Mahavira yang mempunyai arti pahlawan
besar adalah nama yang biasa digunakan kaum Jain untuk Vardhamana, tokoh utama
pengembang agama mereka. Ia dilahirkan sekitar tahun 599 SM di India sebelah
timur laut, di daerah yang sama dengan Gautama Buddha dilahirkan walaupun segenerasi lebih dulu.
Anehnya, peri kehidupan kedua orang itu banyak persamaannya yang menarik.
Vardhamana anak terkecil seorang pemuka, dan seperti juga Gautama dibesarkan
dalam gelimang kemewahan. Di umur tiga puluh tahun, dia jauhkan kekayaan,
keluarganya (dia punya istri dan seorang anak perempuan), meninggalkan
lingkungannya yang nyaman, dan memutuskan mencari kebenaran dan kepuasan spiritual.
Vardhamana menjadi pendeta aliran
disiplin Parsvanatha yang meski kecil namun teramat keras aturannya. Selama dua
belas tahun dia melaksanakan meditasi dan renungan diri, dan selama itu
melaksanakan batasan-batasan moral serta hidup dalam kemiskin-papaan. Kerap
puasa, tak punya milik pribadi dalam bentuk apa pun, tidak sebuah cangkir atau
pun piring untuk meneguk air dan mengumpulkan sesuap nasi pemberian orang.
Meskipun mulanya ada dia berbaju, tetapi kemudian dicampakkannya dan berjalan
kian kemari dalam keadaan tubuh sepenuhnya telanjang bulat. Dia biarkan
serangga merayapi badannya dan tak diusirnya walau binatang itu menggigit
kulitnya. India itu tempatnya orang-orang suci berkeliaran kian kemari, masuk
kampung keluar kampung, melompati got dan selokan, jauh lebih banyak dari
sebangsanya di Barat. Walau penampilan dan tingkah laku Mahavira sering-sering
menimbulkan godaan orang, cercaan, hinaan dan gamparan, toh kesemuanya itu
ditelan dan diendapnya belaka tanpa balasan.
Tatkala umurnya mencapai empat puluh
dua tahun, Mahavira memutuskan bahwa dia pada akhirnya sudah mencapai kecerahan
spiritual. Dia habiskan sisa umur yang tiga puluh tahun untuk berkhotbah dan
mengajar pendalaman spiritual yang sudah diraihnya. Ketika dia tutup mata di
tahun 527 SM, dia sudah peroleh banyak pengikut.
Dalam beberapa hal doktrin Mahavira sangat
mirip dengan ajaran Buddha dan Hindu. Kaum Jain percaya bahwa apabila jasad
manusia mati, sang jiwa tidaklah ikut-ikutan mati bersama sang jasad tapi beralih
atau reinkarnasi ke badan lain (tak perlu badan manusia) Doktrin perpindahan
jiwa ini adalah salah satu dasar pemikiran faham Jainist. Jainisme juga percaya
kepada karma, doktrin tentang etika konsekuensi dari sesuatu perbuatan akan
menimpanya pula di masa depan. Untuk mengurangi bertambahnya beban dosa dari
sesuatu jiwa, yakni menyucikannya, merupakan tujuan utama dari ajaran agama
Jain. Sebagian Mahavira mengajarkan, ini bisa dicapai dengan cara menjauhi
kesenangan. Khusus buat pendeta-pendeta Jain, dianjurkan melaksanakan hidup
dengan kesederhanaan yang ketat. Adalah suatu kemuliaan apabila seseorang
membiarkan dirinya mati kering-keranting kelaparan!
Aspek ,agama Jain yang sangat penting
adalah tekanannya pada doktrin ahimsa atau tanpa kekerasan. Jain menegaskan
bahwa ahimsa termasuk sikap tanpa kekerasan terhadap binatang dan manusia.
Akibat dari kepercayaan ini, mereka "vegetarian" alias cuma makan
tetumbuhan, termasuk rumput dan alang-alang, kalau doyan. Tapi, penganut yang
taat kepada agama Jain ini berbuat lebih jauh lagi dari itu: nyamuk yang
menggigit kulit dibiarkan semau-maunya; biar lapar, tidak bakalan mau makan di
tempat gelap. Bukankah kalau gelap jangan-jangan bisa kemasukkan lalat atau
tertelan kalajengking? Makanya, kalau penganut Jain mau menyapu dia punya jalan
atau pekarangan, dia akan rogoh kantong upah orang lain melakukannya, takut
siapa tahu nginjak serangga atau cacing.
Dari kepercayaan-kepercayaan macam
begini, jelaslah penganut Jain sukar diharapkan tergerak untuk mencangkul
tanah. Di tanah banyak semut, gasir, jangkrik dan rupa-rupa binatang kecil,
bukan? Bisa mati kegencet mereka itu! Maka nyatanya memang orang-orang Jain
tidak bergerak di bidang pertanian. Dan banyak lagi kerja tangan yang dilarang
oleh agama mereka. Walhasil, agama Jain bisa dijadikan contoh seberapa jauh
sesuatu kepercayaan bisa mempengaruhi tingkah laku dan cara hidup masyarakat.
Meskipun mereka hidup di atas tanah areal agrikultur, mayoritas penganut Jain
berabad lamanya berkecimpung di bidang perdagangan. Sikap agama Jain mendorong
mereka bekerja rajin. Akibatnya, tidaklah mengherankan apabila orang-orang Jain
tergolong berada dan partisipasi mereka dalam kegiatan kesenian dan intelektuil
India cukup banyak dan menonjol.
Asalnya, agama Jain tak punya sistem
kasta. Tapi, berkat interaksi yang terus-menerus dengan agama Hindu, sistem ini
berkembang juga di dalam Jainisme, meskipun tidaklah seekstrim Hindu. Hal
serupa, meskipun Mahavira sendiri tidak berbicara perihal Tuhan atau dewa-dewa,
lewat kontak itu semacam penyembahan terhadap dewata muncul juga. Karena tak
ada bahan-bahan tulisan oleh Mahavira, perembesan Hinduisme ke Jainisme
tidaklah dapat dihindari. Dari jurusan lain ada pula pengaruh yang masuk, yaitu
Jainisme yang mempengaruhi Hinduisme. Misalnya, penolakan Jainisme terhadap
pembunuhan binatang dan makan daging tampaknya mempengaruhi kalangan agama Hindu.
Lebih jauh lagi, doktrin Jain tentang "tanpa kekerasan" telah menjadi
pengaruh yang berkelanjutan dalam pikiran orang India, bahkan hingga ke jaman
modern. Misalnya, Gandhi teramat kuat terpengaruh oleh ajaran-ajaran filosof
Jain Shrimad Rajachandra (1867 - 1900), yang dianggapnya salah seorang gurunya
atau guru spirituilnya.
Agama Jain tak pernah punya pengikut
dalam jumlah besar. Kini seluruh jumlah mereka di India hanya sekitar
2.600.000. Ini rasanya bukanlah suatu jumlah besar dalam kaitan dengan jumlah
penduduk dunia. Tapi, bila digabung jumlah mereka dalam masa antara 2500 tahun,
tentu merupakan jumlah yang besar juga. Dalam hal menetapkan arti penting
Mahavira, orang harus memperhitungkan agama Jain, yang mungkin lebih dari lain-lain
agama, punya pengaruh yang lestari terhadap kehidupan para penganutnya.
Dikutip dari 100 Tokoh Berpengaruh
Dunia