan. Namun, justru karena harapan adalah sesuatu yang sangat dekat dengan ketidakpastian, ia sanggup merangsang manusia untuk merefleksikan tindakan-tindakan sebelumnya atau untuk melahirkan tindakan-tindakan baru. Disitulah makna atau pentingnya sebuah pemaafan dan janji.[16]

Hubungan antara maaf dan janji begitu dekat. Ketika korban memaafkan, dia sebenarnya telah berjanji untuk tidak menuntut balas dan ketika pelanggar meminta maaf, dia juga berjanji untuk tidak melanggar kembali. Janji adalah pengikat bagi tindakan-tindakan agar lebih dapat dipastikan, agar harapan-harapan lebih dekat dengan kenyataan. Sebagai tindakan baru, maaf adalah kemungkinan terjauh yang masih dijangkau korban dalam merespo peristiwa-peristiwa yang mengingkari kemanusiaan. Dengan demikian, maaf adalah sekaligus tindakan yang dapat memulihkan kemanusiaan itu sendiri, sebuah penghormatan terhadap manusia lain yang telah berbuat jahat semata-mata demi kebaikan orang tersebut. Karena tiada sesuatu pun yang diharapkan dari pemberian maaf, dan tiada syarat apapun yang diarapkan dari orang yang menerima maaf, maka ia berbeda secara mendasar dengan rekonsiliasi.

Itu sebabnya maaf tidak dapat disalahpahami sebagai bentuk pengingkaran atas hak-hak korban yang dilanggar, sebab korban tiada pernah menempatkan pemulihan hak-haknya sebagai syarat pemberian maafnya, sebab maaf adalah urusan tentang harapan di masa depan, bukan sekedar konsekuensi dari pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu. Maaf pembatalan di depan hukum? Maaf adalah tindakan yang tidak berhubungan atau tepatnya tidak tergantung dengan hukum. Baik ketika hukum ditegakan maupun hukum dilanggar, maaf tetap diberikan. Keduanya sama-sama menempatkan kemanusiaan sebagai dasar bekerjanya namun sifatnya berbeda. Ketika keduanya beriringan dimana kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab menemukan tempatnya bertumbuh, maka rekonsiliasi akan menjadi tindakan baru yang menandai wajah kemanusiaan berikutnya. Apabila dirumuskan maka yang terjadi adalah sebagai berikut: janji-janji yang telah ditunaikan / penegakan hukum + maaf yang sudah diberikan = rekonsiliasi.

Penutup

Dari pemaparan diatas bisa dilihat bagaimana sebuah pemaafan yang berujung kepada terjadi sebuah rekonsiliasi bisa dijadikan acuan dalam resolusi konflik. Restorative justice yang ingin dicapai mengharuskan pemaafan berjalan di kedua dimensi, pelaku dan korban. Terkadang suslit menjalankan politik pemaafan untuk mencari kemaslahatan bersama, tetapi dari proses pemaafan tersebut bisa nampak apa yang diinginkan dari kedua belah pihak. Maka politik pemaafan yang dibahas dalam tulisan ini ingin menjawab sekaligus menjadikan alternatif dalam penyelesaian konflik ataupun sebagai sebuah resolusi dalam menangani konflik.

 Daftar Pustaka

Arif, Afhtonul, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1998)
Lederach, John Paul, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies (Washington: United State Institute of Peace Press, 1999)
Miller, D. Patrick, A Little Book of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA, 1994)
Parson, Talcott, The Social System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991)
Scott, Jill, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New York:Palgrave MacMilan, 2010)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)


[1] Talcott Parson, The Social System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991) hlm 1
[2] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), hlm. 200
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008) hlm 746
[4] Jill Scott, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New York:Palgrave MacMilan, 2010)  hlm 205
[5] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hlm 83
[6] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 95
[7] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 98-104
[8] D. Patrick Miller, A Little Book of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA, 1994) hlm 9-15
[9] Jill Scott, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, hlm 206
[10] John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies (Washington: United State Institute of Peace Press, 1999) hlm 29
[11] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 78
[12] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 328
[13] Daniel W. Van Ness dan Karen Heetderks Strong, Restorative Justice: An Intoduction to Restorative Justice (New Providence, NJ: LexisNexis Group, 2010) hlm 13-14 dalam Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 389-390
[14] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hm 398
[15] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 404
[16] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 405-6

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More