Khazanah keilmuan Islam yang dikembangkang oleh para ilmuwan muslim, sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Matematika, astronomi, kedokteran, ilmu bumi dan lain sebagainya, merupakan ilmu-ilmu yang diadopsi oleh Barat.
Filsafat yang berasal dari Yunani yang biasa dikenal dengan tradisi falsafah, berkembang dan bersentuhan dengan tradisi-tradisi keilmuan dalam Islam. Dari sana muncul istilah Filsafat Islam. Antara filsafat (tradisi falsafah) dan tasawwuf mempunyai perbedaan yang sangat besar. Keduanya dalam hal pembahasan, berbeda pada metode dan objeknya. Apabila berbicara filsafat, berarti dalam memandang harus dengan akal dan menggunakan metode argumentasi dan logika. Akan tetapi tasawwuf dengan jalan mujahadah (pengekangan hawa nafsu), serta musyahadah ( pandangan batin).
Tasawwuf dengan ajarannya yang begitu banyak, telah memberikan pemahaman yang bermacam-macam. Konsep tentang wihdah al-wujud, wihdah as-syuhud, hulul, ittihad dan lain sebagainya, merupakan ajaran yang banyak disimpangkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak paham secara mendalam tentang konsep-konsep tersebut. Al-Qusyairi memandang hal tersebut merupakan sebuah kesesatan dan kebid’ahan dalam agama, yang semuanya telah mencemari dan mengotori keesaan kepada Allah SWT. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan salah satu konsep tentang tauhid menurut Al-Qusyairi dan menjelaskan pembagian asma serta sifat. Konsep tauhid tersebut digunakan oleh Al-Qusyairi untuk menolak paham-paham yang menyimpang dalam ajaran tasawwuf.
Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Dalam ajaran tasawwuf, banyak para tokoh sufi yang terjebak dalam paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Salah satu paham yang banyak menjerumuskan para sufi kepada penyimpangan tauhid adalah paham fana’. Al-Taftazani dalam bukunya al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami menjelaskan bahwa para sufi terbagi kepada dua kelompok dalam memahami fana’; kelompok pertama yang berpegang teguh pada syari’at dan tidak keluar dari ajaran tauhid; dan kelompok yang mengarah kepada paham, wahdah al-wujud, ittihad dan al-hulul.[1] Paham pertama mengarah kepada baqa’ yang menetapkan dualisme antara Allah dan manusia dan antara Allah dengan alam. Dalam hal ini, al-Qusyairi termasuk dalam kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak keluar dari ajaran tauhid.[2]
Menurut Al-Qusyairi fana’ adalah mental state. Beliau memberikan contoh ketika seseorang masuk ke tempat seorang raja yang berkuasa, ia tidak sadar akan dirinya dan orang yang duduk di atas tahta tersebut karena wibawanya yang tinggi. Ketika ditanya setelah keluar ia dari tempat itu, ia tidak dapat berkata apa-apa untuk membayangkan apa yang dilihatnya. Keadaan inilah yang disebut dengan fana’, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an tentang kisah para wanita pelayan kerajaan yang memotong tangannya sendiri tanpa disadari tatkala melihat ketampanan Nabi Yusuf. Keadaan tidak sadar ini terjadi kepada seorang makhluk ketika ia bertemu dengan orang lain sesama makhluk.[3]
Pengertian Tauhid dan Pembagiannya
Al-Jurjani menyebutkan makna tauhid dalam bukunya At-Ta’rifat, bahwa tauhid secara etimologi berarti ketetapan bahwasannya sesuatu itu satu. Adapun dalam istilah ahli hakikat, tauhid merupakan abstraksi dzat Tuhan dari sesuatu yang tergambarkan dalam pemahaman serta bayangan dalam ilusi dan pikiran.[4]
Al-Qusyari adalah seorang tokoh sufi yang benar-benar menjaga kemurnian tauhid kepada Allah SWT. Dalam konsep tasawwufnya ia selalu memposisikan Allah sebagai Yang Esa, ia menolak faham-faham yang bertentangan dengan keesaan Allah dan kemurnian dzat dan sifat-Nya. Tauhid menurutnya adalah mengesakan Allah SWT, sebagaimana ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan:
Dalam konsep tauhidnya, Al-Qusyairi mengutip pendapat Al-Junaid dengan kata-katanya: “bahwa tauhid adalah mengesakan al-Muwahhad (Allah SWT) dengan mengimplementasikan keesaan-Nya dengan segala wahdaniyah-Nya, bahwasannya Dia adalah Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakan, dengan cara menafikan lawan-lawan-Nya, sekutu-sekutu-Nya dan segala sesuatu tanpa disertai dengan tasybih, takyif dan tamsil.”[6] Ini sesuai dengan ayat berikut:
Dalam karyanya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, Al-Qusyairi membagi Tauhid kepada tiga bagian:
1. Tauhid Haqq li al-Haq (حق للحق) yaitu pengetahua-Nya bahwa diri-Nya adalah Esa dan Ia menjelaskan tentang diri-Nya bahwa Ia adalah Esa.
2. Tauhid Haqq li al-Khalq (جق للخلق) yaitu ketetapan-Nya bahwa manusia adalah mengesakan-Nya dan Ia menciptakan manusia untuk mengesakan-Nya.
3. Tauhid Khalq li al-Haq, (خلق للحق) yaitu pengetahuan hamba-Nya bahwa Ia adalah Esa dan penjelasan hamba tentang keesaan-Nya.[8]
Asma’ dan Sifat
Dalam memandang asma’ dan sifat Allah, Al-Qusyairi lebih condong ke pemikiran Al-Asy’ari. Pendapat yang dikemukakan Asy’ari tentang asma’ dan sifat, sangat berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah. Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Allah tidak melekat pada dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya. (ليس الصفات هى الذات وليس هو غيره). Adapun Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat Allah merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari dzat-Nya. (الصفات عين الذات). Al-Qusyairi membedakan nama Allah dalam tiga hal:
a. Nama dzat (اسم الذات) , yaitu nama Allah: merupakan nama untuk dzat-Nya yang tidak ada sesuatupun yag dinamakan dengan nama tersebut, yang mengandung arti ketergantungan dan bukan untuk diaktualisasikan sebagai akhlak atau perbuatan.
b. Sifat dzat (الصفات الذات) seperti Baqa’, ‘Alim, Qadir dan sebagainya. Dalam hal ini manusia tidak bisa menyandang sifat-sifat tersebut.
c. Sifat ‘Af’al (الصفات الأفعال) seperti Maha Memberi. Pada bagian ini manusia diharapkan dapat mengaktualisasikan sifat-sifat tersebut dalam perbuatan mereka sehari-hari.[9]
Inilah yang membedakan antara ahli kalam dan falasifah dalam meneliti dan mengkaji sifat-sifat Allah, dimana mereka menjadikannya sebagai ilmu, sedangkan para sufi untuk diaktualkan dalam perbuatan mereka. Selain itu, beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai indikator nisbi (الدلالة النسبية), dimana suatu ketika Allah disifati dengan satu sifat yang mempunyai satu makna mutlak atau lebih yang tidak mungkin seorang manusia menyandang atau memiliki sifat tesebut. Pada keadaan yang berlainan, manusia disifati dengan sifat tersebut akan tetapi ketika itu sifat tersebut mempunyai makna yang sesuai dengan yang hadith (baru).[10]
Dalam memahami sifat-sifat Allah, Al-Qusyairi menegaskan bahwa sifat-sifat untuk diaktualisasikan dalam perbuatan, bukan hanya diucapkan dengan lidah dan menjadi bahan diskusi ataupun perdebatan yang panjang. Beliau juga dengan tegas menolak pendapat ahli bid’ah tentang sifat-sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa, “sifat-sifat Tuhan yang Qadim tidak dapat melekat pada dzat yang hadith, dan sifat yang hadith tidak mungkin dapat melekat pada dzat yang Qadim. Barangsiapa yang meyakini sebaliknya dari ungkapan diatas, maka ia bukan saja telah keluar dari agama yang benar, bahkan lebih sesat dari agama Masihi yang mengatakan sifat kalam Tuhan yang Qadim bersatu kedalam dzat Isa yang hadith. Bid’ah ini menjadi keyakinan kaum Hululiyah. Mereka meyakini bahwa dzat Tuhan dapat bersatu dalam diri seseorang yang hadith.[11]
Sebuah Kesimpulan
Konsep tauhid yang ditawarkan oleh Al-Qusyairi sangat membantu untuk menolak paham-paham yang menyimpang. Konsep tersebut yang dikemukakan beliau dengan jelas dapat ditemui ketika kita meneliti pendapat-pendapatnya mengenai mahabbah, ma’rifah, syauq, ikhlas, ‘ubudiyyah, dan sebagainya. Konsep-konsep ini juga merupakan konsep-konsep tasawwuf Al-Qusyairi. Puncak tauhid seseorang menurutnya adalah keikhlasan, dan keikhlasan adalah mengesakan Yang Haqq yaitu mengesakan ketaatan kepada Yang Haqq secara sengaja, dengan cara melaksakan segala perintah-Nya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan sesuatu yang lain, seperti untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, mencari pujian atau segala sesuatu yang dapat diartikan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.
[1] Al-Taftazani, Al-Madkhal ila Tasawwuf (Kairo: Dar el-Tsaqofah) h. 112
[2] Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah A-Qusyairiyah, (Ed) Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar el-Sya’b, 1989) h. 55
[3] Amal Fathullah Zarkasyi, Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) h. 55
[4] Ali Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta’rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan) h. 73
[5] QS: Al-Baqarah 163
[6]Al-Qusyairi op.cit, h. 581
[7] QS: As-Syuro 11
[8] Al-Qusyairi, op.cit, h. 493
[9] Ibrahim Basuni, Imam al-Qusyairi: Siratuhu, Athsaruhu, Madzhabuhu fi Tasawwuf, (Kairo: Majma’ al-Buhust al-Islamiyah, 1972) h. 69
[10] Zarkasyi, op.cit, h. 54
[11]Al-Qusyairi, op.cit, h. 581
0 komentar:
Posting Komentar