Keadilan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh siapapun di muka
bumi ini. Arus globalisasi yang semakin hari semakin terasa dan terus terjadi,
mengharuskan setiap orang mengkaji ulang konsep mengenai keadilan. Berbagai
bentuk ideologi baru yang bermunculan menawarkan sebuah analisis terhadap apa
yang dihadapi masyarakat dalam hal keadilan dalam kehidupan, khususnya yang
berkaitan dengan sosial, ekonomi serta politik. Agama yang hadir sebelum
munculnya ideologi-ideologi, membawa misi untuk menegakkan keadilan. Para
pemimpin agama berusaha untuk menyampaikan apa yang diwahyukan kepada para
pengikutnya berkaitan dengan keadilan. Ketika masyarakat beragama merasakan
ketidakadilan yang ditimbulkan dari penguasa ataupun sistem, maka secara fitrah
manusia pemberontakan atau pergerakan pun akan muncul dari dalam diri mereka.
Gerakan dalam ranah sosial untuk menuntut keadilan yang bernuansakan agama
adalah munculnya gerakan Teologi Pembebasan.
Teologi pembebasan adalah bagian dari seruan agama untuk membela keadilan dan kesejahteraan umat manusia. Munculnya teologi pembebasan merupakan counter balik terhadap ideologi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat. Teologi yang berkembang di dunia ketiga terutama Amerika Latin dan Asia lebih merpakan teologi yang melawan negara yang kuat dan hegemoni kapitalis, dimana sistem kapitalis merupakan momok bagi masyarakat yang tertindas dan hanya menguntungkan negara yang mapan.
Marxisme dan Agama
Ada sebuah kalimat yang cukup terkenal yang dianggap sebagai saripati konsepsi Marxis tentang gejala keagamaan oleh para pendukung maupun penentangnya, agama candu rakyat. Apabila dibaca secara keseluruhan kalimat tersebut, nampak bahwa maksud Marx sebenarnya lebih bernuansa ketimbang benar-benar percaya. Ia tetap mempertimbangkan watak ganda dari agama
“Kenestapaan keagamaan, pada saat yang sama merupakan ungkapan
kesengsaraan nyata dan sekaligus protes melawan penderitaan nyata tersebut.
Agama adalah keluh-kesahnya makhluk yang tertindas, jantungnya dunia yang tidak
punya hati, karena itu ia merupakan roh dari suatu keadaan yang tak memiliki
roh sama sekali. Ia adalah candu rakyat”.
Esei yang ditulis oleh Marx pada tahun 1844 Toward the Critique of Hegel’s Philosophy of Right menjelaskan bahwa pokok pandangannya lebih mengarah ke aliran neo-Hegelianisme yang melihat agama sebagai suatu keterasingan (alienasi) hakikat manusia, yang menganggap agama sebagai suatu persengkokolan para pendeta saja. Ketika Marx menulis kalimat tersebut, ia masih seorang murid Feuerbach dan analisinya merupakan pra-Marxis tanpa acuan kelas. Akan tetapi analisis tersebut sekaligus juga bersifat dialektis karena sudah menjadi watak penuh saling pertentangan dari gejala keagamaan.[1] Dan pada dasarnya, Marx setuju atas asumsi yang ditawarkan oleh Feuerbach yaitu bahwa manusia mengasingkan diri dalam agama. Tetapi ia lebih jauh memperoalkan mengapa manusia mengalienasikan dirinya dalam agama?. Pertanyaan ini tidak dipersoalkan oleh Feuerbach karena manusia dipahami secara abstrak yaitu makhluk kolektif. Menurut Marx, kondisi-kondisi material tertentulah yang membuat manusia mengalienasikan diri dari agama, dan yang dimaksud dari kondisi-kondisi material disini adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat.[2]
Sumbangsih utama Friederich Engels terhadap kajian Marxis tentang agama adalah analisisnya mengenai hubungan antara perlambang-perlambang agama dengan perjuangan kelas. Analisinya sesekali terperosok ke arah penafsiran utilitarian, yakni penafsiran instrumental atas gerakan-gerakan keagamaan:
“... tiap kelas yang berbeda menggunakan agama yang tepat bagi
mereka masing-masing... dan hal itu membuat pebedaan yang kecil saja apakah
orang-orang itu memang percaya kepada agama yang mereka anut atau tidak”.
Seperti halnya Marx muda, Engels telah memahami dengan baik adanya
watak ganda dari gejala agama: peranannya dalam mengabsahkan tatanan yang
mapan, tetapi sesuai dengan keadaan sosial pada saatnya, dan juga berperan
menentang kemapanan secara kritis dan bahkan revolusioner.[3] Analisis
yang dibuat oleh Engels mengenai agama menunjukan bahwa ia menyatakan bahwa
potensi protes dari agama membuka jalan ke arah suatu pendekatan baru dalam hal
hubungan antara agama dengan masyarakat. Selain Friederich Engels, banyak tokoh
Marxis yang mengakaji tentang agama. Karl Kautsky, Lenin, maupun Rosa Luxemburg
merupakan orang-orang penerus ideologi Marxis. Secara kesuluruhan, kebanyakan
kaum Marxis dalam gerakan buruh di Eropa secara keras memusuhi agama tetapi
percaya bahwa perjuangan ateistik melawan ideologi keagamaan harus dibawahi
keharusan-keharusan nyata dari perjuangan kelas, yang membutuhkan persatuan
antara kaum buruh yang beriman kepada Tuhan dengan mereka yang tidak beriman.
Dalam gerakan Komunis Internasional, terdapat sedikit sekali perhatian yang dicurahkan pada persoalan agama. Tetapi diantara para pemimpin dan pemikir gerakan ini, maka Gramsci satu-satunya yang memperlihatkan minat terbesar dalam soal-soal agama. Selain itu, Ernst Bloch yang merupakan pengarang Marxis pertama yang secara radikal merubah kerangka kerja teoretik tanpa menghapus cakrawala pandangan Marxis beserta revolusionernya. Terobosan lainnya untuk memperbaharui kajian Marxis terhadap agama dilakukan oleh Lucien Goldmann. Dia menaruh minat dalam hal meneyelamatkan nilai kemanusiaan dan moral dari tradisi agama. Bagian paling asli dari karyanya yaitu The Hidden God adalah usaha untuk membandingkan tanpa mencampuradukan yang satu dengan yang lainnya yaitu antara iman dan agama dengan kepercayaan Marxis: bahwa keduanya memiliki persamaan menolak tegas individualisme murni dan keduanya percaya kepada nilai-nilai trans-individu Tuhan dalam ajaran agama, masyarakat manusia dalam sosialisme.[4]
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum mengenal Marx lebih jauh. Pertama, sebagai pencetus komunisme, dia tidak memberikan teori agama yang terperinci, karena masalah agama hanya merupakan salah satu bagian dari totalitas pemikirannya. Kedua, karena filsafat Marx sangat luas cakupannya, maka porsi yang ditawarkan tentang teori agama tradisional kecil sekalil dan bukan merupakan bagian inti dari seluruh pemikirannya. Pandangan-pandangannya tentang agama sangat jelas dan singkat dan sangat berpengaruh di dunia modern terutama di tengah-tengah masyarakat yang menganut paham komunis. Marx sering menyinggung masalah agama dalam sebagian besar buku, surat, dan artikel-arikelnya, tetapi hal itu hanya dalam bentuk yang tidak langsung dengan mengomentari agama secara umum.[5] Komunisme merupakan yang merupakan sebuah sistem sosio-ekonomi didasarkan pada kepemilikan dan produksi barang secara komunal, sebuah pemerintahan mandiri secara komunal dan kadang juga hidup dalam komunal.[6]
Menurut Marx, alienasi adalah sesuatu yang dikonstuksi dan aktual. Perbuatan manusia sendirilah yang menyebabkan mereka teralienasi dan tentu saja alienassi ada yang dilekatkan dengan sengaja kepada orang lain termasuk ide-ide itu sendiri, padahal sesungguhnya manusialah yang jadi pemilik sebenarnya dan itulah alienasi dan menjadi sumber utama kesengsaraan umat manusia. Dalam agama, Tuhan selalu disembah dan dipatuhi, padahal semua itu adalah kepunyaan manusia. Agama menurut Marx sama sekali adalah sebuah ilusi dan rasa takut merupakan ilusi dengan konseskuensi yang sangat menyakitkan. Agama adalah bentuk ideologi yang paling ekstrim dan paling nyata yaitu sistem kepercayaan yang tujuan utamanya adalah dapat memberikan alasan dan hukum-hukum agar seluruh tatanan dalam masyarakat bisa berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Pada kenyataannya, agama sangat bergantung pada kondisi ekonomi, sebab tidak satupun doktrin dan kepercayaan agama yang mempunyai nilai-nilai independen. Walaupun dokrtin satu agama berbeda dengan agama lain, namun bentuk-bentuk spesifik yang ada dalam berbagai masyarakat pada akhirnya tergantung pada satu hal, yaitu kondisi sosial kehidupan yang pasti juga bergantung pada kekuatan materi yang bisa mengatur masyarakat dimanapun dan kapanpun. Marx menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan atau dewa-dewa adalah lambang kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap memalukan yang harus dienyahkan bahkan dengan cara paksaan.[7]
Marx menegaskan bahwa harus ada garis pararel antara agama dan aktivitas sosio-ekonomi. Keduanya sama-sama menciptakan alienasi; agama merampas potensi-potensi ideal kehidupan alami manusia dan mengarahkannya kepada sebuah realitas asing dan unnatural yang disebut Tuhan; ekonomi kapitalis merampas hal yang lain dari ekspresi alami manusia, yaitu produktivitas kerja mereka dan merubahnya menjadi objek-objek materi, sesuatu yang bisa diperjual-belikan dan dimiliki oleh orang lain. Menurutnya, disatu sisi kita telah memberikan bagian dari kita sendiri yaitu kebaikan dan perasaan kepada sesuatu yang hanya bersifat khayalan semata, dan disisi lain kita hanya terus bekerja terus menerus hanya demi upah untuk membeli barang-barang yang kita butuhkan. Agama telah merampas nilai lebih dari kita sebagai manusia dengan memberikannya kepada Tuhan, begitu juga dengan ekonomi kapitalis yang telah merampas pekerjaan kita, ekspresi kesejatian diri kita dan kemudian memberikannya dalam bentuk komoditi kepada kaum kaya yang akan menjualnya. Kemiripan dalam hal yang sama-sama buruk ini bukan terjadi secara kebetulan saja.[8]
Agama adalah bagian dari superstruktur masyarakat dan ekonomilah yang menjadi fondasinya. Keterasingan yang terdapat dalam agama pada dasarnya adalah sebuah gambaran ketidakberesan yang terdapat dalam fondasi masyarakat yaitu ekonomi. Maka bukti-bukti alienasi yang terdapat dalam agama tersebut harus dilihat sebagai refleksi, sebuah pantulan keterasingan manusia yang paling nyata dan keterasingan ini lebih bersifat ekonomi dan material ketimbang spiritual.[9] Kaum Marxis belakangan, diantaranya yang paling terkemuka Antonio Gramsci yang melihat agama dalam suatu perspektif yang lebih interaksionis dibanding perspektif Marxisme tradisional, menggambarkan agama sebagai suatu sumber kultural yang dapat dimanfaatkan baik oleh kelompok revolusioner atau reformasi maupun pendukung status quo. Maka, peran agama sebagai pelopor gerakan penggulingan komunisme di Eropa Timur sekalipun bagi Marxis tradisional hal ini menjadi sesuatu yang menakjubkan, dalam perspektif Gramscian sebagai bukti potensi agama sebagai generator perubahan sosial maupun kohesi sosial.[10] Maka, paham Marxisme dalam melihat agama cenderung mengesampingkan aspek-aspek ketuhanan dalam hal ini bersifat ateistik, meskipun ada beberapa tokoh Marxisme di Eropa ketika itu masih menaruh minat yang sangat kuat antara ideologi yang ditawarkan Marx dan agama.
Teologi Pembebasan, Gerakan dan Doktrin
Teologi pembebasan sebagaimana yang di ungkapkan Leonardo Boff yang dikutip oleh Micheal Lowy adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan nyata dan suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Dengan kata lain bahwa teologi pembebasan adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang luas yang muncul pada awal tahun 1960an di daerah Amerika Latin dan diperkuat dengan karya-karya tulis tahun 1970an dari tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Ruben Alves, Carlos Mesters, Hugo Assmann, Leonardo dan Clodovid Boff (Brazil), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Savador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Cili-Kosta Rika), Jose Miguel Bonino, Juan Carlos Scannone (Argentina), Enrique Dussel (Uruguay) adalah produk kerohanian dari gerakan sosial ini.[11]
Meskipun ada perbedaan-perbedaan penting antara para teolog tersebut, beberapa ajaran dasar yang sama dapat ditemukan dalam banyak karya tulis mereka yang telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional mapan Gereja Katolik maupun Protestan. Beberapa diantaranya yang terpenting adalah:
1.
Gugatan
Moral dan Sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme
sebagia suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, sebagai suatu bentuk
dosa struktural.
2.
Penggunaan
alat analsis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan,
pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan
kelas.
3.
Pilihan
khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut
kebebasan.
4.
Pengembangan
basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai
suatu bentuk baru Gereja dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup
individualis yang dipaksakan oleh sistem kapitalis.
5.
Suatu
pembacaan baru pada Alkitab yang memberikan perhatian penting pada
bagian-bagian Kitab Keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat
yang diperbudak.
6.
Perlawanan
menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama yang disembah oleh Fir’aun,
Herodes, Caesar baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara,
pasukan militer, peradaban Kristen Barat.
7.
Sejarah
pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristus, Kerajaan
Tuhan.
8.
Kecaman
terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat
Yunani Platonis bukan dari tradisi murni Injil, dimana sejarah kemanusiaan dan
ketuhanan memang berbeda tapi tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sejarah gerakan teologi pembebasan menitikberatkan perhatiannya pada kekuatan dan sekaligus kelemahan persfektif Marxis tradisional dalam mengkaji agama. Di satu sisi, Marxisme cenderung menggambarkan agama sebagai kekuatan marginal dalam dunia sosial, suatu variable sosial yang selalu menjadi sarana proses sosial yang lebih fundamental dan khususnya kekuatan dan struktur ekonomi. Konsekuensinya, teolog pembebasan yang dipengaruhi Marxis cenderung mengecilkan signifikansi agama asli, dan spiritualitas popular sebagai wahana mewujudkan identitas sosial atau melawan ekspoitasi. Akan tetapi disisi lain, Marxis menjadi sumber kritisisime sosial yang kuat khususnya dalam situasi dimana terjadi ketegangan dan konflik sosial yang hebat. Teori Marxis tampak menjelaskan hubungan antara relasi-relasi kekuatan dalam wilayah ekonomi, budaya, dan sistem simbol yang melegitimasi relasi-relasi kekuatan itu, baik yang mengambil bentuk ikon-ikon modern konsumerisme massa.[12]
Teologi pembebasan yang berkembang di kawasan Amerika Latin terinspirasi dari gerakan sosial di Eropa pada abad kedua puluh dan menjadi studi penting agama-agama untuk melihat peran agama dalam membebaskan manusia dari ancaman globalisasi dan menghindari manusia dari berbagai macam dosa sosial, serta menawarkan paradigma untuk memperbaiki sistem sosial bagi manusia yang telah dirusak oleh berbagai sistem dan ideologi dari perbuatan manusia sendiri. Kehadiran teologi pembebasan pada awalnya adalah mengkritisi model “pembangunan” yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya. Pembangunan yang dilaksanakan oleh negara dan didukung oleh institusi kuat seperti militer dan institusi agama yang semata-mata melegitimasi kepentingan negara.
Camillo Torres seorang Romo yang mengorganisir suatu gerakan rakyat militan dan bergabung dengan Tentara Pembebasan, suatu gerakan gerilya Castrois di Kolombia pada tahun 1965. Dalam suatu pertempuran pada tahun 1966 dengan tentara pemerintah, akhirnya Torres terbunuh dan telah meninggalka dampak emosinal maupun politik yang sangat mendalam kepada orang-orang Kristen Amerika Latin dan mengilhami munculnya berbagai gerakan rakyat diantaranya terbentuk organisasi Romo-Romo untuk Dunia Ketiga di Argentina pada tahun 1966, Organisasi Nasional untuk Integasi Sosial di Peru pada tahun 1968, Golconda di Kolombia pada tahun 1968, serta sejmlah orang Kristen awam yang melibatkan diri dalam gerakan-gerakan perjuangan rakyat.[13] Mereka menafsirkan ulang Injil sesuai dengan praktek-praktek kehidupan nyata mereka dan pada saatnya menemukan bahwa Marxisme merupakan suatu kunci untuk memahami kenyataan yang mereka hadapi dan sebagai panduan bagi aksi-aksi pembebasan mereka.
Bagi para teolog pembebasan, istilah pembebasan adalah istilah yang kaya dan kompleks. Hampir semua teolog pembebasan memberikan arti yang utuh dan integral terhadap istilah pembebasan. Arti tersebut diberikan oleh Gutierrez, Ronaldo Munoz dan Segundo Galilea. Dalam matriks pembebasan ada tiga macam pembebasan yang berkaitan satu sama lain yaitu[14]:
1.
Pembebasan
dari belenggu penindasan ekonomi, sosial, dan politik (Guiterez), atau alienasi
kultral (Galilea), atau kemiskinan dan ketidakadilan (Munoz).
2.
Pembebasan
dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan digairahkannya
solidaritas antar manusia (Guiterrez), atau ligkaran setan kekerasan yang
menantang orang untuk berperan serta dalam kematian Kristus (Galilea), atau
praktik-praktik yang menentang usaha pemanusiaan manusia sebagai tindakan
pembebasan Tuhan (Munoz).
3.
Pembebasan
dari dosa yang memungkinkan manusia masuk dalam persekutuan dengan Tuhan dan
semua manusia (Guiterrez), atau pembebasan spiritual menuju pemenuhan Kerajaan
Tuhan (Munoz), atau pembebasan mental, yakni penerjemahan dan penginkarnasian
iman dan cinta dalam sejarah konkrit yang ditandai oleh salib Kristus sebagai
salib cinta yang mengalahkan kuasa dosa yang terjelma dalam situasi kekerasan
(Galilea).
Ada beberapa contoh yang diuraikan oleh Michael Lowy diantaranya pergerakan gereja di Brazil, Kekeristenan dan Sandinismo di Nikaragua, serta Kekeristenan dan asal-muasal perjuangan revolusioner di El Savador. Gereja Brazilia adalah satu kasus khas di Amerika Latin karena merupakan satu satunya Gereja di benua itu dimana teologi pembebasan dan para jemaatnya memenangkan pengaruh yang sangat menentukan. Ada beberapa kemungkinan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dan perpaduan diantara semua faktor itulah yang telah melahirkan watak khas ajaran Katolik Brazilia:
1.
Pertumbuhan
lembaga kepastoran yang tidak mencukupi, terlalu sedikit jumlahnya untuk
melayani perambahan pesat jumlah penduduk negeri yang mengakibatkan
berkembangnya pengaruh dan pentingnya peranan para pengawas awam lembaga
kepastoran, terutama mereka yang tergabung dalam Aksi Katolik yang benar-benar
menjadi faktor dinamis penggerakan radikalisasi tahun 1960an.
2.
Pengaruh
mendalam dari budaya dan Gereja Katolik Perancis terhadap Brazil. Adannya
sejumlah besar penganjur-penganjur misi dari Prancis di Brazil serta pengaruh
kaum tradisional kaum cendikiawan Katolik Prancis terhadap rekan-rekan mereka
di Brazil, maka terbentuklah di kalangan Gereja Brazilia suatu lingkungan
budaya yang sangat mudah menrima gagasan-gagasan radikal baru ketimbang di
negara-negara lainnya di Amerika Latin.
3.
Kediktatoran
militer yang mulai berkuasa pada tahun 1964 yang membangun kekuasaannya dengan
menutup semua saluran kelembagaan yang mewakili pernyataan protes kerakyatan
dan akhirnya rezim militer tersebut berakhir dengan merubah Gereja menjadi
pangkalan pengusiran terakhir bagi para penentang mereka. Gerakan-gerakan
kerakyatan berduyun-duyun masuk ke dalam lingkaran Gereja dan membantu merubah
lembaga keagamaan itu lebih berpihak kepada pembebasan rakyat miskin.
4.
Kepesatan
laju pembangun kapitalis serta tingginya tingkat perpindahan penduduk ke
kota-kota dan proses industrialisasi, ketangkasan dan penjajahan kapitalis ke
desa-desa yang makin memperkeras pertentangan-pertentangan sosial menyebabkan
muncul ajaran Kristen pembebasan sebagia jawaban radikal terhadap model
modernisasi kapitalis yang mencelakakan dan menyengsarakan rakyat.
5.
Para
teolog dan romo-romo radikal tahun 1970an dan 1980an belajar dari pengalaman
tahun 1960an dan dari apa yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin
lainnya. Mereka memilih bekerja secara lebih diam-diam di dalam lingkaran
lembaga-lembaga Gereja, mencoba untuk tidak membuat diri mereka diberhentikan
oleh para uskup dan menolak prakarsa yang akan membuat mereka diasingkan atau
dicampakkan ke pinggir oleh hieraki resmi Gereja.
Dari refleksi kritis Guiterrez, jelas bahwa yang diperjuangkan oleh kebanyakan teolog pembebasan Amerika Latin dan para kritusnya bukan saja kepentingan dunia semata. Pembebasa dalam arti penyelamatan manusia dari dosa dimengerti bukan saja sebagai perjalanan rohani yang pribadi, tetapi sebagai peziarahan seluruh manusia dalam segala keutuhan dan kedalaman hidupnya.[15]
Untuk analisa sosial-politik, teologi tradisional memang tidak mempunyai alat yang baik. Ensiklik sosial para Paus hanya mengusulkan perbaikan dalam beberapa aspek sistem sosial-ekonomi yang bersifat kapitalis, sementara seluruh sistem itu tidak dikritik secara mendalam. Tidak lagi cukup sekedar memberikan sedekah kepada kaum miskin; mereka harus diberi pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak mereka agar mereka tidak lagi menjadi peminta-minta. Disini Guiterrez dan cukup banyak kawannya mencari hubungan dengan teori Marxis. Walaupun mereka tetap beriman, tetapi mereka hendak menggunakan analisa Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial-politik. Demikianlah masalah pertentangan antara kelas kaya dan kaum proletariat dan masalah hak milik secara kolektif terhadap semua alat produksi masuk kedalam karya teologi, suatu hal yang pasti tidak pernah diramalkan oleh Karl Marx sendiri.[16]
Teologi Pembebasan dan Marxisme
Teologi menurut para pengikut Guiterrez tidak boleh hanya bersifat spekulatif, dan juga tidak boleh hanya dimaksudkan untuk memberikan kepuasan emosional kepada manusia, tetapi harus memberikan pedoman untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih adil. Memang, sebelumnya sudah ada beberapa ahli teologi yang mempropagandakan revolusi, antara lain dengan mengutip beberapa ayat dari Perjanjian Lama, seperti cerita tentang Musa memberontak kepada Fir’aun raja yang kurang adil. Guiterrez menganjurkan supaya istilah revolusi itu dipakai dengan baik dan supaya orang yang hendak melaksanakannya juga membaca buku teori Marxis di samping Bible.[17]
Sampai tahun 1960an, Gereja Katolik dan Kristen di Amerika Latin tidak campur tangan dalam bidang politik. Politik dianggap sebagai pekerjaan orang yang mempunyai bakat dan semangat khusus untuk itu; dan pemimpin agama sudah semestinya menjauhkan diri dari politik praktis, apalagi politik adalah suatu pekerjaan yang tidak bisa dilakukan tanpa mengalami tangan kotor, sehingga para uskup dan pastor lebih baik tidak memasuki arena itu. Guiterrez dan kawan-kawan mendorong orang Kristen agar menyadari bahwa politik itu penting sekali. Memang pengertian politik tidak identik dengan partai. Mendirikan kelompok petani kecil, mengajar mereka membaca dan menulis, menumbuhkan kesadaran politik mereka, dan mendirikan koperasi ditengah-tengah mereka agar tidak lagi tergantung pada para pedagang yang menentukan harga terlalu rendah untuk hasil pertanian mereka, semuanya adalah politik juga. Dan semua itu penting untuk mewujudkan dunia yang adil dan makmur.[18]
Pendapat para kritikus teologi pembebasan[19]:
1.
Teologi
pembebasan adalah bagian dari teologi dari teologi tradisional yakni teologi
kerajaan Tuhan.
2.
Teologi
pembebasan merekomendasikan revolusi ekslusif politik dan mengesampingkan
pembebasan total dari kuasa dosa.
3.
Teologi
pembebasan mempergunakan analisis Marxis yang mencanangkan pertentangan kelas,
dan mengesampingkan penyelesaian kooperatif.
4.
Teologi
pembebasan mendorong penggunaan kekerasan dan menunda cinta.
5.
Teologi
pembebasan mengingkari kemiskinan Injil dan sebagai gantinya mempergunakan
konsep kemiskinan proletariat.
6.
Teologi
pembebasan mengesampingkan hierarki dengan Magisteriumnya dan sebagai gantinya
memakai analisis Marxis.
7.
Teologi
pembebasan menutup mata terhadap kandungan “totalitarian” dalam masyarakat
sosialis yang dicita-citakan dan terlalu agresif mengkambinghitamkan
kapitalisme.
Diantara semua dosa-dosa yang dibubuhkan oleh Roma kepada para penganjur teologi baru ini salah satunya dan dianggap paling berbahaya serta sangat menghkawatirkan adalah dosa Marxisme. Tidak diragukan lagi bahwa Marxisme adalah salah satu pokok utama pertikaian dalam perdebatan mengenai teologi pembebasan.
Para teolog Katolik Roma sangat tertarik dengan munculnya teologi pembebasan yang mereka sebut sebagai ajaran bid’ah, dan Lowy menguraikan dalam bukunya. Pertama, mengenai kongregasi suci untuk doktirn & iman. Kardinal Ratzinger seorang teolog ulung Vatikan yang kelihaian pikiran politiknya tidak diragukan, menandatangani suatu dokumen yang diterbitkan Vatikan yang isinya secara resm mengutuk teologi pembebasan sebagai suatu penyimpangan. Kecaman utama yang diajukan oleh naskah resmi Instuction on Some Aspects of ‘Liberation Theology’ ini menyerang para teolog baru Amerika Latin adalah karena mereka menggunakan dalam suatu cara yang sangat tidak memadai konsep-konsep yang dipinjam dari berbagai aliran pemikiran Marxis. Teologi pembebasan telah menjadi sumber suatu pergolakan luas dalam bidang politik dan budaya; gerakan ini telah memecah suatu pemali dan memberanikan sejumlah besar orang Kristen untuk memandang lebih segar bukan hanya pada teori, tetapi juga pada prektek Marxis. Kedua, mematahkan kekauan Stalinis. Keadaan-keadaan sejarah yang termasuk ekonomi, sosial dan politik yang telah memungkinkan terbukanay budaya Katolik terhadap gagasan-gagasan Marxis perlu menanbahkan bahwa Marxisme juga mengalami perkembangan pda masa tersebut. Telah terjadi pematahan atas kekakuan pandangan Stalnisme segera setelah kongres keduapuluh Partai Komunis Uni Soviet dan setelah perpecahan Cina-Soviet. Di Amerika Latin, peran revolusi Kuba dan berakhirnya hegemoni partai-partai Komunis dan Marxisme telah berhenti sebagai suatu sistem yang kaku dan tertutup.[20]
Pada bagian sebelum bab terakhir, Michael Lowy mempertanyakan Marxisme yang mana yang digunakan oleh para teolog pembebasan. Para teolog pembebasan memang sepenuhnya mendukung Marxisme sebagaimana yang ditekankan oleh Leonardo dan Cldovis Boff dalam jawabannya kepada Kardinal Ratzinger bahwa Marxisme mereka gunakan sebagai suatu perantara untuk penyebaran iman. Diantara beberapa aspek Marxisme yang mereka tolak adalah filsafat materialis, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu rakyat. Namun para teolog pembebasan tidak menolak kecaman Marxis terhadap Gereja dan praktek-praktek keagamaan yang terwujud saat ini. Semua kecaman yang ditujukan para teolog pembebasan dibuat berlandaskan ajaran agama Kristen yang murni, dalam kesetiakawanannya terhadap rakyat miskin dan kaum tertindas dan sama sekali tak ada hubungannya dengan keraguan keyakinan keagamaan mereka atas faham materialis.[21]
Beberapa kesimpulan sementara Micheal Lowy yaitu soal persekutuan taktis dengan mereka yang disebut sebagia kekuatan-kekuatan Kristen Kiri, sudah menjadi bagian keprihatinan gerakan kaum buruh dan para Marxis di Amerika Latin dan dimana saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Istilah persekutuan tidak perlu diperbincangkan lagi, tetapi lebih dalam pengertian kesatuan organik. Karena orang-orang Kristen sudah membuktikan diri mereka sebagai unsur hakiki dari gerakan revolusioner bahkan lebih dari para pejuang Marxis-nya sendiri di banyak negara di Amerika Latin.
Seseorang dapat menghabiskan waktu untuk memperdebatkan atas dasar
pertanyaan teorotis tertentu, apakah Kekristenan yang Marxis macam itu memang
mungkin ada dari sudut pandang materialisme dialektis. Tetap apa yang menjadi
pokok persoalan sebenarnya terjadi dalam kenyataan, yaitu bahwa orang-orang
Kristen Marxis itu memang ada: mereka telah menjadi suatu kenyataan politik dan
sosial yang tak terbantahkan. Mereka bukan hanya memang ada, tetapi bahkan
telah menyumbangkan kepada para pejuang revolusioner suatu kepekaan moral,
pengalaman bekerja di lapisan akar rumput rakyat jelata dan juga suatu utopia
yang hanya dapat dicapai dalam pengharapan. Dalam semua kasus yang ada, orang
justru akan menyimpulkan bahwa: di banyak negara di Amerika Latin, revolusi
hanya akan terjadi dengan peranserta umat Kristen atau tidak sama sekali.
Sebuah Refleksi dan Penutup
Teologi pembebasan yang ditulis oleh Michael Lowy sedikit banyak mambahas pengaruh ideologi Marxis terhadap gerakan keagamaan yang menentan sistem penguasa tiran maupun kondisi sosial, ekonomi, mapun ekonomi yang terjadi di dunia ketiga khususnya yang terjadi di Amerika Latin. Pada bab pertama, Lowy menjelaskan kaitan Marxisme dan Agama. Ia menjelaskan bahwa Karl Marx memandang agama mempunyai watak ganda dan merupakan sebuah alienasi atau keterasingan hakikat manusia. Menurut Marx, kondisi-kondisi material tertentulah yang membuat manusia mengalienasikan diri dari agama, dan yang dimaksud dari kondisi-kondisi material disini adalah proses-proses produksi atau kerja sosial dalam masyarakat
Selain itu, Lowy memberikan contoh-contoh para pengikut Marxis dan kaitan mereka dengan kajian agama. Friederich Engels, Karl Kautsky, Lenin, serta Rosa Luxemburg adalah orang-orang yang ditampilkan dalam buku tersebut. Pemikiran mereka secara umum memusuhi agama tetapi percaya bahwa perjuangan ateistik melawan ideologi keagamaan harus dibawahi keharusan-keharusan nyata dari perjuangan kelas, yang membutuhkan persatuan antara kaum buruh yang beriman kepada Tuhan dengan mereka yang tidak beriman. Adapun dalam gerakan komunis internasional, nama-nama seperti Gramsci, Ernst Block, dan Lucien Goldmann tidak luput dari perhatiannya terhadap kajian agama.
Pada bab selanjutnya, Michael Lowy menjabarkan bagaimana Teologi Pembebasan terbentuk. Dari beberapa pergerakan sampai akhirnya menjadi sebuah doktrin yang diikuti oleh para jamaat Gereja di Amerika Latin. Dari gerakan yang di awali oleh pergerakan seorang romo di Brazil yang bernama Camilo Torres, sampai terbentuknya organisasi-organisasi yang menyematkan kata Teologi Pembebasan pada gerakan yang mereka bentuk. Adalah Gustavo Gutierrez yang merupakan salah satu dari sekian banyak produk kerrohanian yang dari gerakan sosial ini yang menjadi ikon. Tesis yang terkenal dari Guiterrez adalah mengenai kedosaan manusia. Menurutnya, kedosaan manusia tidak hanya berakar dalam hati manusia sebagai pribadi, melainkan untuk konteks zaman sekarang berakar pada struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan keagamaan yang memeras serta menindas banyak orang miskin demi keuntungan sekelompok kecil masyarakat.
Ada beberapa contoh yang diuraikan oleh Michael Lowy diantaranya pergerakan Gereja Brazilia, Kekeristenan dan gerakan Sandinismo di Nikaragua, serta Kekeristenan dan asal-muasal perjuangan revolusioner di El Savador. Semua contoh yang diuraikan oleh Lowy menggambarkan betapa berpengaruhnya teologi pembebasan di negara-negara tersebut untuk menegakan keadilam yang telah hilang serta dikendalikan oleh pemerintahan.
Selanjutnya Michael Lowy menguraikan kaitan antara paham Marxisme dan teologi pembebasan. Ada beberapa kritikan yang ditujukan kepada gerakan ini diantaranya yaitu bahwa teologi pembebasan merekomendasikan revolusi ekslusif politik dan mengesampingkan pembebasan total dari kuasa dosa, teologi pembebasan mempergunakan analisis Marxis yang mencanangkan pertentangan kelas, dan mengesampingkan penyelesaian kooperatif, teologi pembebasan mendorong penggunaan kekerasan dan menunda cinta, teologi pembebasan mengingkari kemiskinan Injil dan sebagai gantinya mempergunakan konsep kemiskinan proletariat. Selain itu, Vatikan yang merupakan majelis tertinggi dalam hal teologi Kekeristenan membubuhkan dosa kepada para penganjur teologi pembebasan dan menganggap gerakan ini paling berbahaya serta yang sangat menghkawatirkan adalah paham Marxisme. Untuk analisa sosial-politik, teologi tradisional dalam hal ini Vatikan, memang tidak mempunyai alat yang baik. Ensiklik sosial para Paus hanya mengusulkan perbaikan dalam beberapa aspek sistem sosial-ekonomi yang bersifat kapitalis, sementara seluruh sistem itu tidak dikritik secara mendalam. Tidak lagi cukup sekedar memberikan sedekah kepada kaum miskin; mereka harus diberi pendidikan dan kesadaran tentang hak-hak mereka agar mereka tidak lagi menjadi peminta-minta.
Diawal telah dijelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum mengenal Marx lebih jauh. Pertama, sebagai pencetus komunisme, dia tidak memberikan teori agama yang terperinci, karena masalah agama hanya merupakan salah satu bagian dari totalitas pemikirannya. Kedua, karena filsafat Marx sangat luas cakupannya, maka porsi yang ditawarkan tentang teori agama tradisional kecil sekalil dan bukan merupakan bagian inti dari seluruh pemikirannya. Apa yang diinginkan dari gerakan ini adalah bahwa mereka para pencetus teologi pembebasan ingin menafsirkan ulang Injil sesuai dengan praktek-praktek kehidupan nyata mereka dan pada saatnya mereka menemukan bahwa Marxisme merupakan suatu kunci untuk memahami kenyataan yang mereka hadapi dan sebagai panduan bagi aksi-aksi pembebasan mereka.
Guiterrez dan cukup banyak kawannya mencari hubungan dengan teori Marxis. Walaupun mereka tetap beriman, tetapi mereka hendak menggunakan analisa Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial-politik. Demikianlah masalah pertentangan antara kelas kaya dan kaum proletariat dan masalah hak milik secara kolektif terhadap semua alat produksi masuk kedalam karya teologi pembebasan. Marxisme mereka gunakan sebagai suatu perantara untuk penyebaran iman. Diantara beberapa aspek Marxisme yang mereka tolak adalah filsafat materialis, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu rakyat.
Teologi pembebasan yang diuraikan Michael Lowy lebih banyak menampilkan kasus-kasus tertentu yang terjadi di Amerika Latin. Dari kasus yang terjadi tersebut bisa dilihat bagaimana gerekan sosial teologi pembebasan ingin mencapai apa yang menjadi tujuan mereka. Suatu keadaan sosial, politik, ekonomi maupun budaya yang adil tanpa adanya diskriminasi dari pemerintah maupun sistem yang menindas mereka. Gerakan buruh yang muncul di Amerika Latin bukan merupakan persekutuan taktis antara rakyat sipil yang tidak beragama dan mereka yang beragama, tapi gerakan tersebut lebih kepada persatuan organik. Pokok persoalan yang sebenarnya terjadi dalam kenyataan menurut Lowy adalah bahwa orang-orang Kristen Marxis itu memang ada. Mereka telah menjadi suatu kenyataan politik dan sosial yang tak terbantahkan. Mereka bukan hanya memang ada, tetapi bahkan telah menyumbangkan kepada para pejuang revolusioner suatu kepekaan moral, pengalaman bekerja di lapisan akar rumput rakyat jelata dan juga suatu utopia yang hanya dapat dicapai dalam pengharapan.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa yang menjadi pusat perhatian
dari teologi pembebasan adalah soal metode yang digunakan dan bukan soal isi.
Metode yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan dalam hubungan antara refleksi
dan praksis. Metode yang bertolak dari refleksi transendental atas Kitab Suci
dan tradisi akan berakhir dengan rumusan ajaran iman. Sedangkan metode yang
bertolak dari praksis, refleksi kritis atasnya yang diterangi Kitab Suci akan
menghasilkan komitmen untuk praksis. Dalam hal ini, teologi pembebasan harus
menjalankan metode yang pertama meskipun analisis yang digunakan merupakan hasil
dari paham Marxis.
Sisi positif dari gerakan maupun ideologi teologi pembebasan adalah sebuah alat atau sarana yang dipakai untuk melawan sebuah sistem yang tidak adil terhadap masyarakat kaum tertindas. Dengan menafsirkan ulang ayat-ayat dalam Kitab Suci sesuai dengan konteks keadaan yang dihadapi, maka keadilan yang ingin dicapai bisa terwujud. Selain itu, teologi pembebasan berguna untuk menjembatani keberimanan dan praksis. Metode teologi pembebasan yang harus dikembangkan pada zaman sekarang adalah metode praksis tanpa kekerasan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yaitu kemerdekaan, persaudaraan, keadilan sosial serta kerakyatan.
Adapun sisi negatif dari gerakan teologi pembebasan adalah menghendaki adanya kekerasan dalam mencapai suatu keadilan. Selain itu, alat yang digunakan dalam menganalisis permasalahan yang dihadapi adalah pahan Marxis yang telah menjadi stigma buruk di masyarakat luas pada saat ini.
Perlu pemahaman yang lebih apabila ingin mengerti seluk beluk dari
pemikiran Marx serta pengaruhnya terhadap gerakan teologi pembebasan. Mengutip
perkataan Brad Pitt dalam filmnya yang berjudul Fury, ia mengatakan
bahwa ideologi itu damai tetapi sejarahlah yang kejam. Dari sini kita bisa
menyimpulkan bahwa apapun ideologi yang digunakan dalam suatu gerakan, pada
hakikatnya bersifat damai. Namun konstruk sejarah yang dibuat oleh penguasalah
yang membuat ideologi tersebut amat dibenci maupun ditolak serta dihapus dalam
sejarah. Dalam melihat teologi pembebasan, ada hal positif serta hal negatif
yang harus dipertimbangkan untuk mencapai suatu keadilan sosial.
Daftar Pustaka
Blackburn Simon, Kamus Filsafat, (terj) Yudi Santoso, S.Fil (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013)
Conolly, Peter
(ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (terj) Imam Khoiri, Cetakan II
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta , 2012)
Hardiman,
F.Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzshe (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Lowy, Michael, Teologi
Pembebasan, (terj) Roem Topamitasang (Yogyakarta: Insist Press – Pustaka Pelajar,
2003)
Nitiprawiro,
Fr. Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000)
Pals, Daniel
L., Seven Theories of Religion, (terj) Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri
, Cetakan II (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012)
Steenbrink,
Karel A., Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijogo Press, 1987)
[1] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, (terj) Roem Topamitasang (Yogyakarta: Insist Press – Pustaka
Pelajar, 2003) hlm 2-3
[2] F.Budi
Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzshe (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004) hlm 237
[3] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, hlm 5-7
[4] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, hlm 12-20
[5] Daniel L.
Pals, Seven Theories of Religion, (terj) Inyiak Ridwan Muzir dan M.
Syukri , Cetakan II (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012) hlm 180-1
[6] Simon
Blackburn, Kamus Filsafat, (terj) Yudi Santoso, S.Fil (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2013) hlm 165
[7] Daniel L.
Pals, Seven Theories of Religion, hlm 200-201
[8] Daniel L.
Pals, Seven Theories of Religion, hlm 203-204
[9] Daniel L.
Pals, Seven Theories of Religion, hlm 204
[10] David Martin,
Forbidden Revolution: Pantecostalism in Latin America (Cambridge: Cambridge
University Press, 1990) dalam Peter
Conolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, (terj) Imam Khoiri, Cetakan
II (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta , 2012) hlm 280
[11] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, 26-28
[12] Peter Conolly
(ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, hlm 279-80
[13] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, 49-50
[14] Fr. Wahono
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000) hlm 9-10
[15] Fr. Wahono
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya,
hlm 51
[16] Karel A.
Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijogo Press, 1987) hlm 142
[17] Karel A.
Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, hlm 142-143
[18] Karel A.
Steenbrink, Perkembangan Teologi Dalam Dunia Kristen Modern, hlm 143
[19] Fr. Wahono
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, hlm
4-5
[20] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, 136-40
[21] Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, hlm 155-158
0 komentar:
Posting Komentar