banner blog aing

Rabu, 15 Maret 2017

POLITIK KEAGAMAAN ORDE BARU

Negara kesatuan republik Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara di Dunia yang memiliki bermacam-macam budaya. Bangsa yang telah dibentuk dari sejarah panjang berbagai perjuangan maupun diplomasi, ternyata tidak mudah untuk menyatukannya di masa awal berdiri. Kepentingan segelintir etnis maupun golongan tertentu, menjadi konflik tersendiri dalam pembentukan pemerintahan yang ideal setelah kemerdekaan dicapai. Dibawah kepemimpinan presiden pertama, yaitu Sukarno, Indonesia masih mencari pijakan yang tepat dalam hal-hal kebijakan untuk berpolitik. Dalam Demokrasi Terpimpin misalnya, ideologi-ideologi yang dominan ketika itu; Nasionalis, Agama, dan Komunis pernah disatukan dalam satu konstitusi  di akhir-akhir pemerintahan Orde Lama sebelum digantikan oleh Orde Baru.

Setelah jatuhnya Orde Lama yang dimulai dari serangkaian peristiwa-peritiwa penting; Gerakan 30 September tahun 1965, Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966, serta Sidang Istimewa MPRS 8 Maret 1967, maka Orde Baru yang dipimpin oleh presiden kedua Indonesia yaitu Suharto menjadikannya salah satu rezim penguasa terlama yang pernah ada di Indonesia.[1] Banyak prestasi di berbagai bidang yang telah dihasilkan oleh Suharto ketika memimpin negeri kepulauan ini. Pembangunan, swasembada beras, kesejahteraan rakyat, kemajuan ekonomi, dan lain sebagainya. Tetapi, dibalik kesuksesannya tersebut, pemerintah dalam menjalankan program-program yang dibuat dalam bentuk kebijaksanaan, seringkali menimbulkan kerugian maupun ketidakadilan di pihak lain terutama mereka yang tidak sejalan dengan apa yang dicanangkan. Itu disebabkan karena ketika Suharto mengambil alih pemerintahan, ia memiliki dua sasaran politik utama, yaitu: mengkonsolidasikan kekuasaanya, dan mendemobilisasi serta mendepolitisasi masyarakat.[2] Dan ini berdampak pada keberagaman yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai golongan, suku, ras, termasuk agama.

Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama nasional yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, serta Budha, dan mewajibkan warga negara untuk menganut salah satu agama dari kelima agama tersebut. Pendidikan dari tingkat paling bawah sampai jenjang perguruan tinggi pada masa tersebut diwajibkan mempelajari ajaran-ajaran agama mereka selama dua jam seminggu. Selain itu, identitas religius seseorang juga menjadi salah satu dari informasi seseorang yang harus dicatat pada kartu penduduk semua warga negara.[3] Pola pembedaan warga negara menurut agama ini merupakan salah satu kekacauan hasil dari tindakan inkonsisten Suharto dalam kebijakannya/politiknya terhadap agama. Maka dalam makalah yang sederhana ini, penulis akan sedikit banyak memaparkan sejarah kebijakan politik Orde Baru yang berkenaan dengan kelompok atau golongan keagamaan khususnya agama mayoritas, termasuk di dalamnya masalah etnis yang ada di Indonesia.

Politik Masa Awal Pemerintahan Suharto

Suharto resmi dilantik menjadi presiden kedua republic Indonesia pada sidang MPRS tanggal 27 Maret 1986. Prioritas utama saat pertama diangkat adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru tersebut bertumpu pada bantuan luar negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain, lembaga-lembaga keuangan internasional dan penanaman modal asing bersedia mengucurkan bantuan dana atau menanamkannya bila iklim sosial-politik Indonesia dinilai kondusif.[4] Selain itu, gagasan dan tindakan Suharto selain pembangunan ekonomi adalah membenahi bidang politik dan pemerintahan. Orde baru Suharto meyakini bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa jaminan stabilitas politik. Ada beberapa tahap awal yang dinilai Orde Baru sebelum merancang pembangunan politik diantaranya yaitu, memberantas PKI dan ideologinya, mengonsolidasi pemerintahan, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten, menghapus dualisme kepemimpinan, serta menegakakan stabilitas.[5]

Tahap pertama dalam pembangunan serta menjaga stabilitas politik adalah memberantas PKI dan ideologinya. Sebelum Sukarno dilengserkan oleh Suharto, Indonesia mempunyai tiga ideologi besar yang menguasai bangsa. Nasionalis, agama khususnya Islam, serta komunis yang menjadi kekuatan dalam politik pada masa itu. Tetapi setelah adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan Suharto menjadi sosok sentral dalam kejadian tersebut,[6] PKI dengan ideologi komunisnya yang berasal dari pengaruh Uni-Soviet serta Cina mulai dibersihkan pada masa Orde Baru. Dampak yang sangat terasa dari pembersihan ini adalah mereka para penganut paham komunis dari tingkat elit hingga rakyat biasa, serta etnis Cina yang telah lama tinggal di Indonesia. Kerusuhan anti-Cina di Indonesia pun pecah tidak bisa dibendung. Di tengah kerusuhan yang kacau ini, masa menyerang sekolah dan organisasi masyarakat Cina dan merusak berbagai fasilitas lain untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap RRC, orang Cina, atau kepada penganut aliran Komunis.[7] Maka kebijakan-kebijakan pemerintah masa awal Orde baru terhadap etnis Cina, menjadi perhatian besar dalam menjaga stabilitas politik negara.

Salah satu kebijakan pemerintahan Suharto terhadap etnis Cina adalah menerapkan kebijakan pemaksaan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Indonesia Cina untuk melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin mereka. Pemerintah menutup semua sekolah berbahasa mandarin dan mengatur anak-anak keturunan Cina untuk hanya masuk ke sekolah berbahasa Indonesia. Pemerintah juga melarang penggunaan aksara Mandarin, dan semua bentuk dan ungkapan yang dapat ditelusuri berasal dari kebudayaan Cina. Di samping itu, sebuah traktat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1968 mengimbau orang Indonesia untuk mengganti nama Cina mereka dengan nama Indonesia untuk menunjukan komitmen pada negara.[8] Kebijakan asimilasi ini berdampak luas setelah-setelahnya terhadap berbagai aspek kehidupan yang bersangkutan dengan Cina seperti larangan impor, barang dagang dalam bentuk atau huruf dan bahasa Cina,[9] larangan penggunaan media massa berbahasa Cina,[10] serta larangan menunjukan kebudayaan mereka termasuk agama.

Hal menarik mengenai kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap agama khususnya agama orang Cina adalah bahwa pada masa tersebut, negara hanya mengakui lima agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan yang diterapkan ini tentu sangat bertentangan dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Dalam penjelasan penetapan presiden tersebut, pasal 1 mengatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Ini menunjukan bahwa politik agama pada masa awal dan masa-masa selanjutnya di pemerintahan Orde baru, masih terpusat pada masalah etnisitas khususnya Cina dan agama mereka, meskipun pemerintah berdalih hanya ingin stabilitas negara tetap terjaga.

Konsolidasi Militer untuk Stabilitasi Politik

Salah satu sasaran utama Suharto dalam menjaga stabilitas politiknya pada zaman Orde Baru diantaranya adalah dengan memasukan kekuatan militer kedalam tubuh pemerintahan, dan itu terjadi ada sekitar tahun 80-an, serta lazim disebut dengan tahap konsolidasi. Struktur pemerintahan ketika itu berada di bawah dominasi militer dan Pancasila sebagai ideology secara sistematis dicanangkan sebagai asas tunggal mulai disosialisasikan pada rakyat.[11] Kemiliteran dibentuk sebelum tahap tersebut agar mempunyai tujuan untuk menopang kekuatan  negara dan selalu siap untuk menjalankan peranya sebagai kekuatan negara menghadapi ancaman ideology apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui. Kondisi semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisi (gerakan) politik agama, khususnya Islam  semakin dalam.[12]

Meskipun Islam dalam sejarahnya Orde Baru memberikan dukungan besar dalam penumpasan PKI, tapi keberadaannya sebagai sebuah ideologi tidak mungkin diakomodir pemerintah rezim Suharto. Orde Baru benar-benar anti terhadap pergulatan ideologis dan kepentingan politik lainnya. Di bawah rezim  yang disebut dengan rezim diktator ini, oposisi politik dalam bentuk apapun  tidak diperkenankan dan  pemerintah terus menerus melakukan  intimidasi serta tekanan yang sangat hebat terhadap kemerdekaan individu, penindasan terhadap kebebasan, hak berbicara serta melakukan  diskusi terbuka.[13] Karena Orde baru lebih mengharapkan stabilitas dan mengembalikan bangsa Indonesia kepada nilai-nilai yang diyakini sebagai nilai alamiah bangsa, yaitu Pancasila. Maka Islam sebagai agama, ideologi maupun basis politik, pada masa pemerintahan Orde Baru lebih dipandang sebagai sebentuk ideologi primordial yang berpotensi menciptakan instabilitas negeri.[14] Tekanan kalangan agama khususnya Islam pada pemerintah, menyebabkan sejarah awal pemerintahan Orde Baru diwarnai oleh hubungan yang tidak harmonis. Para aktivis partai Islam keberatan dengan kontrol pemerintah yang sangat luas dan membatasi semua gerak poltik yang bersifat independen.[15]

Untuk memberikan gerak politik yang sempit, pemerintahan Orde Baru pernah menyederhanakan partai-partai politik di Indonesia. Suharto memaksa sepuluh partai yang ada pada tahun 1973 bergabung menjadi tiga partai: partai pemerintah Suharto yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didominasi golongan Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang umumnya beranggotakan golongan nasionalis dan Kristen.[16] Partai-partai politik tersebut dikelompokan dalam: 1. Golongan nasional yaitu PDI hasil fusi lima partai politik yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia / Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, serta IPKI, 2. Golongan spiritual yaitu PPP hasil fusi dari empat partai yakni NU, Parmusi, PSII dan Perti, 3. Golongan karya yaitu partai pemerintah.[17]

Hubungan Islam dan Pemerintah Orde Baru

Format politik pada masa kepemimpinan Suharto yang telah dibentuk sejak 1966, menempatkan militer sebagai kekuatan politik yang dominan. Ada beberapa hubungan agama khususnya Islam dengan negara dalam politik Orde Baru, diantaranya hubungan bersifat antagonistik, hubungan bersifat resiprokal kritis, serta hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistik yang dimulai tahun 1996 terjadi karena dikalangan Islam timbul harapan untuk kembali memainkan peranya seperti pada masa demokrasi parlementer, tetapi hubungan ini berlangsung sampai dengan masa penerapan asas tunggal. Ketegangan konseptual yang tercipta menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk saling memahami posisi masing-masing, dan Islam keika itu berada pada masa resiprokal kritis yaitu antara tahun 1982-1985. Dan setelah semua organisasi massa serta organisasi sosial politik mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hubungan Islam dan pemerintah tersebut menjadi hubungan yang bersifat akodomodatif.[18]

Setelah Orde Baru melakukan test politik, umat Islam pada masa menjelang akhir Orde Baru dinilai lulus ujian. Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh ormas-ormas Islam semakin memperkuat tali persaudaraan, karena mereka belajar dari pengalaman partai politik Islam sebelumnya yang terpecah-belah. Hubungan akomodatif yang terjadi antara pemerintah dan Islam mulai tampak ketika keluar kebijaksanaan pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghapus larangan berbusana muslimah di sekolah-sekolah. Selain itu, perkembangan positif hubungan antara keduanya antara lain adalah pengesahan RUU Pendidikan Nasional, penyelesaian kasus Monitor, pengesahan RUU Peradilan Agama, pengiriman dai ke daerah-daerah transmigrasi, pembentukan ICMI, peningkatan kiprah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpinan langsung oleh Suharto, pendirian Bank Muamalat, penyelenggaraan Festival Istiqlal, serta penghijauan di DPR/MPR, Kabinet Pembangunan VI dan pengurus DPP Golkar 1993/1994.[19]

Model kepolitikan Orde Baru yang berupa kebijakan pemerintah terhadap kehidupan keagamaan khususnya Islam telah disusun. Konsep dasar pemerintah Orde Baru dalam merumuskan kebjaksanaan terhadap umat Islam sejajar dan serupa dengan sikap pemerintah kolonial Belanda terdahulu, yang biasa disebut dengan politik kembar. Sebagaimana diketahui, politik kembar masa kolonial membedakan Islam Politik dengan Islam Ibadah. Apabila dibandingkan politik agama masa Belanda dengan politik pemerintahan Orde Baru, sebenarnya terdapat perbedaan yang substansial:
1.      Dalam konsep teoritis state and society, pada masa colonial Islam hanya hadir di dalam society, sedangkan pada masa Orde Baru Islam hadir dalam state dan society. Konsep dasar pemerintah tidak membedakan Islam politik dengan Islam ibadah. Bahkan pemerintah Orde Baru sangat membutuhkan dukungan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas, baik guna legitimasi system politik maupun dalam menyukseskan pembangunan nasional. Dukungan tersebut harus diletakan dalam kerangka politik.
2.      Yang dibedakan dalam pemerintahan Orde Baru adalah Islam partai politik dengan Islam nonpartai politik.
3.      Negara Pancasila bukanlah negara sekuler ataupun negara teokratis. Pemerintah Orde Baru tetap menangani kehidupan keagamaan warga negara tanpa harus menjadi negara teokratis. Keberadan Departemen Agama dan dukungan terhadap program-program ormas Islam adalah contohnya. Disisi lain, pemerintah tidak melegalisir sebuah agama resmi negara dan melakukan merginalisasi peranan pemuka-pemuka agama dalam politik pemerintahan, tanpa harus menjadi negara sekuler.[20] 

Pada perkembangannya, politik terhadap agama pada masa pemerintahan Orde Baru lambat laun mulai lepas kendali. Beberapa kebijakan yang dibuatnya tersebut telah memunculkan kembali ketegangan antar agama di Indonesia yang tdak bisa dilepaskan dari kecemburuan ekonomi dan ras.[21] Miskinnya pemahaman masyarakat tentang kemajemukan beragama atau populer dengan pluralisme, merupakan salah satu penyebab konflik bernuansa SARA. Selain itu, kurangnya pemahaman kemajemukan kehidupan bersama dipahami sekedar hanya ada orang yang berbeda agama, suku, golongan, bahasa, pendidikan, tingkat ekonomi, melainkan harus adanya interaksi, dinamika, dialog, komunikasi. Dan selama 32 tahun Orde Baru, interaksi, dinamika, dialog, dan komunikasi tersebut dikemas atau dihalang-halangi dan sedapat mungkin ditolak, ditutupi, dihindari atas nama kerukunan, toleransi dan SARA.[22]

Tantangan penataan keragaman keagamaan yang ada di Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru, seharusnya bisa dirumuskan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip dasar Pancasila. Tetapi, hal yang sangat mendasar ini tampak terabaikan mulai terabaikan di tengah reformasi yang menuntut desakralisasi Pancasila dari kalangan atau kelompok tertentu. [23] Memang ada semacam trauma sejarah dalam benak masyarakat ketika Pancasila yang mestinya menjadi platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diseret oleh Orde Baru menjadi instrument peneguhan rezim otoriter Suharto. Semuanya disebabkan dari pengalaman politik ketika sila-sila Pancasila didendangkan sebagai alat penyeragaman dan kontrol sosial politik pemerintah.

Penutup

Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, tidak lepas dari berbagai macam dinamika politik. Perubahan strategi pemerintahan untuk menjaga stabilitas politik negeri seringkali mengalami ketimpangan kebijaksanaan. Pembersihan ideology yang bertentangan, asimilasi kebudayaan etnis tertentu, konsolidasi militer, depolitisasi kelompok tertentu, sampai hubungan yang bersifat akomodatif yang ditempuh, menjadikan rezim yang dipimpin oleh Suharto inkonsisten dalam berpolitik. Agama-agama yang terdapat di Indonesia dan merupakan salah satu elemen dari kebhinekaan, dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila yang pluralis, tetapi dalam prakteknya dengan menggunakan politik yang dijalankannya bisa mengeksploitasi ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara komunitas keagamaan yang satu dengan yang lain. Itu disebabkan karena wacana politis kebhinekaan khususnya yang bersifat etnoreligius pada masa Orde Baru, dipandang sebagai pengaruh negative bagi proses pembentukan negara. Hal ini memberikan warisan yang pahit, yaitu negera selalu campur tangan dalam urusan-urusan keagamaan dan dengan mengadu komunitas-komunitas religius satu dengan yang lain, membuat hubungan-hubungan antara komunitas menjadi sangat rumit.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Ombak, 2006)
Adityawan, Arief S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008)
Awwas, Irfan S. (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000)
Darwis, Aimee, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Hasan, Noorhadi, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012)
Hefner, Robert W. (ed), Politik Mutikulturalisme, (terj) Bernadus Hidayat, (Yogyakarta: IMPULSE)
Mujiran, Paulus, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Tamwifi, Irfan, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014)
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Winters, Jeffrey A., Dosa-dosa Politik Orde Baru,  (terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999) 


[1] Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia selama 32 tahun terhitung dari Supersemar 1966 sampai jatuhnya rezim tersebut pada tahun 1998, dan apabila berpatok pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 maka rezim tersebut bekuasa selama 33 tahun. Lebih lanjut lihat Asvi Warman Adam, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Ombak, 2006)
[2] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru,  (terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999)  hal 7
[3] Robert W. Hefner, “Pendahuluan: Multikulturalisme dan KEwarganegaraan di Malaysia, Singapura,dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed), Politik Mutikulturalisme, (terj) Bernadus Hidayat, (Yogyakarta: IMPULSE) hal 66
[4] Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008) hal 107
[5] Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, hal 109
[6] Masih menjadi kontroversi sejarah, karena ada beberapa versi mengenai siapa dalang dari peristiwa tersebut, diantaranya yaitu: PKI, Angkatan Darat, Sukarno, Suharto, dan unsur-unsur asing.
[7] Aimee Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) hal 27. Lihat juga Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, (New York: Oxford University, 1983)
[8] Aimee Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, hal 1 yang dikutip dari Mely G Tan, The Ethnic in Indonesia: Trials and Tribulation.dalam F.Sleman, A.A. Sutama & A. Rajendra (Eds) Struggling in Hope: A Tribute to The Rev.Dr. Eka Darmaputra, (Jakarta:PT BPK Gunung Mulya, 1999) dan Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembanguna Bangsa, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999)
[9] Tertuang dalam surat keputusan menteri perdagangan dan koperasi No. 286/KP/XXI/78 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam bentuk huruf/aksara dan bahasa Cina
[10] Instruksi presidium cabinet No. 49/U/8/1967 tentang pendayagunaan mass media berbahasa Cina
[11] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014) hal 343
[12] Irfan S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000) hal 7
[13] Irfan S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000,  hal 1
[14] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 371
[15]Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 372
[16] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 17
[17] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 111
[18] Abdul Aziz Thaba,  Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hal 240
[19] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal  278-279
[20] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal 316-317
[21] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 4
[22] Paulus Mujiran, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal 265
[23] Noorhadi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012) hlm  186

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More