banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Kamis, 14 Juli 2011

Al-Qusyairi dan Konsep Tentang Tauhid


Khazanah keilmuan Islam yang dikembangkang oleh para ilmuwan muslim, sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Matematika, astronomi, kedokteran, ilmu bumi dan lain sebagainya, merupakan ilmu-ilmu yang diadopsi oleh Barat.
Filsafat yang berasal dari Yunani yang biasa dikenal dengan tradisi falsafah, berkembang dan bersentuhan dengan tradisi-tradisi keilmuan dalam Islam. Dari sana muncul istilah Filsafat Islam. Antara filsafat (tradisi falsafah) dan tasawwuf mempunyai perbedaan yang sangat besar. Keduanya dalam hal pembahasan, berbeda pada metode dan objeknya. Apabila berbicara filsafat, berarti dalam memandang harus dengan akal dan menggunakan metode argumentasi dan logika. Akan tetapi tasawwuf dengan jalan mujahadah (pengekangan hawa nafsu), serta musyahadah ( pandangan batin).
            Tasawwuf dengan ajarannya yang begitu banyak, telah memberikan pemahaman yang bermacam-macam. Konsep tentang wihdah al-wujud, wihdah as-syuhud, hulul, ittihad dan lain sebagainya, merupakan ajaran yang banyak disimpangkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak paham secara mendalam tentang konsep-konsep tersebut. Al-Qusyairi memandang hal tersebut merupakan sebuah kesesatan dan kebid’ahan dalam agama, yang semuanya telah mencemari dan mengotori keesaan kepada Allah SWT. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan salah satu konsep tentang tauhid menurut Al-Qusyairi dan menjelaskan pembagian asma serta sifat. Konsep tauhid tersebut digunakan oleh Al-Qusyairi untuk menolak paham-paham yang menyimpang dalam ajaran tasawwuf.

Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Dalam ajaran tasawwuf, banyak para tokoh sufi yang terjebak dalam paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Salah satu paham yang banyak menjerumuskan para sufi kepada penyimpangan tauhid adalah paham fana’. Al-Taftazani dalam bukunya al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami menjelaskan bahwa para sufi terbagi kepada dua kelompok dalam memahami fana’; kelompok pertama yang berpegang  teguh pada syari’at dan tidak keluar dari ajaran tauhid; dan kelompok yang mengarah kepada paham, wahdah al-wujud, ittihad dan al-hulul.[1] Paham pertama mengarah kepada baqa’ yang menetapkan dualisme antara Allah dan manusia dan antara Allah dengan alam. Dalam hal ini, al-Qusyairi termasuk dalam kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak keluar dari ajaran tauhid.[2]
Menurut Al-Qusyairi fana’ adalah mental state. Beliau memberikan contoh ketika seseorang masuk ke tempat seorang raja yang berkuasa, ia tidak sadar akan dirinya dan orang yang duduk di atas tahta tersebut karena wibawanya yang tinggi. Ketika ditanya setelah keluar ia dari tempat itu, ia tidak dapat berkata apa-apa untuk membayangkan apa yang dilihatnya. Keadaan inilah yang disebut dengan fana’, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an tentang kisah para wanita pelayan kerajaan yang memotong tangannya sendiri tanpa disadari tatkala melihat ketampanan Nabi Yusuf. Keadaan tidak sadar ini terjadi kepada seorang makhluk ketika ia bertemu dengan orang lain sesama makhluk.[3]

Pengertian Tauhid dan Pembagiannya
Al-Jurjani menyebutkan makna tauhid dalam bukunya At-Ta’rifat, bahwa tauhid secara etimologi berarti ketetapan bahwasannya sesuatu itu satu. Adapun dalam istilah ahli hakikat, tauhid merupakan abstraksi dzat Tuhan dari sesuatu yang tergambarkan dalam pemahaman serta bayangan dalam ilusi dan pikiran.[4]
Al-Qusyari adalah seorang tokoh sufi yang benar-benar menjaga kemurnian tauhid kepada Allah SWT. Dalam konsep tasawwufnya ia selalu memposisikan Allah sebagai Yang Esa, ia menolak faham-faham yang bertentangan dengan keesaan Allah dan kemurnian dzat dan sifat-Nya. Tauhid menurutnya adalah mengesakan Allah SWT, sebagaimana ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan:
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ [5]
Dalam konsep tauhidnya, Al-Qusyairi mengutip pendapat Al-Junaid dengan kata-katanya: “bahwa tauhid adalah mengesakan al-Muwahhad (Allah SWT) dengan mengimplementasikan keesaan-Nya dengan segala wahdaniyah-Nya, bahwasannya Dia adalah Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakan, dengan cara menafikan lawan-lawan-Nya, sekutu-sekutu-Nya dan segala sesuatu tanpa disertai dengan tasybih, takyif dan tamsil.”[6] Ini sesuai dengan ayat berikut:
ã}§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# çŽÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ [7]
Dalam karyanya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, Al-Qusyairi membagi Tauhid kepada tiga bagian:
1.      Tauhid Haqq li al-Haq (حق للحق) yaitu pengetahua-Nya bahwa diri-Nya adalah Esa dan Ia menjelaskan tentang diri-Nya bahwa Ia adalah Esa.
2.       Tauhid Haqq li al-Khalq (جق للخلق) yaitu ketetapan-Nya bahwa manusia adalah mengesakan-Nya dan Ia menciptakan manusia untuk mengesakan-Nya.
3.      Tauhid Khalq li al-Haq, (خلق للحق) yaitu pengetahuan hamba-Nya bahwa Ia adalah Esa dan penjelasan hamba tentang keesaan-Nya.[8]
Asma’ dan Sifat
            Dalam memandang asma’ dan sifat Allah, Al-Qusyairi lebih condong ke pemikiran Al-Asy’ari. Pendapat yang dikemukakan Asy’ari tentang asma’ dan sifat, sangat berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah. Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Allah tidak melekat pada dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya. (ليس الصفات هى الذات وليس هو غيره). Adapun Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat Allah merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari dzat-Nya. (الصفات عين الذات). Al-Qusyairi membedakan nama Allah dalam tiga hal:
a.       Nama dzat (اسم الذات) , yaitu nama Allah: merupakan nama untuk dzat-Nya yang tidak ada sesuatupun yag dinamakan dengan nama tersebut, yang mengandung arti ketergantungan dan bukan untuk diaktualisasikan sebagai akhlak atau perbuatan.
b.      Sifat dzat (الصفات الذات) seperti Baqa’, ‘Alim, Qadir dan sebagainya. Dalam hal ini manusia tidak bisa menyandang sifat-sifat tersebut.
c.       Sifat ‘Af’al (الصفات الأفعال) seperti Maha Memberi. Pada bagian ini manusia diharapkan dapat mengaktualisasikan sifat-sifat tersebut dalam perbuatan mereka sehari-hari.[9]
Inilah yang membedakan antara ahli kalam dan falasifah dalam meneliti dan mengkaji sifat-sifat Allah, dimana mereka menjadikannya sebagai ilmu, sedangkan para sufi untuk diaktualkan dalam perbuatan mereka. Selain itu, beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai indikator nisbi (الدلالة النسبية), dimana suatu ketika Allah disifati dengan satu sifat yang mempunyai satu makna mutlak atau lebih yang tidak mungkin seorang manusia menyandang atau memiliki sifat tesebut. Pada keadaan yang berlainan, manusia disifati dengan sifat tersebut akan tetapi ketika itu sifat tersebut mempunyai makna yang sesuai dengan yang hadith (baru).[10]
            Dalam memahami sifat-sifat Allah, Al-Qusyairi menegaskan bahwa sifat-sifat untuk diaktualisasikan dalam perbuatan, bukan hanya diucapkan dengan lidah dan menjadi bahan diskusi ataupun perdebatan yang panjang. Beliau juga dengan tegas menolak pendapat ahli bid’ah tentang sifat-sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa, “sifat-sifat Tuhan yang Qadim tidak dapat melekat pada dzat yang hadith, dan sifat yang hadith tidak mungkin dapat melekat pada dzat yang Qadim. Barangsiapa yang meyakini sebaliknya dari ungkapan diatas, maka ia bukan saja telah keluar dari agama yang benar, bahkan lebih sesat dari agama Masihi yang mengatakan sifat kalam Tuhan yang Qadim bersatu kedalam dzat Isa yang hadith. Bid’ah ini menjadi keyakinan kaum Hululiyah. Mereka meyakini bahwa dzat Tuhan dapat bersatu dalam diri seseorang yang hadith.[11]



Sebuah Kesimpulan
            Konsep tauhid yang ditawarkan oleh Al-Qusyairi sangat membantu untuk menolak paham-paham yang menyimpang. Konsep tersebut yang dikemukakan beliau dengan jelas dapat ditemui ketika kita meneliti pendapat-pendapatnya mengenai mahabbah, ma’rifah, syauq, ikhlas, ‘ubudiyyah, dan sebagainya. Konsep-konsep ini juga merupakan konsep-konsep tasawwuf Al-Qusyairi. Puncak tauhid seseorang menurutnya adalah keikhlasan, dan keikhlasan adalah mengesakan Yang Haqq yaitu mengesakan ketaatan kepada Yang Haqq secara sengaja, dengan cara melaksakan segala perintah-Nya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan sesuatu yang lain, seperti untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, mencari pujian atau segala sesuatu yang dapat diartikan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.


[1] Al-Taftazani, Al-Madkhal ila Tasawwuf (Kairo: Dar el-Tsaqofah) h. 112
[2] Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah A-Qusyairiyah, (Ed) Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar el-Sya’b, 1989) h. 55
[3] Amal Fathullah Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) h. 55
[4] Ali Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta’rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan) h. 73
[5] QS: Al-Baqarah 163
[6]Al-Qusyairi op.cit, h. 581
[7] QS: As-Syuro 11
[8] Al-Qusyairi, op.cit, h. 493
[9] Ibrahim Basuni, Imam al-Qusyairi: Siratuhu, Athsaruhu, Madzhabuhu fi Tasawwuf, (Kairo: Majma’ al-Buhust al-Islamiyah, 1972) h. 69
[10] Zarkasyi,  op.cit, h. 54
[11]Al-Qusyairi, op.cit, h. 581

Jumat, 01 Juli 2011

Barat Dalam Memandang Agama dan Sains


Manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini, tidak bisa terlepas dari suatu sistem keyakinan atau agama. Tanpannya manusia akan kehilangan arah dan merasa kekurangan suatu kebutuhan yang bersifat rohani dan spiritual. Agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta merupakan salah satu elemen yang tidak bisa dipisahkan antara manusia dan alam sekitarnya. Dengannya manusia bisa belajar dan memahami beraneka ragam kejadian, gejala-gejala serta fenomena yang bisa dijadikan suatu ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat. Sejarah mencatat begitu banyak disiplin ilmu pengetahuan yang diciptakan ataupun dikembangkan oleh para agamawan. Para ilmuwan muslim contohnya, mereka mengembangkan berbagai banyak ilmu pengetahuan seperti astronomi, geologi, biologi, kedokteran, aljabar atau matematika serta ilmu-ilmu yang lainnya. Semuanya menunjukan bahwa agama mempengaruhi pola fikir dan cara pandang kepada para ilmuwan tersebut dalam menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan atau sains.
Sains atau ilmu pengetahuan selalu menjadi tolak ukur berkembang atau terpuruknya suatu peradaban. Yunani dengan kemajuan ilmu pengetahuannya serta peran para filosofnya seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan yang lainnya, menunjukan sebuah bukti bahwa peradaban Yunani pada masa itu sangat berkembang. Peradaban Mesir Kuno, Messopotamia, Cina dan lain-lain, juga mengalami kemajuan karena dilihat dari ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan. Selain peradaban-peradaban tersebut, Islam yang begitu maju dengan peradabannya tidak bisa terlepas dari khazanah serta tradisi keilmuan Islam seperti Fiqh, Kalam, Tasawwuf dan Falasifah. Peradaban Barat Modern yang berkembang sampai saat ini merupakan sebuah hasil dari usaha mereka dalam menerjemahkan berbagai karya-karya yang dikembangkan ilmuwan muslim di bidang sains. Sebelum peradaban Barat Modern muncul, mereka pernah merasakan suatu zaman yang mereka sebut dengan Zaman Kegelapan, dimana agama (Kristen) ketika itu sangat mendominasi berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang sains atau ilmu pengetahuan. Sains yang bertentangan dengan doktrin ataupun ajaran Gereja ketika itu, akan ditolak dan ilmwuan yang bersangkutan akan dihukum sampai mati. Karena trauma inilah bangsa Barat memandang agama dan sains tidak bisa disatukan.


Barat Modern dan Agama
            Titik awal kemajuan peradaban Barat ditandai oleh munculnya suatu periode yang biasa disebut dengan Renaissance atau era pencerahan, Revolusi Perancis serta industri besar-besaran yang berada di Inggris. Pada masa pencerahan yang terjadi di Eropa, banyak para ilmuwan serta filosof yang bermunculan. Isaac Newton, James Watt, Voltaire dan lain-lain merupakan para ilmuawan yang sangat berpengaruh pada terjadinya era pencerahan, industri Inggris serta revolusi Perancis. Selain para ilmuawan, para filosof dengan ideologinya masing-masing seperti Rene Descartes, Leibniz, John Locke, Hume, hingga Immanuel Kant memberikan pengaruh kepada terjadinya peradaban Barat Modern. Peradaban mereka yang berkembang pada saat ini dipengaruhi cara pandang yang didasari oleh ideologi serta pemikiran-pemikiran mereka diantaranya Rasionalisme, Empirisme, Sekularisme, dan paham serta pandangan yang lainnya.[1] Karena pengaruh paham-paham tersebut maka Barat memandang agama atau sistem kepercayaan sebagai sesuatu yang irasional dan tidak ilmiah.
            Ada banyak bentuk keraguan terhadap agama yang didasari oleh ideologi, paham serta pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa itu. Empirisme yang ditawarkan oleh David Hume meskipun sebelumnya telah diliris oleh John Locke dan George Berkeley, memandang suatu melalui pengalaman atau pengamatan. Melalui empirismenya, ia meragukan agama dalam hal eksistensi Tuhan. Menurut Hume, ketika seseorang percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini, dia akan berhadapan dengan dilema. Manusia berfikir tentang Tuhan menurut pengalamannya masing-masing, sedangkan itu semuanya hanya merupakan setumpuk dan koleksi dan emosi saja.[2] Sikap skeptis terhadap agama ia tujukan untuk mengkritik hukum kausalitas. Para filosof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan adalah sebab alam. Pengamatan atau pengalaman menunjukan bahwa di dunia ini terdapat kejahatan dan keburukan  yang menandakan bahwa Tuhan tidak sempurna.  Hume menyarankan bahwa sikap skeptis yang tepat terhadap agama adalah sikap skeptisme sehat, karena dia berpendapat bahwa agama adalah bersumber kepada takhayul. Maka sikapnya adalah membersihkan takhayul-takhayul itu.[3] Jadi sikap skeptis Hume bisa dikatakan lebih condong pada agnotisme, yaitu anggapan bahwa seseorang tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.
            Positivisme yang dibawakan oleh August Comte merupakan salah satu dari bentuk keraguan terhadap agama disamping empirisme Hume. Positivisme memandang suatu agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitif. Menurutnya, sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Pada tahap teologis, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh atau Tuhan, sedangkan pada tahap metafisik manusia memandang realitas didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik seperti substansi, form, sebab dan lain-lain. Pada akhirnya manusia pada zaman sekarang telah mencapai puncak perkembangan pemikiran yaitu tahap positif.[4] Sesuatu dianggap benar oleh positivisme apabila sebuah pernyataan sesuai dengan fakta, dan pada umunya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan yang faktual pada suatu landasan pencerapan atau sensasi.[5] Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur dan yang bisa dibuktikan kebenaranya. Karena agama ataupun Tuhan tidak bisa dilihat, diukur maupun dibuktikan , maka agama tidak mempunyai arti dan manfaat.[6]
Selain empirisme dan positivisme yang diusung oleh dua filosof besar David Hume dan August Comte, banyak paham ideologi serta pemikiran-pemikiran yang ditawarkan para filosof terhadap agama yang mencerminkan peradaban Barat. Ludwig Andreas Feuerbach yang sepaham dengan Comte memiliki pandangan yang lebih positif tentang manusia, ia ingin mencampakan agama dalam hal ini Tuhan yang telah menyebabkan menyebarnya rasa putus asa di masa silam.[7] Karl Heinrich Mark tokoh Materialisme dan pencetus Komunisme, memandang agama sebagai desahan makhluk yang tertekan dan candu masyarakat. Selain itu, Mark menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan atau dewa–dewa adalah lambang kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap yang memalukan yang harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan.[8] Dia sendiri mengaku sebagai seorang ateis yang radikal dengan mengatakan “saya membenci segala Tuhan”.[9] Tokoh yang lebih ekstim dalam memandang Tuhan selain Mark adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche. Keyakinan yang mendasari Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati dan segala dewata sudah mati, hanya manusia ataslah yang masih hidup.[10]

Konflik Antara Sains dan Agama
            Sains yang berkembang di Barat yang didasari oleh ideologi serta paham-pahamnya, sangat berpengaruh kepada kemajuan teknologi serta industri dihampir seluruh dunia. Alat komunikasi, transportasi dan lain-lain adalah bukti nyata kemajuan sains dan teknologi Barat. Dibalik itu semua, Barat maju dalam segi sains serta teknologi karena mereka sedikit banyak telah  meninggalkan ajaran agama. Konflik yang terjadi antara sains dan agama mulai muncul kepermukaan pada abad ke 16. Edward A. White mengatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains dan agama ketika itu pada dasarnya merupakan suatu konflik yang sangat fundamental, karena agama dipertahankan oleh kekuasaan Gereja serta institusinya.[11] Serangan sains pada dogma dan ajaran-ajaran yang diterima di seluruh dunia Kristen awal abad 16 pada umumnya terjadi dari luar kedalam, dimulai dengan masalah surga, berlanjut pada sejarah geologis bumi, kemudian pada asal-usul bentuk kehidupan, diikuti pada tubuh manusia dan berakhir pada pikiran manusia.[12] Barat Modern dengan kemajuan sains dan teknologinya melahirkan semangat autonomi dan independensi baru yang mendorong untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan. Dengan demikian, manusia modern seperti yang dikatakan Marcuse adalah manusia satu dimensi, sebab semua aspek kehidupannya hanya terarah ke satu tujuan saja yakni menjaga kelangsungan sistem teknologi sebagai penguasaan total atas berbagai bidang kehidupan lain, tempat ia mengekspresikan dirinya.[13]
            Manusia Barat modern masih menghadapi suatu problem yang bisa menyebabkan konflik yang tidak ada akhirnya antara agama dan sains. Ilmu pengetahuan atau sains yang berkembang menekankan pembahasannaya pada alam fisik, sedangkan agama menekankan pembahasannya pada hal yang metafisik. Apabila ilmu mempunyai konsep yang pasti tentang alam fisik, agama pun mempunyai doktrin-doktrin yang pasti tentang alam metafisik. Mukjizat dan doa adalah ajaran agama yang tidak bisa dibantahkan lagi, seperti contoh kasus Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Menurut hukum alam api harus membakar tetapi kejadian yang dialami Ibrahim tidak. Dari sini kita bisa melihat bahwa dua konsep tersebut bertentangan satu samalain. Problemnya, apabila agama yang lebih benar maka teori ilmu tersingkir, sedangkan sebaliknya maka agama akan tersingkir.[14]
           
Islam Dan Perkembangan Sains
            Barat yang maju dengan peradabannya sangat bergantung kepada perkembangan sains atau ilmu pengetahuan. Sebelum peradaban Barat berkembang, Islam dengan ilmu serta para ilmuawannya lebih dulu berkembang. Dalam Islam, Ilmu dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad merupakan suatu perintah untuk membaca. Banyak ayat-ayat yang menerangkan keutamaan ilmu dalam Al-qur’an. Dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11, Allah SWT berfirman yang artinya “Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Ini membuktikan bahwa agama dan ilmu pengetahuan atau sains tidak ada konflik serta pertentangan di dalam Islam. Ilmuwan muslim sangat berbeda dengan para ilmuawan Barat yang serta merta menolak agama serta doktrin-doktrinya. Dalam mengembangkan sains, Landasan yang menjadi pegangan seorang ilmuwan muslim adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, kesadaran agama yaitu tauhid adalah sumber dari semangat ilmiah dalam semua aspek ilmu  pengetahuan.[15]
            Banyak dari karya-karya ilmuawan muslim diberbagai bidang sains yang diambil maupun diadopsi oleh bangsa Barat Modern. Kosmologi, geografi, sejarah alam, fisika, matematika, astronomi, ilmu medis dan yang lainnya menunjukan peradaban islam dengan khazanah keilmuannya mampu mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan tanpa meniggalkan ataupun memisahkan antara agama dan sains. Untuk memahami sains yang terdapat dalam Islam sampai ke dasarnya, seseorang membutuhkan pengertian tentang beberapa prinsip Islam itu sendiri, meskipun pemikiran seperti ini tidak bisa dinyatakan dalam istilah modern.[16] Beberapa tokoh universal sains dalam Islam yang banyak dikenal oleh ilmuwan Barat dan karya-karyanya yang sangat berpengaruh diantaranya ialah, Jabir ibn Hayyan dengan nama Latinnya Geber, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Latin: Alkindus), Hunain ibn Ishaq (Joannitius), Tsabit ibn Qurrah, Muhammad ibn Musa al-Khwarazmi (di Eropa sering disebut  Khwarazm), Muhammad ibn Zakariya al-Razi (Rhazes), Abu Nasr al-Farabi (Alpharabius), Abu’l-Hasan al-Ms’udi, Abu ‘ali al-Husain ibn Sina (Avicenna), Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitsam (Alhazaen), Abu Raihan al-Biruni, Abu’l-Qasim Maslamah al-Majrithi, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (Algazel), Abu’l-Fath ‘Umar ibn Ibrahim al-Khayyami, Abu’l-Walid Muhammad ibn Rusyd (Averroes), Nashiruddin al-Thusi, Quthbuddin al-Syirazi, ‘Abdul Rahman Abu Zaid ibn Khaldun, Bahauddin al-‘Amili.[17] Dengan demikian, penerapan serta aplikasi sains dalam peradaban Islam harus dipadu oleh susunan nilai dari berbagai tindakan dan tujuan manusia menurut ajaran Islam.[18]  
           
Suatu Kesimpulan
            Peradaban Barat Modern berkembang dengan sains dan teknologinya tidak lepas dari pemikiran, paham-paham serta ideologi yang mereka rancang. Cara pandang yang mereka tawarkan didasari oleh rasionalisme, empirisme, positivisme dan aliran-aliran yang lain. Agama sebagai petunjuk bagi umat manusia di dunia ini, telah ditinggalkan oleh manusia Barat Modern dalam mengembagkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka memandang agama sebagai sesuatu yang kurang masuk akal karena ilmu pengetahuan atau sains tidak bisa sejalan dengan ajaran sarta doktrin-doktrin dalam agama. Konsep ataupun aliran seperti naturalisme, humanisme dan eksistensialisme mereka suguhkan untuk membentuk sebuah akar keraguan dalam agama. Dari semuanya itu, maka bangsa Barat Modern lebih menitik beratkan semua aspek kehidupannya pada perkembangan sains dan teknologi dan secara tidak langsung telah meniggalkan agama.
            Berbeda dengan Islam yang merupakan agama sekaligus peradaban. Islam meletakan ilmu pengetahuan yang didasari dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alat untuk memahami berbagai aspek kehidupan. Khazanah keilmuan Islam yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim mampu memadukan antara ajaran-ajaran serta doktrin agama kedalam berbagai bidang disiplin ilmu. Sejarah mencatat begitu banyak karya-karya ilmuawan muslim yang diambil dan dikembangkan di dunia Barat, meskipun tidak sedikit dari hasil karya tersebut banyak diubah bahkan dihilangkan oleh bangsa Barat Modern yang telah meninggalkan agama demi kemajuan sains dan teknologi.


[1] Worldview Barat Modern didasari Rasionalisme, empirisme, Sekularisme, Desakralisme, Non-Metafisis, Dhicotomy dan Pragmatisme, mengenai hal ini lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2007) hal. 10-11
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 110
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal. 91-92
[4] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 109
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) hal. 858
[6] Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 117
[7] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, (Pent) Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2007)  hal 451
[8] Daniel L. Pals, Dekonstruksi kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Pent) Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hal. 201
[9] Bakhtiar, op.cit., hal. 124 - 125
[10] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 375
[11] Edward A. White, Science and Religion in American Thought: The Impact of Naturalism, (California: Stanford University Press, 1952) hal. 4
[12] Louis Greenspan dan Stephan Anderson (ed) Bertuhan Tanpa Agama: Esai-esai Bertrand Russel, dengan judul asli Russel on Religion (Yogyakarta: Resist Book, 2009) hal. 160
[13] Simon Petrus L.Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 109
[14] Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 138
[15] Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science, (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999) hal. 11
[16] Untuk lebih jelas dalam masalah ini lihat Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, (Pent) J. Wahydi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997) hal. 2-6
[17] Lihat Seyyed Hossein Nasr, Ibid., hal. 23-40
[18] Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam Tentang Agama dan Sains, (Pent) Yuliani Liputo (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2008) hal. 65

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More