banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Rabu, 15 Maret 2017

POLITIK KEAGAMAAN ORDE BARU

Negara kesatuan republik Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara di Dunia yang memiliki bermacam-macam budaya. Bangsa yang telah dibentuk dari sejarah panjang berbagai perjuangan maupun diplomasi, ternyata tidak mudah untuk menyatukannya di masa awal berdiri. Kepentingan segelintir etnis maupun golongan tertentu, menjadi konflik tersendiri dalam pembentukan pemerintahan yang ideal setelah kemerdekaan dicapai. Dibawah kepemimpinan presiden pertama, yaitu Sukarno, Indonesia masih mencari pijakan yang tepat dalam hal-hal kebijakan untuk berpolitik. Dalam Demokrasi Terpimpin misalnya, ideologi-ideologi yang dominan ketika itu; Nasionalis, Agama, dan Komunis pernah disatukan dalam satu konstitusi  di akhir-akhir pemerintahan Orde Lama sebelum digantikan oleh Orde Baru.

Setelah jatuhnya Orde Lama yang dimulai dari serangkaian peristiwa-peritiwa penting; Gerakan 30 September tahun 1965, Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret tahun 1966, serta Sidang Istimewa MPRS 8 Maret 1967, maka Orde Baru yang dipimpin oleh presiden kedua Indonesia yaitu Suharto menjadikannya salah satu rezim penguasa terlama yang pernah ada di Indonesia.[1] Banyak prestasi di berbagai bidang yang telah dihasilkan oleh Suharto ketika memimpin negeri kepulauan ini. Pembangunan, swasembada beras, kesejahteraan rakyat, kemajuan ekonomi, dan lain sebagainya. Tetapi, dibalik kesuksesannya tersebut, pemerintah dalam menjalankan program-program yang dibuat dalam bentuk kebijaksanaan, seringkali menimbulkan kerugian maupun ketidakadilan di pihak lain terutama mereka yang tidak sejalan dengan apa yang dicanangkan. Itu disebabkan karena ketika Suharto mengambil alih pemerintahan, ia memiliki dua sasaran politik utama, yaitu: mengkonsolidasikan kekuasaanya, dan mendemobilisasi serta mendepolitisasi masyarakat.[2] Dan ini berdampak pada keberagaman yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai golongan, suku, ras, termasuk agama.

Dibawah rezim Suharto, negara mengakui lima agama nasional yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, serta Budha, dan mewajibkan warga negara untuk menganut salah satu agama dari kelima agama tersebut. Pendidikan dari tingkat paling bawah sampai jenjang perguruan tinggi pada masa tersebut diwajibkan mempelajari ajaran-ajaran agama mereka selama dua jam seminggu. Selain itu, identitas religius seseorang juga menjadi salah satu dari informasi seseorang yang harus dicatat pada kartu penduduk semua warga negara.[3] Pola pembedaan warga negara menurut agama ini merupakan salah satu kekacauan hasil dari tindakan inkonsisten Suharto dalam kebijakannya/politiknya terhadap agama. Maka dalam makalah yang sederhana ini, penulis akan sedikit banyak memaparkan sejarah kebijakan politik Orde Baru yang berkenaan dengan kelompok atau golongan keagamaan khususnya agama mayoritas, termasuk di dalamnya masalah etnis yang ada di Indonesia.

Politik Masa Awal Pemerintahan Suharto

Suharto resmi dilantik menjadi presiden kedua republic Indonesia pada sidang MPRS tanggal 27 Maret 1986. Prioritas utama saat pertama diangkat adalah memperbaiki kondisi perekonomian nasional. Pembangunan ekonomi pemerintah Orde Baru tersebut bertumpu pada bantuan luar negeri dan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Di sisi lain, lembaga-lembaga keuangan internasional dan penanaman modal asing bersedia mengucurkan bantuan dana atau menanamkannya bila iklim sosial-politik Indonesia dinilai kondusif.[4] Selain itu, gagasan dan tindakan Suharto selain pembangunan ekonomi adalah membenahi bidang politik dan pemerintahan. Orde baru Suharto meyakini bahwa pembangunan ekonomi tidak dapat dilakukan tanpa jaminan stabilitas politik. Ada beberapa tahap awal yang dinilai Orde Baru sebelum merancang pembangunan politik diantaranya yaitu, memberantas PKI dan ideologinya, mengonsolidasi pemerintahan, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten, menghapus dualisme kepemimpinan, serta menegakakan stabilitas.[5]

Tahap pertama dalam pembangunan serta menjaga stabilitas politik adalah memberantas PKI dan ideologinya. Sebelum Sukarno dilengserkan oleh Suharto, Indonesia mempunyai tiga ideologi besar yang menguasai bangsa. Nasionalis, agama khususnya Islam, serta komunis yang menjadi kekuatan dalam politik pada masa itu. Tetapi setelah adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan Suharto menjadi sosok sentral dalam kejadian tersebut,[6] PKI dengan ideologi komunisnya yang berasal dari pengaruh Uni-Soviet serta Cina mulai dibersihkan pada masa Orde Baru. Dampak yang sangat terasa dari pembersihan ini adalah mereka para penganut paham komunis dari tingkat elit hingga rakyat biasa, serta etnis Cina yang telah lama tinggal di Indonesia. Kerusuhan anti-Cina di Indonesia pun pecah tidak bisa dibendung. Di tengah kerusuhan yang kacau ini, masa menyerang sekolah dan organisasi masyarakat Cina dan merusak berbagai fasilitas lain untuk mengungkapkan rasa permusuhan mereka terhadap RRC, orang Cina, atau kepada penganut aliran Komunis.[7] Maka kebijakan-kebijakan pemerintah masa awal Orde baru terhadap etnis Cina, menjadi perhatian besar dalam menjaga stabilitas politik negara.

Salah satu kebijakan pemerintahan Suharto terhadap etnis Cina adalah menerapkan kebijakan pemaksaan asimilasi yang mewajibkan masyarakat Indonesia Cina untuk melepas kebudayaan dan bahasa Mandarin mereka. Pemerintah menutup semua sekolah berbahasa mandarin dan mengatur anak-anak keturunan Cina untuk hanya masuk ke sekolah berbahasa Indonesia. Pemerintah juga melarang penggunaan aksara Mandarin, dan semua bentuk dan ungkapan yang dapat ditelusuri berasal dari kebudayaan Cina. Di samping itu, sebuah traktat yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 1968 mengimbau orang Indonesia untuk mengganti nama Cina mereka dengan nama Indonesia untuk menunjukan komitmen pada negara.[8] Kebijakan asimilasi ini berdampak luas setelah-setelahnya terhadap berbagai aspek kehidupan yang bersangkutan dengan Cina seperti larangan impor, barang dagang dalam bentuk atau huruf dan bahasa Cina,[9] larangan penggunaan media massa berbahasa Cina,[10] serta larangan menunjukan kebudayaan mereka termasuk agama.

Hal menarik mengenai kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap agama khususnya agama orang Cina adalah bahwa pada masa tersebut, negara hanya mengakui lima agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kebijakan yang diterapkan ini tentu sangat bertentangan dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Dalam penjelasan penetapan presiden tersebut, pasal 1 mengatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Ini menunjukan bahwa politik agama pada masa awal dan masa-masa selanjutnya di pemerintahan Orde baru, masih terpusat pada masalah etnisitas khususnya Cina dan agama mereka, meskipun pemerintah berdalih hanya ingin stabilitas negara tetap terjaga.

Konsolidasi Militer untuk Stabilitasi Politik

Salah satu sasaran utama Suharto dalam menjaga stabilitas politiknya pada zaman Orde Baru diantaranya adalah dengan memasukan kekuatan militer kedalam tubuh pemerintahan, dan itu terjadi ada sekitar tahun 80-an, serta lazim disebut dengan tahap konsolidasi. Struktur pemerintahan ketika itu berada di bawah dominasi militer dan Pancasila sebagai ideology secara sistematis dicanangkan sebagai asas tunggal mulai disosialisasikan pada rakyat.[11] Kemiliteran dibentuk sebelum tahap tersebut agar mempunyai tujuan untuk menopang kekuatan  negara dan selalu siap untuk menjalankan peranya sebagai kekuatan negara menghadapi ancaman ideology apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui. Kondisi semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisi (gerakan) politik agama, khususnya Islam  semakin dalam.[12]

Meskipun Islam dalam sejarahnya Orde Baru memberikan dukungan besar dalam penumpasan PKI, tapi keberadaannya sebagai sebuah ideologi tidak mungkin diakomodir pemerintah rezim Suharto. Orde Baru benar-benar anti terhadap pergulatan ideologis dan kepentingan politik lainnya. Di bawah rezim  yang disebut dengan rezim diktator ini, oposisi politik dalam bentuk apapun  tidak diperkenankan dan  pemerintah terus menerus melakukan  intimidasi serta tekanan yang sangat hebat terhadap kemerdekaan individu, penindasan terhadap kebebasan, hak berbicara serta melakukan  diskusi terbuka.[13] Karena Orde baru lebih mengharapkan stabilitas dan mengembalikan bangsa Indonesia kepada nilai-nilai yang diyakini sebagai nilai alamiah bangsa, yaitu Pancasila. Maka Islam sebagai agama, ideologi maupun basis politik, pada masa pemerintahan Orde Baru lebih dipandang sebagai sebentuk ideologi primordial yang berpotensi menciptakan instabilitas negeri.[14] Tekanan kalangan agama khususnya Islam pada pemerintah, menyebabkan sejarah awal pemerintahan Orde Baru diwarnai oleh hubungan yang tidak harmonis. Para aktivis partai Islam keberatan dengan kontrol pemerintah yang sangat luas dan membatasi semua gerak poltik yang bersifat independen.[15]

Untuk memberikan gerak politik yang sempit, pemerintahan Orde Baru pernah menyederhanakan partai-partai politik di Indonesia. Suharto memaksa sepuluh partai yang ada pada tahun 1973 bergabung menjadi tiga partai: partai pemerintah Suharto yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didominasi golongan Islam, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang umumnya beranggotakan golongan nasionalis dan Kristen.[16] Partai-partai politik tersebut dikelompokan dalam: 1. Golongan nasional yaitu PDI hasil fusi lima partai politik yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia / Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, serta IPKI, 2. Golongan spiritual yaitu PPP hasil fusi dari empat partai yakni NU, Parmusi, PSII dan Perti, 3. Golongan karya yaitu partai pemerintah.[17]

Hubungan Islam dan Pemerintah Orde Baru

Format politik pada masa kepemimpinan Suharto yang telah dibentuk sejak 1966, menempatkan militer sebagai kekuatan politik yang dominan. Ada beberapa hubungan agama khususnya Islam dengan negara dalam politik Orde Baru, diantaranya hubungan bersifat antagonistik, hubungan bersifat resiprokal kritis, serta hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan antagonistik yang dimulai tahun 1996 terjadi karena dikalangan Islam timbul harapan untuk kembali memainkan peranya seperti pada masa demokrasi parlementer, tetapi hubungan ini berlangsung sampai dengan masa penerapan asas tunggal. Ketegangan konseptual yang tercipta menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk saling memahami posisi masing-masing, dan Islam keika itu berada pada masa resiprokal kritis yaitu antara tahun 1982-1985. Dan setelah semua organisasi massa serta organisasi sosial politik mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hubungan Islam dan pemerintah tersebut menjadi hubungan yang bersifat akodomodatif.[18]

Setelah Orde Baru melakukan test politik, umat Islam pada masa menjelang akhir Orde Baru dinilai lulus ujian. Penerimaan asas tunggal Pancasila oleh ormas-ormas Islam semakin memperkuat tali persaudaraan, karena mereka belajar dari pengalaman partai politik Islam sebelumnya yang terpecah-belah. Hubungan akomodatif yang terjadi antara pemerintah dan Islam mulai tampak ketika keluar kebijaksanaan pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghapus larangan berbusana muslimah di sekolah-sekolah. Selain itu, perkembangan positif hubungan antara keduanya antara lain adalah pengesahan RUU Pendidikan Nasional, penyelesaian kasus Monitor, pengesahan RUU Peradilan Agama, pengiriman dai ke daerah-daerah transmigrasi, pembentukan ICMI, peningkatan kiprah Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang dipimpinan langsung oleh Suharto, pendirian Bank Muamalat, penyelenggaraan Festival Istiqlal, serta penghijauan di DPR/MPR, Kabinet Pembangunan VI dan pengurus DPP Golkar 1993/1994.[19]

Model kepolitikan Orde Baru yang berupa kebijakan pemerintah terhadap kehidupan keagamaan khususnya Islam telah disusun. Konsep dasar pemerintah Orde Baru dalam merumuskan kebjaksanaan terhadap umat Islam sejajar dan serupa dengan sikap pemerintah kolonial Belanda terdahulu, yang biasa disebut dengan politik kembar. Sebagaimana diketahui, politik kembar masa kolonial membedakan Islam Politik dengan Islam Ibadah. Apabila dibandingkan politik agama masa Belanda dengan politik pemerintahan Orde Baru, sebenarnya terdapat perbedaan yang substansial:
1.      Dalam konsep teoritis state and society, pada masa colonial Islam hanya hadir di dalam society, sedangkan pada masa Orde Baru Islam hadir dalam state dan society. Konsep dasar pemerintah tidak membedakan Islam politik dengan Islam ibadah. Bahkan pemerintah Orde Baru sangat membutuhkan dukungan umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas, baik guna legitimasi system politik maupun dalam menyukseskan pembangunan nasional. Dukungan tersebut harus diletakan dalam kerangka politik.
2.      Yang dibedakan dalam pemerintahan Orde Baru adalah Islam partai politik dengan Islam nonpartai politik.
3.      Negara Pancasila bukanlah negara sekuler ataupun negara teokratis. Pemerintah Orde Baru tetap menangani kehidupan keagamaan warga negara tanpa harus menjadi negara teokratis. Keberadan Departemen Agama dan dukungan terhadap program-program ormas Islam adalah contohnya. Disisi lain, pemerintah tidak melegalisir sebuah agama resmi negara dan melakukan merginalisasi peranan pemuka-pemuka agama dalam politik pemerintahan, tanpa harus menjadi negara sekuler.[20] 

Pada perkembangannya, politik terhadap agama pada masa pemerintahan Orde Baru lambat laun mulai lepas kendali. Beberapa kebijakan yang dibuatnya tersebut telah memunculkan kembali ketegangan antar agama di Indonesia yang tdak bisa dilepaskan dari kecemburuan ekonomi dan ras.[21] Miskinnya pemahaman masyarakat tentang kemajemukan beragama atau populer dengan pluralisme, merupakan salah satu penyebab konflik bernuansa SARA. Selain itu, kurangnya pemahaman kemajemukan kehidupan bersama dipahami sekedar hanya ada orang yang berbeda agama, suku, golongan, bahasa, pendidikan, tingkat ekonomi, melainkan harus adanya interaksi, dinamika, dialog, komunikasi. Dan selama 32 tahun Orde Baru, interaksi, dinamika, dialog, dan komunikasi tersebut dikemas atau dihalang-halangi dan sedapat mungkin ditolak, ditutupi, dihindari atas nama kerukunan, toleransi dan SARA.[22]

Tantangan penataan keragaman keagamaan yang ada di Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru, seharusnya bisa dirumuskan dengan mengacu kepada prinsip-prinsip dasar Pancasila. Tetapi, hal yang sangat mendasar ini tampak terabaikan mulai terabaikan di tengah reformasi yang menuntut desakralisasi Pancasila dari kalangan atau kelompok tertentu. [23] Memang ada semacam trauma sejarah dalam benak masyarakat ketika Pancasila yang mestinya menjadi platform bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diseret oleh Orde Baru menjadi instrument peneguhan rezim otoriter Suharto. Semuanya disebabkan dari pengalaman politik ketika sila-sila Pancasila didendangkan sebagai alat penyeragaman dan kontrol sosial politik pemerintah.

Penutup

Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, tidak lepas dari berbagai macam dinamika politik. Perubahan strategi pemerintahan untuk menjaga stabilitas politik negeri seringkali mengalami ketimpangan kebijaksanaan. Pembersihan ideology yang bertentangan, asimilasi kebudayaan etnis tertentu, konsolidasi militer, depolitisasi kelompok tertentu, sampai hubungan yang bersifat akomodatif yang ditempuh, menjadikan rezim yang dipimpin oleh Suharto inkonsisten dalam berpolitik. Agama-agama yang terdapat di Indonesia dan merupakan salah satu elemen dari kebhinekaan, dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaannya.

Meskipun Suharto menyatakan diri setia pada Pancasila yang pluralis, tetapi dalam prakteknya dengan menggunakan politik yang dijalankannya bisa mengeksploitasi ketegangan-ketegangan religius dengan mengadu domba antara komunitas keagamaan yang satu dengan yang lain. Itu disebabkan karena wacana politis kebhinekaan khususnya yang bersifat etnoreligius pada masa Orde Baru, dipandang sebagai pengaruh negative bagi proses pembentukan negara. Hal ini memberikan warisan yang pahit, yaitu negera selalu campur tangan dalam urusan-urusan keagamaan dan dengan mengadu komunitas-komunitas religius satu dengan yang lain, membuat hubungan-hubungan antara komunitas menjadi sangat rumit.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Ombak, 2006)
Adityawan, Arief S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008)
Awwas, Irfan S. (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000)
Darwis, Aimee, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010)
Hasan, Noorhadi, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012)
Hefner, Robert W. (ed), Politik Mutikulturalisme, (terj) Bernadus Hidayat, (Yogyakarta: IMPULSE)
Mujiran, Paulus, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Tamwifi, Irfan, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014)
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Winters, Jeffrey A., Dosa-dosa Politik Orde Baru,  (terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999) 


[1] Rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia selama 32 tahun terhitung dari Supersemar 1966 sampai jatuhnya rezim tersebut pada tahun 1998, dan apabila berpatok pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 maka rezim tersebut bekuasa selama 33 tahun. Lebih lanjut lihat Asvi Warman Adam, Soeharto File: Sisi Gelap Sejarah Indonesia, edisi revisi (Yogyakarta: Ombak, 2006)
[2] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru,  (terj) Aditya Priyawardhana, (Jakata: Djambatan, 1999)  hal 7
[3] Robert W. Hefner, “Pendahuluan: Multikulturalisme dan KEwarganegaraan di Malaysia, Singapura,dan Indonesia” dalam Robert W. Hefner (ed), Politik Mutikulturalisme, (terj) Bernadus Hidayat, (Yogyakarta: IMPULSE) hal 66
[4] Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008) hal 107
[5] Arief Adityawan S, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia: Mengupas Semiotika Orde Baru Soeharto, hal 109
[6] Masih menjadi kontroversi sejarah, karena ada beberapa versi mengenai siapa dalang dari peristiwa tersebut, diantaranya yaitu: PKI, Angkatan Darat, Sukarno, Suharto, dan unsur-unsur asing.
[7] Aimee Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010) hal 27. Lihat juga Charles Coppel, Indonesian Chinese in Crisis, (New York: Oxford University, 1983)
[8] Aimee Darwis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, hal 1 yang dikutip dari Mely G Tan, The Ethnic in Indonesia: Trials and Tribulation.dalam F.Sleman, A.A. Sutama & A. Rajendra (Eds) Struggling in Hope: A Tribute to The Rev.Dr. Eka Darmaputra, (Jakarta:PT BPK Gunung Mulya, 1999) dan Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Pembanguna Bangsa, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1999)
[9] Tertuang dalam surat keputusan menteri perdagangan dan koperasi No. 286/KP/XXI/78 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam bentuk huruf/aksara dan bahasa Cina
[10] Instruksi presidium cabinet No. 49/U/8/1967 tentang pendayagunaan mass media berbahasa Cina
[11] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014) hal 343
[12] Irfan S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000) hal 7
[13] Irfan S.Awwas (ed), Bencana Kaum Muslim di Indonesia: 1980-2000,  hal 1
[14] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 371
[15]Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 372
[16] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 17
[17] Irfan Tamwifi, Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru, hal 111
[18] Abdul Aziz Thaba,  Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) hal 240
[19] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal  278-279
[20] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru: 1965-1994, hal 316-317
[21] Jeffrey A. Winters, Dosa-dosa Politik Orde Baru, hal 4
[22] Paulus Mujiran, Kerikil-kerikil di Masa Transisi: Serpihan Esai Pendidikan, Agama, Politik dan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal 265
[23] Noorhadi Hasan, Islam Politik di Dunia Kontemporer: Konsep, Genealogi, dan Teori (Yogyakarta: SUKA-Press, 2012) hlm  186

POLITIK PEMAAFAN & RESOLUSI KONFLIK

Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terlepas dari interaksi ataupun komunikasi dengan manusia yang lain. Proses tersebut menjadikan manusia berkembang seiring dengan kemampuan mereka dalam menangkap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Interaksi sosial merupakan salah satu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Interaksi individu dalam beberapa kondisi tertentu sangat memungkinkan terbentuknya tindakan dalam sistem sosial.[1] Suatu interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu: pertama adanya kontak sosial dan kedua adanya komunikasi.

Dari proses tindakan yang merupakan salah satu interaksi sosial, maka timbul kelompok-kelompok sosial yang merupakan kesatuan sosial yang terdiri dari kumpulan individu-individu yang bersama dengan mengadakan hubungan timbal balik yang cukup intensif dan teratur, sehingga diharapkan adanya pembagian tugas, struktur, norma-norma tertentu yang  berlaku bagi mereka. Setiap kumpulan individu tidak dapat disebut kelompok sosial selama belum memenuhi syarat-syarat seperti, setiap individu harus merupakan bagian dari kesatuan sosial, terdapat hubungan timbal balik diantara individu-individu yang tergabung dalam kelompok, adanya faktor-faktor yang sama yang dapat mempererat hubungan mereka yang bergabung dalam kelompok, berstrukur serta berkaidah, dan mempunyai pola perilaku, dan bersistem serta berproses.[2] Dari pengertiannya, kelompok sosial merupakan kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi.

Terbentuknya kelompok sosial dalam masyarakat tertentu bisa menimbulkan konflik  apabila ada persaingan di dalamnya. Konflik dalam kelompok sosial tersebut bisa terjadi antara individu dengan individu yang lain atau antara individu dengan individu dari kelompok sosial yang lain, atau bahkan antar kelompok sosial. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konflik mempunyai arti atau pengertian sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan.[3] Adapun dalam ilmu sosial, konflik biasa diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik yang terjadi biasanya terjadi karena kesalahpahaman atau tidak adanya saling memahami satu sama lain. Upaya yang dilakukan sebelum, sedang berlangsung maupun setelah terjadinya konflik semata-mata ingin pertikaian diantara kedua belah pihak berhenti untuk tercapainya kondisi damai. Perdamaian merupakan persetujuan dalam mengakhiri sebuah konflik, dan salah satu upaya dalam menangani ketegangan antara pelaku dan korban dalam berkonflik adalah dengan diadakannya rekonsiliasi. Dalam menempuh sebuah rekonsiliasi, pemaafan merupakan salah satu tindakan moral yang bisa digunakan dalam meredam konflik antar individu ataupun kelompok sosial. Dimasukannya dimensi pemaafan sebagai langkah awal dalam resolusi konflik adalah bahwa  fenomena yang terjadi di masyarakat tidak hanya menggunakan satu sudut pandang atau pendekatan keilmuan tunggal, karena pemaafan merupakan perilaku sosial psikologis dalam hubungan antar individu.

Pemaafan dan Rekonsiliasi Konflik
 
Jill Scott dalam bukunya A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss Wrongdoing, mendefinisikan pemaafan secara harfiah yaitu melepaskan atau mengurangi kebencian terhadap orang untuk sebuah kesalahan; membebaskan kesalahan atau pelanggaran; membatalkan hutang.[4] Proses pemaafan tidak serta merta bisa terwujud, Pemaafan yang sungguh-sungguh akan selalu mengandung dua dimensi, yaitu dimensi intrapersonal dan dimensi intrapersonal. Yang pertama menjelaskan mengenai dunia intrapersonal korban terkait dengan kondisi-kondisi tertentu yang berlangsung dalam dunia emosi, pikiran, serta perilakunya yang muncul dari pengalamannya sebagai korban tindak pelanggaran, sementara dimensi yang kedua lebih berkaitan dengan kondisi-kondisi dimana pemaafan telah mengambil peran penting dalam proses pemulihan hubungan sosial.[5]
Model kombinasi dua dimensi yang digambarkan oleh Afthonul Afif dalam bukunya Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya bisa menjelaskan bagaimana pemaafan itu bisa terwujud. Kombinasi Dua Dimensi Pemaafan[6]
 
Intrapersona
Interpersona
Hasil
Tanpa Komitmen
Tindakan
Pemaafan Palsu
Komitmen
Tanpa Tindakan
Pemaafaan Diam-diam
Komitmen
Tindakan
Pemaafan Total
Tanpa Komitmen
Tanpa Tindakan
Tiada Pemaafan

Pemaafaan palsu (hollow forgiveness) terjadi dan hanya berlangsung pada dimensi interpersonal, sedangkan pada dimensi intrapersonal belum terjadi proses penyembuhan luka akibat konflik yang terjadi sehingga memaafkan secara sungguh-sungguh dan tulus pun belm mampu. Pemaafan diam-diam (silent forgiveness) merupakan pemaafan yang terjadi hanya ada pada dimensi intrapersonal tanpa melibatkan dimensi interpersonal. Pemaafan total (total forgiveness) terjadi ketika dimensi intrapersonal maupun interpersonal telah berlangsung pemaafan. Tiada pemaafan (no Forgiveness) merupakan kebalikan dari yang terjadi di model pemaafan total. Terjadinya tiada pemaafan karena pada dua dimensi yaitu intrapersonal dan interpersonal tidak terjadi pemaafan.[7]
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh dalam proses pemaafan sebagaimana yang ditawarkan oleh D. Patrick Miller dalam bukunya A Little Book of Forgiveness diantaranya: 1. Meninjau secara rinci tentang perasaan yang dialami termasuk kesedihan yang pahit dan keluhan yang serius. 2. Menyimpan dalam pikiran mengengenai kesan apa saja yang bisa dimaafkan termasuk diri sendiri, orang lain dan kejadian di masa lalu. 3. Membayangkan kehidupan akan menjadi seperti apa tanpa ada rasa kesedihan atau keluhan yang telah menghantui. 4. Membuat perbaikan antara orang yang telah menyakiti ataupun yang disakiti. 5. Meminta bantuan kepada Tuhan atau bantuan dari alam, manusia, maupun misteri dalam pikiran untuk mengatasi rasa takut serta hambatan pada setiap langkah. 6. Memiliki kesabaran karena pemaafan menginduksi penyembuhan luka yang mana ia akan mengikuti dengan sendiri seiring berjalannya waktu. 7. Mengulangi beberapa langkah dari 1 sampai 6 sesering mungkin untuk kehidupan.[8]
 
Untuk mencapai sebuah resolusi konflik maka rekonsiliasi menjadi jalan bagi tercapainya tujuan dari kedua belah pihak. Pengertian dari rekonsiliasi adalah untuk mengembalikan hubungan; membawa ke dalam sebuah kesepakatan dan membangun hidup berdampingan secara damai. Orang-orang yang terlibat dalam rekonsiliasi bersifat individu atau kelompok dan boleh juga melibatkan mediator.[9] Rekonsiliasi sebenarnya lebih difokuskan kepada bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat yang ditimbulkan dari konflik. Selain itu rekonsiliasi menciptakan ruang yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang berbeda serta mempertemukan segala energi yang ada untuk terbentuknya sebuah perdamaian dan keadilan.[10]
Rekonsiliasi yang sejati baru akan terjadi ketika kedua belah pihak sama-sama menyepakati ditempuhnya jalan pemaafan. Kedua belah pihak harus mampu membangun suasana saing percaya dan bersedia mewujudkan sebuah hubungan dengan semangat baru, meski ia memang lebih sulit diciptakan, lantaran sering kali di antara pihak yang bersengketa tidak bersedia menempuh jalan pemaafan.[11] Adapun mengenai restorative justice memahami tindak kejahatan tidak semata sebagai pelanggaran terhadap sebuah entitas abstrak yang bernama negara, melainkan lebih sebagai pelanggaran terhadap keadilan yang berlaku di masyarakat dan hubungan-hubungan sosial.[12]

Van Ness dan Strong mengatakan bahwa restorative justice merupakan sebuah gerakan reformasi yang telah dan akan mengambil bentuk dalam agenda-agenda berikut: Pertama, restorative justice sebagai sebuah sistem alternatif berbasis komunitas atas dominasi sistem peradilan pidana. Kedua, restorative justice sebagai sumber pertimbangan bagi kebijakan-kebijakan publik. Ketiga restorative justice sebagai bagian yang hidup dalam sistem peradilan pidana. Keempat, restorative justice sebagai gerakan reformasi internasional.[13]

Keberhasilan sebuah rekonsiliasi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kebijakan-kebijakan politik pemerintahan transisi sanggup menjawab sejumlah pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: sudahkah masa lalu disikapi secara terbuka di tingkat publik?, bagaimana hubungan-hubungan pihak-pihak yang sebelumnya bertikai?, apakah hubungan mereka didasarkan pada masa lalu atau masa depan?, apakah ada banyak versi tentang masa lalu? Bila tidak ada kebijakan politik yang dengan sengaja ditunjukan untuk menjawab pertanyan-pertanyaan tersebut, maka mewacanakan rekonsiliasi sama artinya dengan menabur garam di atas luka-luka yang masih meradang.[14]

Wacana rekonsiliasi dan pemaafan akhirnya menjadi sesuatu yang kurang berbobot dan rapuh secara moral,karena tidak memilik pendasaran masa lalu yang kuat. Korban dan pelanggar menjadi predikat yang kabur, karena tidak ada proses politik-hukum yang memungknkan seseorang ataupihak tertntu dapat digolongkan ke dalam predikat itu. Penyembuhan luka pun menjadi proses yang nyaris mustahil, karena tidak ada mekanisme restoratif apa pun yang sudah diselenggarakan.[15] Betapapun sulitnya mengadili pelanggar karena tiadanya kehendak politik yang kuat dari penguasa – karena hubungan antara kekuasaan dan tanggung jawab memang begitu tipis – atau hilangnya kepakeaan masyarakat akan derita yang ditanggung korban akibat masa lalu yang terkunci rapat, harapan akan keadian dan masa depan harus terus dirawat. Adanya harapan adalah dasar bagi setiap kemungkinan di masa depan, tidak terkecuali tentang lahirnya manusia-manusia baru yang dapat menghentikan rantai kejadian sebelumnya, meski kemungkinan ini betapapun sulitnya untuk dipastikan. Namun, justru karena harapan adalah sesuatu yang sangat dekat dengan ketidakpastian, ia sanggup merangsang manusia untuk merefleksikan tindakan-tindakan sebelumnya atau untuk melahirkan tindakan-tindakan baru. Disitulah makna atau pentingnya sebuah pemaafan dan janji.[16]

Hubungan antara maaf dan janji begitu dekat. Ketika korban memaafkan, dia sebenarnya telah berjanji untuk tidak menuntut balas dan ketika pelanggar meminta maaf, dia juga berjanji untuk tidak melanggar kembali. Janji adalah pengikat bagi tindakan-tindakan agar lebih dapat dipastikan, agar harapan-harapan lebih dekat dengan kenyataan. Sebagai tindakan baru, maaf adalah kemungkinan terjauh yang masih dijangkau korban dalam merespo peristiwa-peristiwa yang mengingkari kemanusiaan. Dengan demikian, maaf adalah sekaligus tindakan yang dapat memulihkan kemanusiaan itu sendiri, sebuah penghormatan terhadap manusia lain yang telah berbuat jahat semata-mata demi kebaikan orang tersebut. Karena tiada sesuatu pun yang diharapkan dari pemberian maaf, dan tiada syarat apapun yang diarapkan dari orang yang menerima maaf, maka ia berbeda secara mendasar dengan rekonsiliasi.

Itu sebabnya maaf tidak dapat disalahpahami sebagai bentuk pengingkaran atas hak-hak korban yang dilanggar, sebab korban tiada pernah menempatkan pemulihan hak-haknya sebagai syarat pemberian maafnya, sebab maaf adalah urusan tentang harapan di masa depan, bukan sekedar konsekuensi dari pertanggungjawaban atas pelanggaran di masa lalu. Maaf pembatalan di depan hukum? Maaf adalah tindakan yang tidak berhubungan atau tepatnya tidak tergantung dengan hukum. Baik ketika hukum ditegakan maupun hukum dilanggar, maaf tetap diberikan. Keduanya sama-sama menempatkan kemanusiaan sebagai dasar bekerjanya namun sifatnya berbeda. Ketika keduanya beriringan dimana kesetaraan, kebebasan dan tanggung jawab menemukan tempatnya bertumbuh, maka rekonsiliasi akan menjadi tindakan baru yang menandai wajah kemanusiaan berikutnya. Apabila dirumuskan maka yang terjadi adalah sebagai berikut: janji-janji yang telah ditunaikan / penegakan hukum + maaf yang sudah diberikan = rekonsiliasi.

Penutup

Dari pemaparan diatas bisa dilihat bagaimana sebuah pemaafan yang berujung kepada terjadi sebuah rekonsiliasi bisa dijadikan acuan dalam resolusi konflik. Restorative justice yang ingin dicapai mengharuskan pemaafan berjalan di kedua dimensi, pelaku dan korban. Terkadang suslit menjalankan politik pemaafan untuk mencari kemaslahatan bersama, tetapi dari proses pemaafan tersebut bisa nampak apa yang diinginkan dari kedua belah pihak. Maka politik pemaafan yang dibahas dalam tulisan ini ingin menjawab sekaligus menjadikan alternatif dalam penyelesaian konflik ataupun sebagai sebuah resolusi dalam menangani konflik.

 Daftar Pustaka

Arif, Afhtonul, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015)
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka Cipta, 1998)
Lederach, John Paul, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies (Washington: United State Institute of Peace Press, 1999)
Miller, D. Patrick, A Little Book of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA, 1994)
Parson, Talcott, The Social System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991)
Scott, Jill, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New York:Palgrave MacMilan, 2010)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008)


[1] Talcott Parson, The Social System, (ed) Bryan S. Turner (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991) hlm 1
[2] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), hlm. 200
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008) hlm 746
[4] Jill Scott, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, (New York:Palgrave MacMilan, 2010)  hlm 205
[5] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hlm 83
[6] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 95
[7] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 98-104
[8] D. Patrick Miller, A Little Book of Forgiveness, (Berkeley: Viking Penguin USA, 1994) hlm 9-15
[9] Jill Scott, A Poetics of Forgiveness: Cultural Responses to Loss and Wrongdoing, hlm 206
[10] John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divide Societies (Washington: United State Institute of Peace Press, 1999) hlm 29
[11] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 78
[12] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 328
[13] Daniel W. Van Ness dan Karen Heetderks Strong, Restorative Justice: An Intoduction to Restorative Justice (New Providence, NJ: LexisNexis Group, 2010) hlm 13-14 dalam Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 389-390
[14] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hm 398
[15] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 404
[16] Afhtonul Arif, Pemaafan, Rekonsiliasi dan Restorative Justice: Diskursus Perihal Pelanggaran di Masa Lalu dan Upaya-Upaya Melampauinya, hlm 405-6

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More