banner blog aing

Selasa, 03 Juli 2012

Kritik Al-Qusyairi Terhadap Para Sufi

Al-Qusyairi adalah seorang tokoh sufi utama dari abad kelima Hijriah. Kedudukannya demikian penting mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawwuf aliran Suni abad-abad ketiga dan keempat Hijriah, yang membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawwuf pada masa itu, baik dari segi teoretis maupun praktis.
Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazin, lahir tahun 376 H di Istawa daerah Nishapur. Dia berdarah arab dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Di sinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Al-Daqqaq seorang sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri majlis gurunya, dan dari gurunya itulah dia menempuh jalan tasawwuf. Sang guru ini menyarankan untuk pertama-tama mempelajari syari’at. Karena ituAl-Qusyairi lalu mempelajari fiqh kepada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr Al-Thusi (w 405 H), dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr ibn Faurak (w 406 H). Selain itu dia pun menjadi murid Abu Ishaq Al-Isfarayini (w 418 H), dan menelaah banyak karya-karya Al-Baqillani. Dari situlah Al-Qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlus Sunanah wal Jama’ah yang dikembangkan Al-Asy’ari dan para muridnya.Al-Qusyairi sendir adalah pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah, dan Syi’ah. Karena tindakannya itu dia mendapat serangan keras serta dipenjara sebulan lebih atas perintah Tughul Bek karena hasutan seorang mentrinya yang menganut alira Mu’tazilah Rafidhah. Bencana yang menimpa dirinya itu, yang bermula tahun 445 H diuraikannya dalam karyanay Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibn Khallikan, Al-Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu mengkompromikan syari’at dengan hakekat. Dan Al-Qusyairi meninggal tahun 465 H.
Seandainya karya Al-Qusyairi Al-Risalah Al-Qusyairiyyah dikaji secara mendalam, maka akan tanpak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalikan tasawwuf ke atas landasan Ahlus Sunnah. Sebagaimana pernyataannya: “Ketahuilah! Para tokoh aliran ini (para sufi) membina prinsip-prinsip tasawwuf atas landasan-landasan tauhid yang benar sehingga terpeliharalah doktrin mereka dari penyimpangan. Selain itu mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun Ahlus Sunnah yang tak terdangi serta tidak macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan bisa mewujudkan sifat sesuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh aliran ini, Al-Junaidi berkata: Tauhid adalah pemisah hal yang lama dari hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasaekan pada dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Dan ini seperti Abu Muhammad Al-Jariri: Barangsiapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu pengokohnya, niscaya membuat tergelincirnya kaki yang tertipu ke dalam jurang kehancuran.”
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung penolakan terhadap para sufi syatibi yang mengucapkan ungkapan-ingkapan yang penuh kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat terdahulu-Nya, dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya. Bahkan dengan konotasi lain, secara terang-terangan Al-Qusyairi mengkritik mereka: “Mereka menyatakan bahwa mereka telah babas dari perbudakan berbagai belenggu malah berhasil mencapai realitas-realitas rasa penyatuan denga Tuhan (wushul). Lebih jauh lagi, mereka tegak bersama yang Maha Benar, dimana hukum-hukum-Nya berlaku atas diri mereka, sementara mereka dalam keadaan fana. Allah pun menurut mereka tidak mencela maupun melarang apa yang mereka nyatakan ataupun lakukan. Dan kepada mereka disingkapkan rahasia-rahasia keesaan, dan setelah fana, mereka pun tetap memperoleh cahaya-cahaya ketuhanan, tempat bergantung segala sesuatu...”
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka menggunakan pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang sama bertentangan dengan mode pakaian mereka. Dia menekankan bahwa kesehatan batin, dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, lebih penting ketimbang pakaian lahiriah. Sebagaimana katanya: “Duhai saudaraku! Janganlah kau terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat. Sebab ketika hakekat realitas-realitas itu tersingkap, niscaya tampak keburukan para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian... setiap tasawwuf yang tidak dibarengi kebersihan maupun penjauhan diri dari maksiat adalah tasawwuf palsu serta memberatkan diri; dan setiap yang batin itu bertentangan dengan yag lahir adalah keliru serta bukannya yang batin... dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan Al-Qur’an maupun As-Sunnah adalah pengingkaran terhadap Allah (ma’rifat) yang tidak dibarengi kerendahanhatian maupun kelurusan jiwa adalah palsu serta bukannya pengenalan terhadap Allah.”
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang cukup pedas, Al-Qusyairi mengemukakan suatu penyimpangan lain dari para sufi abad kelima Hijriah, katanya: “Kebanyakan para sufi yang menempuh jalan kebenaran dari kelompok tersebut telah tiada. Dalam zaman kita, tiada yang tinggal dari kelompok tersebut kecuali bekas-bekas mereka, seperti dikatakan:
Kemah itu hanya serupa kemah mereka
Kaum wanitanya itu, kulihat, bukannya mereka
“Zaman telah berakhir bagi jalan ini. Tidak, bahkan jalan ini telah menyimpang dari hakekat realitas. Telah lewat zaman para guru yang menjadi panutan mereka.tidak banyak lagi kini generasi muda yang mau mengikuti perjalanan dan kehidupan mereka. Sirnalah kini kerendahatian dan punahlah sudah kesederhanaan hidup. Ketamakan kini semakin menggelora dan ikatannya semakin membelit. Hilanglah kehormatan agama dari dalam kalbu. Betapa sedikit kini orang-orang yang berpegang teguh pada agama. Banyak orang kini yang menolak membedakan masalah halal dengan haram. Mereka kini cenderung meninggalkan sikap menghormati orang lain dan membuang jauh rasa malu. Bahkan mereka menganggap enteng pelaksanaan ibadah, melecehkan puasa dan shalat, dan terbuai dalam medan kemabukan. Dan mereka jatuh dalam pelukan nafsu syahwat dan tidak peduli sekalipun melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan..”
 Pendapat Al-Qusyairi ini barangkali terlalu berlebihan. Tapi apapun masalahnya, paling tidak bisa menunjukan bahwa tasawwuf pada masanya telah mulai menyimpang dari perkembanganya yang pertama, baik dari segi aqidah atau dari segi-segi moral dan tingkah-laku.
Karena itu pula Al-Qusyairi menyatakan, bahwa dia menulis risalahnya tersebut karena dorongan rasa sedihnya melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawwuf. Dia tidak bermaksud menjelek-jelekan salah seorang dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagaian penyerunya. Risalahnya itu, menurutnya hanya sekedar “pengobat keluhan” atas apa yang menimpa tasawwuf pada masanya.
Dari uraian diatas tampak jelas bahwa pengembalian arah tasawwuf menurut Al-Qusyairi harus dengan merujukkannya pada doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang dalam hal ini ialah dengan cara mengikuti para sufi Sunni abad-abad ketiga dan keempat Hijriah yang sebagaimana diriwayatkannya dalam Al-Risalah.
Dalam hal ini jelas Al-Qusyairi adalah pembuka jalan bagi kedatangan Al-Ghazali, yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu Al-Asy’ariyyah, yang nanti akan merujuk pada gagasannya itu serta menempuh jalan yang dilalui Al-Muhasibi maupun Al-Junaidi, serta melancarkan kritik keras terhadap para sufi yang terkenal dengan unkapan-ungkapan yang ganjil.   

Diterjemahkan dari: Al-Madkhol ila Ilm At-Tasawwuf Al-Islami, karya Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More