Al-Qusyairi
adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian
penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawwuf aliran Suni
abad-abad ketiga dan keempat Hijriah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan
khazanah tasawwuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Al-Qusyairi
nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazin, lahir tahun 376 H di Istawa
daerah Nishapur. Dia berdarah arab dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu
pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu
‘Ali Al-Daqqaq seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majlis
gurunya, dan dari gurunya itulah dia menempuh jalan tasawwuf. Sang guru ini
menyarankan untuk pertama-tama mempelajari syari’at. Karena ituAl-Qusyairi lalu
mempelajari fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr Al-Thusi
(w 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr ibn Faurak
(w 406 H). Selain itu dia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini (w 418 H),
dan menelaah banyak karya-karya Al-Baqillani. Dari situlah Al-Qusyairi berhasil
menguasai doktrin Ahlus Sunanah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan
para muridnya.Al-Qusyairi sendir adalah pembela paling tangguh aliran tersebut
dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan
Syi’ah. Karena tindakannya itu dia mendapat serangan keras serta dipenjara
sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena hasutan seorang mentrinya yang
menganut alira Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang
bermula tahun 445 H diuraikannya dalam karyanay Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut
ibn Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu mengkompromikan syari’at
dengan hakekat. Dan Al-Qusyairi meninggal tahun 465 H.
Seandainya
karya Al-Qusyairi Al-Risalah Al-Qusyairiyyah dikaji secara mendalam, maka akan
tanpak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawwuf ke atas landasan
Ahlus Sunnah. Sebagaimana pernyataannya: “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini
(para sufi) membina prinsip-prinsip tasawwuf atas landasan-landasan tauhid yang
benar sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu
mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah yang tak
terdangi serta tidak macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan
sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini,
Al-Junaidi berkata: Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru.
Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasaekan pada dalil dan bukti yang kuat
serta gamblang. Dan ini seperti Abu Muhammad Al-Jariri: Barangsiapa tidak
mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat
tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancuran.”
Secara implisit
dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi
syatibi yang mengucapkan ungkapan-ingkapan yang penuh kesan terjadinya
perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat
kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain, secara
terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka: “Mereka menyatakan bahwa mereka
telah babas dari perbudakan berbagai belenggu malah berhasil mencapai realitas-realitas
rasa penyatuan denga Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama yang
Maha Benar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementara mereka
dalam keadaan fana. Allah pun menurut mereka tidak mencela maupun melarang apa
yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan
rahasia-rahasia keesaan, dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh
cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu...”
Selain itu,
Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka
menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat
yang sama bertentangan dengan mode pakaian mereka. Dia menekankan bahwa
kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih
penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana katanya: “Duhai saudaraku!
Janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat.
Sebab ketika hakekat realitas-realitas itu tersingkap, niscaya tampak keburukan
para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian... setiap tasawwuf yang tidak
dibarengi kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawwuf palsu
serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yag lahir
adalah keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak
dibenarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah pengingkaran terhadap Allah
(ma’rifat) yang tidak dibarengi kerendahanhatian maupun kelurusan jiwa adalah
palsu serta bukannya pengenalan terhadap Allah.”
Dalam konteks
yang berbeda, dengan ungkapan yang cukup pedas, Al-Qusyairi mengemukakan suatu
penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriah, katanya: “Kebanyakan para
sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam
zaman kita, tiada yang tinggal dari kelompok tersebut kecuali bekas-bekas
mereka, seperti dikatakan:
Kemah
itu hanya serupa kemah mereka
Kaum wanitanya
itu, kulihat, bukannya mereka
“Zaman telah
berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakekat
realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka.tidak banyak
lagi kini generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka.
Sirnalah kini kerendahatian dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan
kini semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan
agama dari dalam kalbu. Betapa sedikit kini orang-orang yang berpegang teguh
pada agama. Banyak orang kini yang menolak membedakan masalah halal dengan
haram. Mereka kini cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan
membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap enteng pelaksanaan ibadah,
melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Dan mereka jatuh
dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang
tidak diperbolehkan..”
Pendapat Al-Qusyairi ini barangkali terlalu
berlebihan. Tapi apapun masalahnya, paling tidak bisa menunjukan bahwa tasawwuf
pada masanya telah mulai menyimpang dari perkembanganya yang pertama, baik dari
segi aqidah atau dari segi-segi moral dan tingkah-laku.
Karena itu pula
Al-Qusyairi menyatakan, bahwa dia menulis risalahnya tersebut karena dorongan
rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawwuf. Dia tidak bermaksud
menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri
pada penyimpangan sebagaian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya hanya
sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawwuf pada masanya.
Dari uraian
diatas tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawwuf menurut Al-Qusyairi harus
dengan merujukkannya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang dalam hal ini
ialah dengan cara mengikuti para sufi Sunni abad-abad ketiga dan keempat
Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Al-Risalah.
Dalam hal ini
jelas Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang
berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asy’ariyyah, yang nanti akan
merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi
maupun Al-Junaidi, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal
dengan unkapan-ungkapan yang ganjil.
Diterjemahkan dari: Al-Madkhol ila
Ilm At-Tasawwuf Al-Islami, karya Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani
0 komentar:
Posting Komentar