banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Kamis, 01 November 2012

Mahavira dan Ajaran Ahimsa


Mahavira yang mempunyai arti pahlawan besar adalah nama yang biasa digunakan kaum Jain untuk Vardhamana, tokoh utama pengembang agama mereka. Ia dilahirkan sekitar tahun 599 SM di India sebelah timur laut, di daerah yang sama dengan Gautama Buddha dilahirkan walaupun segenerasi lebih dulu. Anehnya, peri kehidupan kedua orang itu banyak persamaannya yang menarik. Vardhamana anak terkecil seorang pemuka, dan seperti juga Gautama dibesarkan dalam gelimang kemewahan. Di umur tiga puluh tahun, dia jauhkan kekayaan, keluarganya (dia punya istri dan seorang anak perempuan), meninggalkan lingkungannya yang nyaman, dan memutuskan mencari kebenaran dan kepuasan spiritual.
Vardhamana menjadi pendeta aliran disiplin Parsvanatha yang meski kecil namun teramat keras aturannya. Selama dua belas tahun dia melaksanakan meditasi dan renungan diri, dan selama itu melaksanakan batasan-batasan moral serta hidup dalam kemiskin-papaan. Kerap puasa, tak punya milik pribadi dalam bentuk apa pun, tidak sebuah cangkir atau pun piring untuk meneguk air dan mengumpulkan sesuap nasi pemberian orang. Meskipun mulanya ada dia berbaju, tetapi kemudian dicampakkannya dan berjalan kian kemari dalam keadaan tubuh sepenuhnya telanjang bulat. Dia biarkan serangga merayapi badannya dan tak diusirnya walau binatang itu menggigit kulitnya. India itu tempatnya orang-orang suci berkeliaran kian kemari, masuk kampung keluar kampung, melompati got dan selokan, jauh lebih banyak dari sebangsanya di Barat. Walau penampilan dan tingkah laku Mahavira sering-sering menimbulkan godaan orang, cercaan, hinaan dan gamparan, toh kesemuanya itu ditelan dan diendapnya belaka tanpa balasan.
Tatkala umurnya mencapai empat puluh dua tahun, Mahavira memutuskan bahwa dia pada akhirnya sudah mencapai kecerahan spiritual. Dia habiskan sisa umur yang tiga puluh tahun untuk berkhotbah dan mengajar pendalaman spiritual yang sudah diraihnya. Ketika dia tutup mata di tahun 527 SM, dia sudah peroleh banyak pengikut.
Dalam beberapa hal doktrin Mahavira sangat mirip dengan ajaran Buddha dan Hindu. Kaum Jain percaya bahwa apabila jasad manusia mati, sang jiwa tidaklah ikut-ikutan mati bersama sang jasad tapi beralih atau reinkarnasi ke badan lain (tak perlu badan manusia) Doktrin perpindahan jiwa ini adalah salah satu dasar pemikiran faham Jainist. Jainisme juga percaya kepada karma, doktrin tentang etika konsekuensi dari sesuatu perbuatan akan menimpanya pula di masa depan. Untuk mengurangi bertambahnya beban dosa dari sesuatu jiwa, yakni menyucikannya, merupakan tujuan utama dari ajaran agama Jain. Sebagian Mahavira mengajarkan, ini bisa dicapai dengan cara menjauhi kesenangan. Khusus buat pendeta-pendeta Jain, dianjurkan melaksanakan hidup dengan kesederhanaan yang ketat. Adalah suatu kemuliaan apabila seseorang membiarkan dirinya mati kering-keranting kelaparan!
Aspek ,agama Jain yang sangat penting adalah tekanannya pada doktrin ahimsa atau tanpa kekerasan. Jain menegaskan bahwa ahimsa termasuk sikap tanpa kekerasan terhadap binatang dan manusia. Akibat dari kepercayaan ini, mereka "vegetarian" alias cuma makan tetumbuhan, termasuk rumput dan alang-alang, kalau doyan. Tapi, penganut yang taat kepada agama Jain ini berbuat lebih jauh lagi dari itu: nyamuk yang menggigit kulit dibiarkan semau-maunya; biar lapar, tidak bakalan mau makan di tempat gelap. Bukankah kalau gelap jangan-jangan bisa kemasukkan lalat atau tertelan kalajengking? Makanya, kalau penganut Jain mau menyapu dia punya jalan atau pekarangan, dia akan rogoh kantong upah orang lain melakukannya, takut siapa tahu nginjak serangga atau cacing.
Dari kepercayaan-kepercayaan macam begini, jelaslah penganut Jain sukar diharapkan tergerak untuk mencangkul tanah. Di tanah banyak semut, gasir, jangkrik dan rupa-rupa binatang kecil, bukan? Bisa mati kegencet mereka itu! Maka nyatanya memang orang-orang Jain tidak bergerak di bidang pertanian. Dan banyak lagi kerja tangan yang dilarang oleh agama mereka. Walhasil, agama Jain bisa dijadikan contoh seberapa jauh sesuatu kepercayaan bisa mempengaruhi tingkah laku dan cara hidup masyarakat. Meskipun mereka hidup di atas tanah areal agrikultur, mayoritas penganut Jain berabad lamanya berkecimpung di bidang perdagangan. Sikap agama Jain mendorong mereka bekerja rajin. Akibatnya, tidaklah mengherankan apabila orang-orang Jain tergolong berada dan partisipasi mereka dalam kegiatan kesenian dan intelektuil India cukup banyak dan menonjol.
Asalnya, agama Jain tak punya sistem kasta. Tapi, berkat interaksi yang terus-menerus dengan agama Hindu, sistem ini berkembang juga di dalam Jainisme, meskipun tidaklah seekstrim Hindu. Hal serupa, meskipun Mahavira sendiri tidak berbicara perihal Tuhan atau dewa-dewa, lewat kontak itu semacam penyembahan terhadap dewata muncul juga. Karena tak ada bahan-bahan tulisan oleh Mahavira, perembesan Hinduisme ke Jainisme tidaklah dapat dihindari. Dari jurusan lain ada pula pengaruh yang masuk, yaitu Jainisme yang mempengaruhi Hinduisme. Misalnya, penolakan Jainisme terhadap pembunuhan binatang dan makan daging tampaknya mempengaruhi kalangan agama Hindu. Lebih jauh lagi, doktrin Jain tentang "tanpa kekerasan" telah menjadi pengaruh yang berkelanjutan dalam pikiran orang India, bahkan hingga ke jaman modern. Misalnya, Gandhi teramat kuat terpengaruh oleh ajaran-ajaran filosof Jain Shrimad Rajachandra (1867 - 1900), yang dianggapnya salah seorang gurunya atau guru spirituilnya.
Agama Jain tak pernah punya pengikut dalam jumlah besar. Kini seluruh jumlah mereka di India hanya sekitar 2.600.000. Ini rasanya bukanlah suatu jumlah besar dalam kaitan dengan jumlah penduduk dunia. Tapi, bila digabung jumlah mereka dalam masa antara 2500 tahun, tentu merupakan jumlah yang besar juga. Dalam hal menetapkan arti penting Mahavira, orang harus memperhitungkan agama Jain, yang mungkin lebih dari lain-lain agama, punya pengaruh yang lestari terhadap kehidupan para penganutnya.

Dikutip dari 100 Tokoh Berpengaruh Dunia

Kamis, 18 Oktober 2012

The Concept of Ethics in Buddhism

In Buddhism, moral virtue is the foundation of the spiritual path, though a fixed attachment to ethical precepts and vows is seen as a hindering ‘fetter’. Virtue generates freedom from remorse, and this leads on though gladness and joy to meditative calm, insight and liberation. While this model of ethics as part of ‘path’ predominates, it is modified in some Mahayana schools, particularly in Japan. Here, Soto Zen sees morality as the making manifest of one’s innate Buddha-nature, while Jodo-shin sees it as simply expressing gratitude to Amitabha for having saved one.
A moral life is not a burdensome duty or set of ‘oughts’ but an uplifting source of happiness, in which the sacrifice of lesser pleasures facilitates the experiencing of more enriching and satisfying ones. Having no real ‘oughts’, Buddhist ethics has levels of practice suiting different levels of commitment, rather than one set of universal obligations. Most importantly, monks and nuns make undertakings ruling out actions, such as sexual intercourse, which are acceptable for layperson.[1]
The Fourth Noble Truth is that of the way leading to the cessation of Dukkha (Dukkhaniro dhagaminipatipada-ariyasacca). This is known as the ‘Middle Path’ (Majjhima Patipada), because it avoids two extremes: one extreme being the search for happiness through the pleasures of the senses, which is ‘low’, common, unprofitable and the way of the ordinary people’; the other being the search for happiness through self-mortification in different forms of asceticism, which is ‘painful, unworthy and unprofitable’. Having himself first tried these two extremes, and having found them to be useless, the Buddha discovered through personal experience the middle path ‘which gives vision and knowledge, which leads to calm, insight, enlightenment, nirvana’. This middle path is generally referred to as the Noble Eightfold Path (Ariya-Atthangika-Magga), because it is composed of eight categories or divisions :
1.      Right Understanding ( Samma ditthi )
2.      Right Thought ( Samma sankappa )
3.      Right Speech ( Samma vaca )
4.      Right Action ( Samma kammantha )
5.      Right Livelihood ( Samma ajiva )
6.      Right Effort ( Samma vayama )
7.      Right Mindfulness ( Samma sati )
8.      Right Concentration ( Samma Samadhi )
Practically the whole teaching of the Buddha, to which he devoted him self during 45 years, deals in some way or others with this path. He explained it in different words to different people, according to the stage of their development and their capacity to understand and follow him. But the essence of those many thousand discourses scattered in the Buddhist Scriptures is found in the Noble Eightfold Path.
It should not be thought that the eight categories or divisions of the path should be followed and practiced one after the other in the numerical order as given in usual list above. But they are to be developed more or less simultaneously, as far as possible according to the capacity of each individual. They are all linked together and each helps the cultivation of the others.[2]
These eight factor aim at promoting and perfecting the three essential of Buddhist training and discipline.
a)      Ethical Conduct ( Sila )
b)      Mental Discipline ( Samadhi )
c)      Wisdom ( Panna )
Ethical Conduct ( Sila ) is built on the vast conception of universal love and compassion for all living beings, on which the Buddha’s teaching is based. It is regrettable that many scholars forget this great idea of the Buddha’s teaching, and indulge in only dry philosophical and metaphysical divagations when they talk and write about Buddhism. The Buddha gave his teaching ‘for the good of the many, for the happiness of the many, out of compassion for the world’ ( bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya )
Ethical Conduct based on love and compassion, are included three factors of Noble Eightfold Path : Right Speech, Right Action and Right Livelihood.
Right Speech means abstentions (2) from telling lies, (2) from backbiting and slander and talk that may bring about hatred, enmity, disunity and disharmony among individuals or groups of people, (3) from harsh, rude, impolite, malicious and abusive language, and (4) from idle, useless and foolish babble and gossip. When one abstains from these forms of wrong and harmful speech one naturally has to speak the truth, has to use words that are friendly and benevolent, pleasant and gentle, meaningful and useful. One should not speak carelessly: speech should be at the right time and place. If one cannot say something useful, one should keep ‘noble silent’.
Right action aims at promoting moral, honorable and peaceful conduct. It admonishes us that we should abstain from destroying life, from stealing, from dishonest dealing, from illegitimate sexual intercourse, and that we should also help others to lead a peaceful and honorable life in the right way.
Right livelihood means that one should abstain from making one’s living through a profession that bring harm to others, such a trading in arms and lethal weapons, intoxicating drinks, poisons, killing animals, cheating, etc, and should live by a profession which is honorable, blameless and innocent of harm to others. One can clearly see here that Buddhism is strongly opposed to any kind of war, when it lay down that trade on arms and lethal weapon is an evil and unjust means of livelihood.
The three factors (Right Speech, Right Action and Right Livelihood) of the Eightfold Path constitute Ethical Conduct. It should be realized that the Buddhist ethical and moral conduct aims at promoting a happy and harmonious life both for the individual and for society. This moral conduct is considered as the indispensable foundation for all higher spiritual attainment. No spiritual development is possible without this moral basis.[3]
Buddhist ethics finds its foundation not on the changing social customs but rather on the unchanging laws of nature. Buddhist ethical values are intrinsically a part of nature, and the unchanging law of cause and effect. The simple fact that Buddhist ethics are rooted in natural law makes its principles both useful and acceptable to modern world. Morality in Buddhism is essentially practical in that it is only a means leading to the final goal ultimate happiness. On the Buddhist path to Emancipation, each individual is considered responsible for his own fortunes and misfortunes. Each individual is expected to work his own deliverance by his understanding and effort. Buddhist salvation is the result of one’s own moral development and can neither be imposed nor granted to one by some external agent.[4]
The theory of Buddhist ethics find its practical expression in the various precept. These precept or disciplines are nothing but general guides to show the direction in which the Buddhist ought to turn to on his way to final salvation. Although many of these precept are expressed in a negative form, we most not thing that Buddhist morality, consists of abstaining from evil without the complement of doing good.[5]


[1] Peter Harvey, An Introduction To Buddhism: Teaching, History and Practices, (Melbourne: Cambridge University Press, 1990) p. 196
[2] Walpola Rahula, What The Buddha Taught, (New York: Grove Press, 1959) p. 45-46
[3] Ibid. p. 47
[4] K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Kuala Lumpur: Buddhist Missionary Society, 1987) p.146
[5] Ibid p.147

Islam di Singapura

Penyebaran agama Islam yang dimulai dari jazirah Arab hingga menyentuh Eropa, Amerika dan Asia, tidak lepas dari peranan para saudagar yang melakukan perjalanan untuk berdagang. Selain itu, mereka melakukan da’wah untuk menyebarkan agama Islam dengan cara yang damai dan tidak bertentangan dengan kebudayaan masing-masing daerah yang dituju tersebut. Karena ajarannya yang sangat universal, Islam mudah di terima oleh hampir semua lapisan masyarakat. Salah satu contoh yaitu terjadinya akulturasi antara Islam dan kebudayaan Jawa yang ada di Indonesia. Islam datang ke daerah Asia Tenggara di bawa oleh para pedagang Arab sekitar abad 7 Masehi. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Islam datang ke daerah Asia Tenggara di bawa oleh orang-orang Gujarat India yaitu pada abad ke 17 Masehi.  Pendapat lain mengatakan kedatangan Islam dibawa oleh orang-orang Persia pada abad ke 13 Masehi. Banyak bukti-bukti yang menunjukan persamaan antara keduanya, yaitu adanya tarekat-tarekat, peringatan 10 Syuro dan cara membaca Al-Qur’an.
Perkembangan Islam di Asia Tenggara khususnya di negara Indonesia dan Malaysia, menghasilkan dampak positif bagi Islam yang ada di negara-negara sekitarnya. Thailand, Singapura, Philipina sampai ke negara Myanmar pun mendapat pengaruh dari keduanya. Akan tetapi negara-negara yang mendapat pengaruh tersebut masih menjadi kelas dua atau minoritas. Singapura sebagai salah satu negara yang umat Muslimnya masih sedikit, mulai menunjukan semangat keislamanya. Makalah ini sedikit banyak akan membicarakan perkembangan Islam di negara Singapura dan semangat etnis Melayu yang didominasi oleh umat Muslim dalam perjuangannya membentuk sebuah komunitas di negara tersebut.

Singapura dan Masuknya Islam
Singapura merupaka sebuah negara terkecil di kawasan Asia Tenggara. Didirikan dan dibangun pertama kalinya oleh Sir Stamford Raffles pada tahun 1819 untuk dijadikan benteng dan pelabuhan militer dibawah kekuasaan Inggris.[1] Pada Perang Dunia II sekitar tahun 1942, Jepang menguasai daerah Asia Timur termasuk Singapura. Tahun 1959 Singapura menjadi Negara merdeka dan bergabung dengan Federasi Malaysia pada tahun 1963. Akan tetapi berselang dua tahun kemudian yaitu 1965, Singapura lepas dari Malaysia.[2]
Kedatangan Islam ke Singapura tidak lepas dari datangnya Islam ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia. Banyak beberapa ahli dan peneliti sejarah mengatakan bahwa Islam datang ke daerah Asia Tenggara pada abad ke 7 dengan bukti adanya cerita dari Cina yang berasal dari Zaman T’-Ang. Adapula yang mengatakan pada abad ke 13 dengan bukti yaitu akibat adanya keruntuhan dinasti Abbasiyah oleh bangsa Mogul pada tahun 1258, berita Marco Polo tahun 1292 dan Ibnu Battutah abad ke 14 serta nisan-nisan kubur Sultan Malik as Saleh tahun 1292.[3] Adapun Islam datang ke Singapura, Sharon Siddique seorang peneliti perkembangan Islam Singapura mengatakan bahwa kaum Muslim datang ke Singapura sebagai pendatang. Akan tetapi warisan budaya dan agama mereka sama dengan wilayah Melayu lainnya. Maka mereka dianggap lebih sebagai pribumi atau setidaknya migran asli atau paling awal.[4] 
Pada masa kekuasaan Inggris di Singapura, banyak kaum Muslim yang melaksanakan ibadah haji. Robert W. Hefner dalam bukunya yang bejudul Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, mengatakan bahwa Setelah tahun 1820, jamaah haji dari Singapura dan Malaya sedang mengalami kebangkitan. Jumlah jemaah haji melonjak setelah pembukaan Terusan Suez pada bulan November 1869. Pada tahun 1885, meskipun beberapa Muslim Philiphina dan Kamboja belum mengadakan perjalanan ibadah haji, peziarah dari Singapura, Malaya, Hindia Belanda yaitu Indonesia sekarang dan Thailand Selatan melaksanakan haji dalam jumlah yang besar.[5]

Minoritas Umat Islam Singapura
Populasi etnis Muslim yang didominasi orang Melayu di Singapura sangatlah sedikit dibandingkan dengan etnis Cina. Ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya masayarakat Islam minoritas, Pertama, mereka terbentuk akibat migrasi ke negara-negara dan kawasan yang telah memiliki pemerintahan dan sistem nasional yang kokoh. Kedua, terjadi karena perubahan dan perkembangan geografis dan politik.[6] Pada tahun 1890 migrasi penduduk Cina mencapai 95.400 jiwa pertahun dan meningkat menjadi 190.000 jiwa pada tahun 1895. Adapun dalam catatan statistik populasi Singapura pada tahun 1970, 1980 dan 1990 presentase komponen etnis berkisar 77% Cina, 14% Melayu, 7% india, dan 2% etnis lain.[7]
Pada sensus yang diadakan tahun 1980 menunjukan jumlah penduduk Singapura 2.414.000 orang, diantaranya 400.000 orang adalah Muslim. Pada 1982, jumlah Muslim dapat diperkirakan 420.000 atau 17% penduduk. Dalam sensus 1980, dari 400.000 Muslim, sekitar 360.000 adalah Melayu, 34.000 India, 6.000 China dan dari lain-lain asal.[8]
Umat Muslim di Singapura kurang maju dibandingkan dengan golongan penduduk lain di semua bidang. Di Bidang Pendidikan, jumlah lulusan universitas hanya 2,5% dari jumlah seluruh lulusan. Persentase Muslim dalam profesi dan jabatan tinggi juga sangat rendah dari rata-rata nasional mereka. Namun, pemerintah biasanya mempunyai satu utusan seorang Muslim dalam kabinet. Sebagian Muslim mempunyai kedudukan tinggi di bidang hukum dan universitas. Adapun secara ekonomi, Muslim Singapura berada di antara yang paling miskin. Pemuda-pemuda Muslim menghadapi banyak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Hanya sebagian kecil diantara mereka yag dipanggil untuk dinas militer nasional.[9]

Gerakan Keislaman di Singapura
Munculnya semangat keislaman di singapura, tidak luput dari adanya gerakan yang didirikan oleh umat Muslim dan peranan pemerintah baru Singapura. Hal itu ditunjukan dengan membentuk Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) dengan berdasarkan akta Pentadbiran Hukum Islam (The Administration of Muslim Law Act) pada tanggal 17 Agustus 1966 oleh parlemen Singapura.[10] MUIS merupakan badan resmi Islam di Singapura yang mengurus masalah keagamaan dan masyarakat Islam.
Sebelum MUIS didirikan, pada tahun 1932 umat Muslim Singapura telah mendirikan sebuah organisasi yaitu Masyarakat Dakwah Muslim. Organisasi ini mendirikan Pusat Islam King Faisal Memorial Hall. Selain itu, organisasi ini juga mengadakan klinik pengobatan dan pusat hukum. Organisasi Muslim penting lainnya adalah Masyarakat Muslim Mualaf (Dar-ul-Arqam) yang merupakan organisasi dakwah utama di Singapura dan mengurus serta membawa Islam lebih dari 8.000 orang sejak tahun 1982.[11] Pada Oktober 1991 didirikan sebuah lembaga yang dikembangkan secara swadaya oleh masyaakat, yaitu Association of Muslim Profesional (AMP) yang mencita-citakan munculnya modal masyarakat minoritas Muslim dalam pengembangan diri secara dinamis dan penuh percaya diri dalam konteks berwarga Negara Singapura yang tetap berpegang teguh kepada warisan kultular dan agamanya.[12]
Selain lembaga dan organisasi, munculnya semangat keislaman di Singapura adalah didirikannya sekolah yang berbasiskan Islam atau biasa dikenal dengan madrasah. Sampai saat ini di Singapura terdapat 6 buah madrasah Islam di Singapura, diantaranya madrasah Al-Irsyad Al-Islamiah, madrasah Al-Maarif Al-Islamiah, madrasah Alsagoff Al-Islamiah, madrasah Aljunied Al-Islamiah, madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, dan madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah.[13] Selain itu di Singapura juga benar-benar memberikan kebebasan gerak literatur Islam dalam bahasa Inggris, Melayu dan Tamil yaitu bahasa Muslim India dan kebebasan pergi untuk berhaji, sekitar seribu jamaah setahuannya.[14]
Seorang guru besar The Australian National University yaitu A.C Milner berpendapat mengenai Singapura, bahwa di Negara tersebut ada indikasi-indikasi “jiwa Syariat” dikalangan Muslim Singapura.[15] Adapun Richard C. Martin dalam bukunya Enclycopedia of Islam and the Muslim World, mengatakan perbedaan dasar yang dapat ditarik antara Indonesia, Malaysia dan Singapura yaitu adanya gerakan reformis yang berusaha mentranformasikan budaya dan masyarakat dan mereka yang berusaha untuk memperkejakan proses politik untuk mendirikan sebuah Negara Islam.[16]

         Islam di Singapura yang masih merupakan etnis minoritas dengan sejarah dan perjuangannya yang panjang, mampu membangkitkan semangat keislaman mereka dengan berbagai organisasi dan gerakan-gerakan yang mereka dirikan. Jumlah jamaah haji pertahun meningkat, populasi umat bertambah, sarana dan prasarana dibangun, sekolah-sekolah Islam atau madrasah ditingkatkan dan banyak lagi yang lainnya. Semua ditujukan untuk kemajuan dan semangat umat Muslim di tengah-tengah keminoritasan dalam berwarga negara, meskipun masih kurang dalam berbagai aspek dan diplat sebagai masyarakat kelas dua. Semangat, kemauan, kegigihan dan perjuanga mereka sebagai yang minoritas patut kita contoh dan kita ambil hikmahnya.




[1] Iwan Gayo, Buku Pintar: Seri Senior, (Jakarta: Upaya Warga Negara, 1991) hlm: 534
[2] Lihat Oxford Ensiklopedi Pelajar, jilid: 8 hlm: 17 (Oxford: Grolier International INC, 2007) edisi bahasa Indonesia diterbitkan dan diedarkan oleh PT Widya Dara edisi ketujuh
[3] Sartono Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia, jilid III (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975) hlm: 110
[4] Iik Arifin Mansurnoor dan Drs. Dadi Damadi, “Minoritas Islam” dalam Ensklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) hlm:458
[5] Robert W. Hefner, Making Modern Muslim: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia, (Honolulu: University Of Hawai’I Press, 2009) hlm: 18
[6] Iik Arifin, Op.cit., hlm: 457
[7] Iik Arifin, Op.cit., hlm: 459
[8] M Ali Kettani, Minoritas Muslim: di Dunia Dewasa Ini, (Terj) Zarkowi Soejoeti, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2005) hlm: 221
[9] Ibid, hlm: 222
[10] Iik Arifin Op.cit., hlm: 464
[11] M Ali Kettani Op.cit.,  hlm:222-223
[12] Iik Arifin Mansurnoor Op.cit., hlm: 465
[13] http://akaminissa.wordpress.com/2010/02/23/muslim-di-singapura/
[14] M Ali Kettani Op.cit., hlm: 221
[15] Lihat tulisan Iik Arifin Mansurnoor dan Drs. Dadi Darmadi “Minoritas Islam” dalam Ensklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara Op.cit., hlm: 464
[16] Richard C. Martin, Encyclopedia of Islam and the Muslim World: Volume 2 M-Z, (New York: Macmillan Reference USA, 2004) hlm: 582

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More