Negara kesatuan republik Indonesia merupakan salah satu diantara
negara-negara di Dunia yang memiliki bermacam-macam budaya. Bangsa yang telah
dibentuk dari sejarah panjang berbagai perjuangan maupun diplomasi, ternyata
tidak mudah untuk menyatukannya di masa awal berdiri. Kepentingan segelintir
etnis maupun golongan tertentu, menjadi konflik tersendiri dalam pembentukan
pemerintahan yang ideal setelah kemerdekaan dicapai. Dibawah kepemimpinan
presiden pertama, yaitu Sukarno, Indonesia masih mencari pijakan yang tepat
dalam hal-hal kebijakan untuk berpolitik. Dalam Demokrasi Terpimpin misalnya,
ideologi-ideologi yang dominan ketika itu; Nasionalis, Agama, dan Komunis
pernah disatukan dalam satu konstitusi di
akhir-akhir pemerintahan Orde Lama sebelum digantikan oleh Orde Baru.
Setelah jatuhnya Orde Lama yang dimulai dari serangkaian
peristiwa-peritiwa penting; Gerakan 30 September tahun 1965, Supersemar atau
Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966, serta Sidang Istimewa MPRS 8 Maret
1967, maka Orde Baru yang dipimpin oleh presiden kedua Indonesia yaitu Suharto
menjadikannya salah satu rezim penguasa terlama yang pernah ada di Indonesia.[1] Banyak
prestasi di berbagai bidang yang telah dihasilkan oleh Suharto ketika memimpin
negeri kepulauan ini. Pembangunan, swasembada beras, kesejahteraan rakyat,
kemajuan ekonomi, dan lain sebagainya. Tetapi, dibalik kesuksesannya tersebut,
pemerintah dalam menjalankan program-program yang dibuat dalam bentuk
kebijaksanaan, seringkali menimbulkan kerugian maupun ketidakadilan di pihak
lain terutama mereka yang tidak sejalan dengan apa yang dicanangkan. Itu
disebabkan karena ketika Suharto mengambil alih pemerintahan, ia memiliki dua
sasaran politik utama, yaitu: mengkonsolidasikan kekuasaanya, dan
mendemobilisasi serta mendepolitisasi masyarakat.[2]
Dan ini berdampak pada keberagaman yang ada di Indonesia yang terdiri dari
berbagai golongan, suku, ras, termasuk agama.
Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama nasional yaitu
Islam, Protestan, Katolik, Hindu, serta Budha, dan mewajibkan warga negara
untuk menganut salah satu agama dari kelima agama tersebut. Pendidikan dari
tingkat paling bawah sampai jenjang perguruan tinggi pada masa tersebut diwajibkan
mempelajari ajaran-ajaran agama mereka selama dua jam seminggu. Selain itu,
identitas religius seseorang juga menjadi salah satu dari informasi seseorang
yang harus dicatat pada kartu penduduk semua warga negara.[3]
Pola pembedaan warga negara menurut agama ini merupakan salah satu kekacauan
hasil dari tindakan inkonsisten Suharto dalam kebijakannya/politiknya terhadap
agama. Maka dalam makalah yang sederhana ini, penulis akan sedikit banyak
memaparkan sejarah kebijakan politik Orde Baru yang berkenaan dengan kelompok
atau golongan keagamaan khususnya agama mayoritas, termasuk di dalamnya masalah
etnis yang ada di Indonesia.
Politik Masa Awal Pemerintahan Suharto
Suharto resmi dilantik menjadi presiden kedua republic Indonesia
pada sidang MPRS tanggal 27 Maret 1986. Prioritas utama saat pertama diangkat
adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi
pemerintah Orde Baru tersebut bertumpu pada bantuan luar negeri dan penanaman
modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain, lembaga-lembaga keuangan
internasional dan penanaman modal asing bersedia mengucurkan bantuan dana atau
menanamkannya bila iklim sosial-politik Indonesia dinilai kondusif.[4]
Selain itu, gagasan dan tindakan Suharto selain pembangunan ekonomi adalah
membenahi bidang politik dan pemerintahan. Orde baru Suharto meyakini bahwa
pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa jaminan stabilitas politik. Ada
beberapa tahap awal yang dinilai Orde Baru sebelum merancang pembangunan
politik diantaranya yaitu, memberantas PKI dan ideologinya, mengonsolidasi
pemerintahan, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten,
menghapus dualisme kepemimpinan, serta menegakakan stabilitas.[5]
Tahap pertama dalam pembangunan serta menjaga stabilitas politik
adalah memberantas PKI dan ideologinya. Sebelum Sukarno dilengserkan oleh
Suharto, Indonesia mempunyai tiga ideologi besar yang menguasai bangsa.
Nasionalis, agama khususnya Islam, serta komunis yang menjadi kekuatan dalam politik
pada masa itu. Tetapi setelah adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan
Suharto menjadi sosok sentral dalam kejadian tersebut,[6] PKI
dengan ideologi komunisnya yang berasal dari pengaruh Uni-Soviet serta Cina
mulai dibersihkan pada masa Orde Baru. Dampak yang sangat terasa dari pembersihan
ini adalah mereka para penganut paham komunis dari tingkat elit hingga rakyat
biasa, serta etnis Cina yang telah lama tinggal di Indonesia. Kerusuhan anti-Cina
di Indonesia pun pecah tidak bisa dibendung. Di tengah kerusuhan yang kacau
ini, masa menyerang sekolah dan organisasi masyarakat Cina dan merusak berbagai
fasilitas lain untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap RRC, orang Cina,
atau kepada penganut aliran Komunis.[7] Maka
kebijakan-kebijakan pemerintah masa awal Orde baru terhadap etnis Cina, menjadi
perhatian besar dalam menjaga stabilitas politik negara.
Salah satu kebijakan pemerintahan Suharto terhadap etnis Cina
adalah menerapkan kebijakan pemaksaan asimilasi yang mewajibkan masyarakat
Indonesia Cina untuk melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin mereka. Pemerintah
menutup semua sekolah berbahasa mandarin dan mengatur anak-anak keturunan Cina
untuk hanya masuk ke sekolah berbahasa Indonesia. Pemerintah juga melarang
penggunaan aksara Mandarin, dan semua bentuk dan ungkapan yang dapat ditelusuri
berasal dari kebudayaan Cina. Di samping itu, sebuah traktat yang dikeluarkan
oleh pemerintah pada tahun 1968 mengimbau orang Indonesia untuk mengganti nama Cina
mereka dengan nama Indonesia untuk menunjukan komitmen pada negara.[8]
Kebijakan asimilasi ini berdampak luas setelah-setelahnya terhadap berbagai
aspek kehidupan yang bersangkutan dengan Cina seperti larangan impor, barang
dagang dalam bentuk atau huruf dan bahasa Cina,[9]
larangan penggunaan media massa berbahasa Cina,[10]
serta larangan menunjukan kebudayaan mereka termasuk agama.
Hal menarik mengenai kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap agama
khususnya agama orang Cina adalah bahwa pada masa tersebut, negara hanya mengakui
lima agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan yang diterapkan ini
tentu sangat bertentangan dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor
1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama.
Dalam penjelasan penetapan presiden tersebut, pasal 1 mengatakan bahwa
agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Ini menunjukan bahwa politik agama pada
masa awal dan masa-masa selanjutnya di pemerintahan Orde baru, masih terpusat
pada masalah etnisitas khususnya Cina dan agama mereka, meskipun pemerintah
berdalih hanya ingin stabilitas negara tetap terjaga.
Konsolidasi Militer untuk Stabilitasi Politik
Salah satu sasaran utama Suharto dalam menjaga stabilitas
politiknya pada zaman Orde Baru diantaranya adalah dengan memasukan kekuatan
militer kedalam tubuh pemerintahan, dan itu terjadi ada sekitar tahun 80-an,
serta lazim disebut dengan tahap konsolidasi. Struktur pemerintahan ketika itu
berada di bawah dominasi militer dan Pancasila sebagai ideology secara
sistematis dicanangkan sebagai asas tunggal mulai disosialisasikan pada rakyat.[11]
Kemiliteran dibentuk sebelum tahap tersebut agar mempunyai tujuan untuk
menopang kekuatan negara dan selalu siap
untuk menjalankan peranya sebagai kekuatan negara menghadapi ancaman ideology
apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui. Kondisi
semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan
organisasi-organisi (gerakan) politik agama, khususnya Islam semakin dalam.[12]
Meskipun Islam dalam sejarahnya Orde Baru memberikan dukungan besar
dalam penumpasan PKI, tapi keberadaannya sebagai sebuah ideologi tidak mungkin
diakomodir pemerintah rezim Suharto. Orde Baru benar-benar anti terhadap
pergulatan ideologis dan kepentingan politik lainnya. Di bawah rezim yang disebut dengan rezim diktator ini,
oposisi politik dalam bentuk apapun
tidak diperkenankan dan
pemerintah terus menerus melakukan
intimidasi serta tekanan yang sangat hebat terhadap kemerdekaan
individu, penindasan terhadap kebebasan, hak berbicara serta melakukan diskusi terbuka.[13]
Karena Orde baru lebih mengharapkan stabilitas dan mengembalikan bangsa
Indonesia kepada nilai-nilai yang diyakini sebagai nilai alamiah bangsa, yaitu
Pancasila. Maka Islam sebagai agama, ideologi maupun basis politik, pada masa
pemerintahan Orde Baru lebih dipandang sebagai sebentuk ideologi primordial
yang berpotensi menciptakan instabilitas negeri.[14] Tekanan
kalangan agama khususnya Islam pada pemerintah, menyebabkan sejarah awal
pemerintahan Orde Baru diwarnai oleh hubungan yang tidak harmonis. Para aktivis
partai Islam keberatan dengan kontrol pemerintah yang sangat luas dan membatasi
semua gerak poltik yang bersifat independen.[15]
Untuk memberikan gerak politik yang sempit, pemerintahan Orde Baru
pernah menyederhanakan partai-partai politik di Indonesia. Suharto memaksa
sepuluh partai yang ada pada tahun 1973 bergabung menjadi tiga partai: partai
pemerintah Suharto yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang
didominasi golongan Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang umumnya
beranggotakan golongan nasionalis dan Kristen.[16]
Partai-partai politik tersebut dikelompokan dalam: 1. Golongan nasional yaitu
PDI hasil fusi lima partai politik yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia /
Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, serta IPKI, 2. Golongan spiritual yaitu
PPP hasil fusi dari empat partai yakni NU, Parmusi, PSII dan Perti, 3. Golongan
karya yaitu partai pemerintah.[17]
Hubungan Islam dan Pemerintah Orde Baru
Format politik pada masa kepemimpinan Suharto yang telah dibentuk
sejak 1966, menempatkan militer sebagai kekuatan politik yang dominan. Ada
beberapa hubungan agama khususnya Islam dengan negara dalam politik Orde Baru,
diantaranya hubungan bersifat antagonistik, hubungan bersifat resiprokal
kritis, serta hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistik yang
dimulai tahun 1996 terjadi karena dikalangan Islam timbul harapan untuk kembali
memainkan peranya seperti pada masa demokrasi parlementer, tetapi hubungan ini
berlangsung sampai dengan masa penerapan asas tunggal. Ketegangan konseptual
yang tercipta menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk saling memahami
posisi masing-masing, dan Islam keika itu berada pada masa resiprokal kritis
yaitu antara tahun 1982-1985. Dan setelah semua organisasi massa serta
organisasi sosial politik mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas,
maka hubungan Islam dan pemerintah tersebut menjadi hubungan yang bersifat akodomodatif.[18]
Setelah Orde Baru melakukan test politik, umat Islam pada masa
menjelang akhir Orde Baru dinilai lulus ujian. Penerimaan asas tunggal
Pancasila oleh ormas-ormas Islam semakin memperkuat tali persaudaraan, karena
mereka belajar dari pengalaman partai politik Islam sebelumnya yang
terpecah-belah. Hubungan akomodatif yang terjadi antara pemerintah dan Islam
mulai tampak ketika keluar kebijaksanaan pemerintah melalui Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan menghapus larangan berbusana muslimah di sekolah-sekolah. Selain
itu, perkembangan positif hubungan antara keduanya antara lain adalah
pengesahan RUU Pendidikan Nasional, penyelesaian kasus Monitor, pengesahan RUU
Peradilan Agama, pengiriman dai ke daerah-daerah transmigrasi, pembentukan
ICMI, peningkatan kiprah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpinan
langsung oleh Suharto, pendirian Bank Muamalat, penyelenggaraan Festival
Istiqlal, serta penghijauan di DPR/MPR, Kabinet Pembangunan VI dan pengurus DPP
Golkar 1993/1994.[19]
Model kepolitikan Orde Baru yang berupa kebijakan pemerintah
terhadap kehidupan keagamaan khususnya Islam telah disusun. Konsep dasar
pemerintah Orde Baru dalam merumuskan kebjaksanaan terhadap umat Islam sejajar
dan serupa dengan sikap pemerintah kolonial Belanda terdahulu, yang biasa
disebut dengan politik kembar. Sebagaimana diketahui, politik kembar masa kolonial
membedakan Islam Politik dengan Islam Ibadah. Apabila dibandingkan politik
agama masa Belanda dengan politik pemerintahan Orde Baru, sebenarnya terdapat
perbedaan yang substansial:
1.
Dalam konsep teoritis state and society, pada masa
colonial Islam hanya hadir di dalam society, sedangkan pada masa Orde
Baru Islam hadir dalam state dan society. Konsep dasar pemerintah
tidak membedakan Islam politik dengan Islam ibadah. Bahkan pemerintah Orde Baru
sangat membutuhkan dukungan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas, baik
guna legitimasi system politik maupun dalam menyukseskan pembangunan nasional.
Dukungan tersebut harus diletakan dalam kerangka politik.
2.
Yang dibedakan dalam pemerintahan Orde Baru adalah Islam partai
politik dengan Islam nonpartai politik.
3.
Negara Pancasila bukanlah negara sekuler ataupun negara teokratis.
Pemerintah Orde Baru tetap menangani kehidupan keagamaan warga negara tanpa
harus menjadi negara teokratis. Keberadan Departemen Agama dan dukungan
terhadap program-program ormas Islam adalah contohnya. Disisi lain, pemerintah
tidak melegalisir sebuah agama resmi negara dan melakukan merginalisasi peranan
pemuka-pemuka agama dalam politik pemerintahan, tanpa harus menjadi negara
sekuler.[20]
Pada perkembangannya, politik terhadap
agama pada masa pemerintahan Orde Baru lambat laun mulai lepas kendali.
Beberapa kebijakan yang dibuatnya tersebut telah memunculkan kembali ketegangan
antar agama di Indonesia yang tdak bisa dilepaskan dari kecemburuan ekonomi dan
ras.[21]
Miskinnya pemahaman masyarakat tentang kemajemukan beragama atau populer dengan
pluralisme, merupakan salah satu penyebab konflik bernuansa SARA. Selain itu,
kurangnya pemahaman kemajemukan kehidupan bersama dipahami sekedar hanya ada
orang yang berbeda agama, suku, golongan, bahasa, pendidikan, tingkat ekonomi,
melainkan harus adanya interaksi, dinamika, dialog, komunikasi. Dan selama 32
tahun Orde Baru, interaksi, dinamika, dialog, dan komunikasi tersebut dikemas
atau dihalang-halangi dan sedapat mungkin ditolak, ditutupi, dihindari atas
nama kerukunan, toleransi dan SARA.[22]
Tantangan penataan keragaman keagamaan yang ada di Indonesia setelah
runtuhnya Orde Baru, seharusnya bisa dirumuskan dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip dasar Pancasila. Tetapi, hal yang sangat mendasar ini tampak
terabaikan mulai terabaikan di tengah reformasi yang menuntut desakralisasi
Pancasila dari kalangan atau kelompok tertentu. [23]
Memang ada semacam trauma sejarah dalam benak masyarakat ketika Pancasila yang
mestinya menjadi platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah
diseret oleh Orde Baru menjadi instrument peneguhan rezim otoriter Suharto.
Semuanya disebabkan dari pengalaman politik ketika sila-sila Pancasila
didendangkan sebagai alat penyeragaman dan kontrol sosial politik pemerintah.
Penutup
Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, tidak lepas
dari berbagai macam dinamika politik. Perubahan strategi pemerintahan untuk
menjaga stabilitas politik negeri seringkali mengalami ketimpangan
kebijaksanaan. Pembersihan ideology yang bertentangan, asimilasi kebudayaan
etnis tertentu, konsolidasi militer, depolitisasi kelompok tertentu, sampai
hubungan yang bersifat akomodatif yang ditempuh, menjadikan rezim yang dipimpin
oleh Suharto inkonsisten dalam berpolitik. Agama-agama yang terdapat di
Indonesia dan merupakan salah satu elemen dari kebhinekaan, dijadikan alat
politik untuk melanggengkan kekuasaannya.
Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila yang
pluralis, tetapi dalam prakteknya dengan menggunakan politik yang dijalankannya
bisa mengeksploitasi ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara
komunitas keagamaan yang satu dengan yang lain. Itu disebabkan karena wacana
politis kebhinekaan khususnya yang bersifat etnoreligius pada masa Orde Baru,
dipandang sebagai pengaruh negative bagi proses pembentukan negara. Hal ini
memberikan warisan yang pahit, yaitu negera selalu campur tangan dalam
urusan-urusan keagamaan dan dengan mengadu komunitas-komunitas religius satu
dengan yang lain, membuat hubungan-hubungan antara komunitas menjadi sangat
rumit.
Daftar Pustaka
Adam,
Asvi Warman, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, edisi revisi
(Yogyakarta: Ombak, 2006)
Adityawan,
Arief S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru
Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008)
Awwas,
Irfan S. (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta:
Wihdah Press, 2000)
Darwis,
Aimee, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2010)
Hasan, Noorhadi, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep,
Genealogi, dan Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012)
Hefner,
Robert W. (ed), Politik Mutikulturalisme, (terj) Bernadus Hidayat,
(Yogyakarta: IMPULSE)
Mujiran,
Paulus, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama,
Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Tamwifi,
Irfan, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia
Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014)
Thaba,
Abdul Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Winters,
Jeffrey A., Dosa-dosa Politik Orde Baru,
(terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999)
[1]
Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia selama 32 tahun terhitung dari Supersemar
1966 sampai jatuhnya rezim tersebut pada tahun 1998, dan apabila berpatok pada
peristiwa Gerakan 30 September 1965 maka rezim tersebut bekuasa selama 33
tahun. Lebih lanjut lihat Asvi Warman Adam, Soeharto File: Sisi Gelap
Sejarah Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Ombak, 2006)
[2] Jeffrey
A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru,
(terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999) hal 7
[3] Robert
W. Hefner, “Pendahuluan: Multikulturalisme dan KEwarganegaraan di Malaysia,
Singapura,dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed), Politik Mutikulturalisme,
(terj) Bernadus Hidayat, (Yogyakarta: IMPULSE) hal 66
[4] Arief
Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008) hal 107
[5] Arief
Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde
Baru Soeharto, hal 109
[6] Masih
menjadi kontroversi sejarah, karena ada beberapa versi mengenai siapa dalang
dari peristiwa tersebut, diantaranya yaitu: PKI, Angkatan Darat, Sukarno,
Suharto, dan unsur-unsur asing.
[7]
Aimee Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2010) hal 27. Lihat juga Charles Coppel, Indonesian
Chinese in Crisis, (New York: Oxford University, 1983)
[8] Aimee
Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, hal 1 yang dikutip
dari Mely G Tan, The Ethnic in Indonesia: Trials and Tribulation.dalam
F.Sleman, A.A. Sutama & A. Rajendra (Eds) Struggling in Hope: A Tribute to
The Rev.Dr. Eka Darmaputra, (Jakarta:PT BPK Gunung Mulya, 1999) dan Leo Suryadinata,
Etnis Tionghoa dan Pembanguna Bangsa, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999)
[9]
Tertuang dalam surat keputusan menteri perdagangan dan koperasi No.
286/KP/XXI/78 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan
segala jenis barang cetakan dalam bentuk huruf/aksara dan bahasa Cina
[10]
Instruksi presidium cabinet No. 49/U/8/1967 tentang pendayagunaan mass media
berbahasa Cina
[11] Irfan
Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia
Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014)
hal 343
[12] Irfan
S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta:
Wihdah Press, 2000) hal 7
[13] Irfan
S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, hal 1
[14]
Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik
Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 371
[15]Irfan
Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia
Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 372
[16] Jeffrey
A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 17
[17] Irfan
Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia
Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 111
[18] Abdul
Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam
Politik Orde Baru: 1965-1994, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hal 240
[19] Abdul
Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal 278-279
[20] Abdul
Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal 316-317
[21] Jeffrey
A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 4
[22] Paulus
Mujiran, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama,
Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal 265
[23]
Noorhadi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan
Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012) hlm 186
0 komentar:
Posting Komentar