banner blog aing

Jumat, 24 Juni 2011

Antara Agama dan Kebudayaan


Manusia yang diciptakan oleh Sang Khaliq, tidak bisa dilepaskan dari suatu agama. Dari bangsa primitif hingga orang-orang modern dan dengan kemapuannya yang setiap saat selalu berkembang, manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan. Sejarah mencatat, begitu banyak kebudayaan yang muncul dimuka bumi ini. Kebudayaan Mesir Kuno, Messopotamia, Yunani, Cina, Islam dan lain-lain adalah bukti bahwa manusia mampu menciptakan suatu tatanan masyarakat yang maju pada zamannya. Selain banyaknya kebudayaan yang bermunculan dimuka  bumi, agama yang merupakan suatu petunjuk bagi manusia di alam dunia juga banyak bermunculan, seperti tiga besar agama Ibrahim yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam, kemudian di dataran Cina muncul Taoisme, Konfusianisme dan Sinto serta agama-agama yang muncul dari bangsa Arya seperti Hinduisme, Buddhisme dan Jainisme. Semuanya menjelaskan bahwa adanya bukti yang saling berkaitan antara manusia, agama dan kebudayaan.
Apabila kita melihat keduanya dalam sudut ilmu pengetahuan, maka ada dua cabang ilmu yang mengkaji masing-masing. Ilmu yang mempelajari agama tertentu biasa disebut dengan ilmu ketuhanan atau bisa disebut dengan Teologi. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan dan manusianya disebut Antropologi. Ilmu yang pertama bersifat subjektif, sedangkan yang kedua lebih bersifat objektif. Apabila keduanya disatukan, maka muncullah suatu bidang disiplin ilmu yaitu Antropolgi Agama. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para antropolog mengenai suatu  kebudayaan yang didalamnya terdapat masyarakat beragama. Menurut sebagian banyak antropolog, agama merupakan suatu hasil dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia, akan tetapi pendapat tersebut sangat bertentangan dengan doktrin yang ada dalam agama. Dalam makalah yang singkat ini, akan dibahas apakah agama merupakan hasil dari suatu kebudayaan atau  kebudayaan yang merupakan hasil dari suatu agama.

Kajian Agama Dalam Antropologi
Antropologi merupakan salah satu dari ilmu sosial yang pada mulanya berasal dari Barat. Ilmu ini mempelajari manusia dan budayanya serta bertujuan untuk memahami objek yang dikaji secara totalitas, dari masa lalu yang lebih awal dari kehidupan manusia hingga sekarang serta memahami manusia sebagai eksistensi biologis kultura.[1] Agama yang dipelajari dalam antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya dan bukan ajaran yang datang dari Tuhan. Maka yang menjadi perhatian di dalam ilmu ini adalah beragamanya manusia dan masyarakat.[2] Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji agama dalam ilmu ini adalah pendekatan ilmiah. Menurut Bustanddin Agus dalam bukunya Agama Dalam Kehidupan Manusia yang mengutip perkataan dari Hilman Hadikusuma, pendekatan atau metode ilmiah untuk menjawab persoalan dalam antropologi agama ada empat macam yaitu metode historis, metode normatif, metode deskriptif dan metode empirik. Dengan demikian, metode yang cocok untuk ini adalah dengan participant observation atau melakukan observasi langsung dengan cara berpartisipasi di dalamnya.[3]
Banyak definisi-definisi dan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli antropologi terhadap agama, diantaranya yang dikemukakan oleh orang yang berkebangsaan Inggris yaitu Edward Burnett Tylor. Ia mendefinisikan agama secara sederhana dan mengatakan bahwa agama adalah keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.[4] Ia menggambarkan agama sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berfikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia.[5] Selain Tylor yang mengemukakan pendapatnya tentang agama, James George Frazer yang merupakan seorang antropolog mengatakan bahwa agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung dari manusia atau supernatural, yang diaggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta.[6] Mircea Eliade berpendapat bahwa agama harus dipahami sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variabel independen.[7]
Dengan demikian, agama atau kehidupan beragama pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Fokus perhatian yang lebih ditonjolkan dalam kajian antropologi agama adalah beragamanya manusia serta masyarakat dan sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual, dan kepercayaan kepada yang sakral.

Agama Bagian Dari Kebudayaan?
Sebelum membahas apakah agama bagian dari kebudayaan atau sebaliknya, alangkah baiknya kita mencari tahu definisi dari budaya atau kebudayaan itu sendiri. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia dikatakan bahwa Kebudayaan atau budaya memiliki arti sebagai pikiran atau akal budi.[8] Clifford Geertz seorang ahli antropologi berkebangsaan Amerika yang pernah mengadakan suatu observasi di daerah Jawa dan Bali mengatakan, bahwa kebudayaan digambarkannya sebagai sebuah pola makna-makna atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol tersebut.[9] Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[10] Dengan demikian kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan dan hati pemiliknya, maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan benda.
Para antropolog pada umumnya menempatkan agama sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan karena dia merupakan norma dan prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dengan yang gaib. Selain itu, para ahli budaya memandang dengan sudut pandang mereka dan berpendapat bahwa agama adalah human made.[11] Pandangan yang diajukan seperti ini menolak adanya yang gaib, Tuhan, dan wahyu dalam agama karena yang digunakan mereka adalah metode ilmiah yang rasional empirik sebagai tolak ukur untuk menentukan ada atau tidak adanya sesuatu. Sebaliknya para agamawan atau ahli teolog tidak mau mengakui agama sebagai suatu kebudayaan, karena agama diturunkan Tuhan kepada manusia sebagai petunjuk bagi mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Persoalan yang muncul dari kedua pendapat yang berbeda tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah agama merupakan hasil suatu kebudayaan yang diciptakan manusia atau sebaliknya?. Hilman Hadikusuma mengungkapkan dalam bukunya Antropologi Agama, dalam kajian antroplogi ada istlah agama, agama budaya dan kebudayaan agama. Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan agama budaya adalah petunjuk hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Sedangkan kebudayaan agama yaitu hasil kreasi manusia.[12] Apabila kita kembali kepada definisi tentang kebudayaan, agama (wahyu) sebagai ajaran dari Tuhan bukanlah kebudayaan karena bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Akan tetapi, ajaran agama bukan semuanya yang merupakan wahyu Tuhan. Banyak pula yang merupakan penafsiran dan pendapat pemuka agama terhadap wahyu Tuhan itu, sehingga merupakan suatu kebudayaan. Selain itu, ada pula agama yang merupakan hasil kebudayaan manusia, yaitu yang hanya berasal dari tradisi turun-temurun dan tidak jelas siapa pembawanya, kapan dan dimana turunnya.

Agama Dalam Memandang Kebudayaan
Sebagai agama wahyu, Islam memposisikan budaya atau kebudayaan sebagai salah satu apek yang dihasilkan oleh manusia dan agama bukan termasuk kedalam aspek tersebut. Islam yang termasuk kedalam agama-agama samawi atau agama Ibrahim selain Yahudi dan Nasrani memiliki sejumlah tradisi yang sama namun perbedaan-perbedaan mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.[13] Kebudayaan yang ada dalam agama samawi bukanlah sembarang kebudayaan, tetapi kebudayaan yang dikembangkan dari ajaran yang datang dari Tuhan. Contoh dalam agama Islam, ayat tentang wajib shalat bukanlah kebudayaan, tetapi shalat yang dilaksanakan oleh umat Islam adalah kebudayaan Islam. Ajaran agama ada yang merupakan budaya, yaitu yang dipahami dan diijtihadkan oleh pemuka agama atau para ulama, dan ada yang bukan budaya, yaitu yang langsung diungkapkan dari ayat-ayat Tuhan.[14]
Berbeda dengan pendapat Gazalba, bahwa melaksanakan ajaran agama yang dinyatakan dengan jelas dan tegas oleh wahyu, contoh seperti shalat, puasa, dan zakat bukan kebudayaan. Akan tetapi, menafsirkan ajaran agama dan melaksanakan tafsiran atau hasil ijtihad, seperti shalat dengan jahar basmalah, qunut dan tanpa qunut adalah kebudayaan.[15] Baginya, penilaian apakah sesuatu dinamakan kebudayaan atau tidak adalah dari asal pikiran, rasa dan karsa itu sendiri. Apabila semuanya itu berasal dari manusia, dia adalah kebudayaan. Namun apabila asal usulnya bukan dari manusia atau masyarakat, itu bukanlah kebudayaan.

Suatu Kesimpulan
            Agama yang merupakan petunjuk dan wahyu dari Tuhan, bukanlah hasil dari suatu kebudayaan tertentu. Sebaliknya, kebudayaan yang merupakan sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat, terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa dan karya seni. Meskipun pendapat tersebut sangat bertentangan dengan para ahli antropolog yang menafikan adanya wahyu, Tuhan atau wujud lain diluar manusia dan masyarakat, serta mengatakan agama atau sistem kepercayaan sebagai salah satu aspek dalam kebudayaan. Sebagai seorang muslim yang meyakini adanya yang gaib sepatutnya kita mengimani ajaran dan apa-apa yang datang dari Allah SWT melalui nabi dan rasulNya, yang mana dari ajaran serta norma-norma tentang etika dan kehidupan menjadikan Islam sebagai suatu kebudayaan. Melaksanakan ajaran agama atau beragama adalah berbudaya agama.


[1] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengatar Antropologi Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) hlm. 11
[2] Ibid, hlm. 17
[3] Untuk lebih lanjut lihat Bustanuddin Agus, Ibid, hlm. 22-23
[4] Daniel L.Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Terj) Inyiak Ridwan Muzir, cet: V (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hlm. 41
[5] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 119
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hlm. 12
[7] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm 131
[8] Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Cendikia, 2003) hlm. 99
[9] Daniel L.Pals, op.cit., hlm 342
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Bina Cipta, 2000) hlm. 180
[11] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 37
[12] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 15-23
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[14] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 38
[15] Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1962) hlm. 111

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More