banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Jumat, 24 Juni 2011

Antara Agama dan Kebudayaan


Manusia yang diciptakan oleh Sang Khaliq, tidak bisa dilepaskan dari suatu agama. Dari bangsa primitif hingga orang-orang modern dan dengan kemapuannya yang setiap saat selalu berkembang, manusia bisa menciptakan suatu kebudayaan. Sejarah mencatat, begitu banyak kebudayaan yang muncul dimuka bumi ini. Kebudayaan Mesir Kuno, Messopotamia, Yunani, Cina, Islam dan lain-lain adalah bukti bahwa manusia mampu menciptakan suatu tatanan masyarakat yang maju pada zamannya. Selain banyaknya kebudayaan yang bermunculan dimuka  bumi, agama yang merupakan suatu petunjuk bagi manusia di alam dunia juga banyak bermunculan, seperti tiga besar agama Ibrahim yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam, kemudian di dataran Cina muncul Taoisme, Konfusianisme dan Sinto serta agama-agama yang muncul dari bangsa Arya seperti Hinduisme, Buddhisme dan Jainisme. Semuanya menjelaskan bahwa adanya bukti yang saling berkaitan antara manusia, agama dan kebudayaan.
Apabila kita melihat keduanya dalam sudut ilmu pengetahuan, maka ada dua cabang ilmu yang mengkaji masing-masing. Ilmu yang mempelajari agama tertentu biasa disebut dengan ilmu ketuhanan atau bisa disebut dengan Teologi. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang kebudayaan dan manusianya disebut Antropologi. Ilmu yang pertama bersifat subjektif, sedangkan yang kedua lebih bersifat objektif. Apabila keduanya disatukan, maka muncullah suatu bidang disiplin ilmu yaitu Antropolgi Agama. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para antropolog mengenai suatu  kebudayaan yang didalamnya terdapat masyarakat beragama. Menurut sebagian banyak antropolog, agama merupakan suatu hasil dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia, akan tetapi pendapat tersebut sangat bertentangan dengan doktrin yang ada dalam agama. Dalam makalah yang singkat ini, akan dibahas apakah agama merupakan hasil dari suatu kebudayaan atau  kebudayaan yang merupakan hasil dari suatu agama.

Kajian Agama Dalam Antropologi
Antropologi merupakan salah satu dari ilmu sosial yang pada mulanya berasal dari Barat. Ilmu ini mempelajari manusia dan budayanya serta bertujuan untuk memahami objek yang dikaji secara totalitas, dari masa lalu yang lebih awal dari kehidupan manusia hingga sekarang serta memahami manusia sebagai eksistensi biologis kultura.[1] Agama yang dipelajari dalam antropologi adalah agama sebagai fenomena budaya dan bukan ajaran yang datang dari Tuhan. Maka yang menjadi perhatian di dalam ilmu ini adalah beragamanya manusia dan masyarakat.[2] Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji agama dalam ilmu ini adalah pendekatan ilmiah. Menurut Bustanddin Agus dalam bukunya Agama Dalam Kehidupan Manusia yang mengutip perkataan dari Hilman Hadikusuma, pendekatan atau metode ilmiah untuk menjawab persoalan dalam antropologi agama ada empat macam yaitu metode historis, metode normatif, metode deskriptif dan metode empirik. Dengan demikian, metode yang cocok untuk ini adalah dengan participant observation atau melakukan observasi langsung dengan cara berpartisipasi di dalamnya.[3]
Banyak definisi-definisi dan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli antropologi terhadap agama, diantaranya yang dikemukakan oleh orang yang berkebangsaan Inggris yaitu Edward Burnett Tylor. Ia mendefinisikan agama secara sederhana dan mengatakan bahwa agama adalah keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.[4] Ia menggambarkan agama sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berfikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia.[5] Selain Tylor yang mengemukakan pendapatnya tentang agama, James George Frazer yang merupakan seorang antropolog mengatakan bahwa agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung dari manusia atau supernatural, yang diaggap mengatur dan menguasai jalannya alam semesta.[6] Mircea Eliade berpendapat bahwa agama harus dipahami sebagai yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain, sebagai variabel independen.[7]
Dengan demikian, agama atau kehidupan beragama pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib, luar biasa atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Fokus perhatian yang lebih ditonjolkan dalam kajian antropologi agama adalah beragamanya manusia serta masyarakat dan sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual, dan kepercayaan kepada yang sakral.

Agama Bagian Dari Kebudayaan?
Sebelum membahas apakah agama bagian dari kebudayaan atau sebaliknya, alangkah baiknya kita mencari tahu definisi dari budaya atau kebudayaan itu sendiri. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia dikatakan bahwa Kebudayaan atau budaya memiliki arti sebagai pikiran atau akal budi.[8] Clifford Geertz seorang ahli antropologi berkebangsaan Amerika yang pernah mengadakan suatu observasi di daerah Jawa dan Bali mengatakan, bahwa kebudayaan digambarkannya sebagai sebuah pola makna-makna atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol tersebut.[9] Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.[10] Dengan demikian kita bisa mengambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kehidupan manusia yang terpola dan didapatkan dengan belajar atau yang diwariskan kepada generasi berikutnya, baik yang masih dalam pikiran, perasaan dan hati pemiliknya, maupun yang sudah lahir dalam bentuk tindakan dan benda.
Para antropolog pada umumnya menempatkan agama sebagai salah satu dari aspek-aspek kebudayaan karena dia merupakan norma dan prinsip yang ada dalam keyakinan, pemahaman, dan rasa masyarakat yang bersangkutan dengan yang gaib. Selain itu, para ahli budaya memandang dengan sudut pandang mereka dan berpendapat bahwa agama adalah human made.[11] Pandangan yang diajukan seperti ini menolak adanya yang gaib, Tuhan, dan wahyu dalam agama karena yang digunakan mereka adalah metode ilmiah yang rasional empirik sebagai tolak ukur untuk menentukan ada atau tidak adanya sesuatu. Sebaliknya para agamawan atau ahli teolog tidak mau mengakui agama sebagai suatu kebudayaan, karena agama diturunkan Tuhan kepada manusia sebagai petunjuk bagi mereka dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Persoalan yang muncul dari kedua pendapat yang berbeda tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah agama merupakan hasil suatu kebudayaan yang diciptakan manusia atau sebaliknya?. Hilman Hadikusuma mengungkapkan dalam bukunya Antropologi Agama, dalam kajian antroplogi ada istlah agama, agama budaya dan kebudayaan agama. Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan agama budaya adalah petunjuk hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Sedangkan kebudayaan agama yaitu hasil kreasi manusia.[12] Apabila kita kembali kepada definisi tentang kebudayaan, agama (wahyu) sebagai ajaran dari Tuhan bukanlah kebudayaan karena bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Akan tetapi, ajaran agama bukan semuanya yang merupakan wahyu Tuhan. Banyak pula yang merupakan penafsiran dan pendapat pemuka agama terhadap wahyu Tuhan itu, sehingga merupakan suatu kebudayaan. Selain itu, ada pula agama yang merupakan hasil kebudayaan manusia, yaitu yang hanya berasal dari tradisi turun-temurun dan tidak jelas siapa pembawanya, kapan dan dimana turunnya.

Agama Dalam Memandang Kebudayaan
Sebagai agama wahyu, Islam memposisikan budaya atau kebudayaan sebagai salah satu apek yang dihasilkan oleh manusia dan agama bukan termasuk kedalam aspek tersebut. Islam yang termasuk kedalam agama-agama samawi atau agama Ibrahim selain Yahudi dan Nasrani memiliki sejumlah tradisi yang sama namun perbedaan-perbedaan mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.[13] Kebudayaan yang ada dalam agama samawi bukanlah sembarang kebudayaan, tetapi kebudayaan yang dikembangkan dari ajaran yang datang dari Tuhan. Contoh dalam agama Islam, ayat tentang wajib shalat bukanlah kebudayaan, tetapi shalat yang dilaksanakan oleh umat Islam adalah kebudayaan Islam. Ajaran agama ada yang merupakan budaya, yaitu yang dipahami dan diijtihadkan oleh pemuka agama atau para ulama, dan ada yang bukan budaya, yaitu yang langsung diungkapkan dari ayat-ayat Tuhan.[14]
Berbeda dengan pendapat Gazalba, bahwa melaksanakan ajaran agama yang dinyatakan dengan jelas dan tegas oleh wahyu, contoh seperti shalat, puasa, dan zakat bukan kebudayaan. Akan tetapi, menafsirkan ajaran agama dan melaksanakan tafsiran atau hasil ijtihad, seperti shalat dengan jahar basmalah, qunut dan tanpa qunut adalah kebudayaan.[15] Baginya, penilaian apakah sesuatu dinamakan kebudayaan atau tidak adalah dari asal pikiran, rasa dan karsa itu sendiri. Apabila semuanya itu berasal dari manusia, dia adalah kebudayaan. Namun apabila asal usulnya bukan dari manusia atau masyarakat, itu bukanlah kebudayaan.

Suatu Kesimpulan
            Agama yang merupakan petunjuk dan wahyu dari Tuhan, bukanlah hasil dari suatu kebudayaan tertentu. Sebaliknya, kebudayaan yang merupakan sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat, terbentuk dari banyak unsur yang rumit termasuk sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa dan karya seni. Meskipun pendapat tersebut sangat bertentangan dengan para ahli antropolog yang menafikan adanya wahyu, Tuhan atau wujud lain diluar manusia dan masyarakat, serta mengatakan agama atau sistem kepercayaan sebagai salah satu aspek dalam kebudayaan. Sebagai seorang muslim yang meyakini adanya yang gaib sepatutnya kita mengimani ajaran dan apa-apa yang datang dari Allah SWT melalui nabi dan rasulNya, yang mana dari ajaran serta norma-norma tentang etika dan kehidupan menjadikan Islam sebagai suatu kebudayaan. Melaksanakan ajaran agama atau beragama adalah berbudaya agama.


[1] Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengatar Antropologi Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 2006) hlm. 11
[2] Ibid, hlm. 17
[3] Untuk lebih lanjut lihat Bustanuddin Agus, Ibid, hlm. 22-23
[4] Daniel L.Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Terj) Inyiak Ridwan Muzir, cet: V (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hlm. 41
[5] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 119
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hlm. 12
[7] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm 131
[8] Sutan Rajasa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Mitra Cendikia, 2003) hlm. 99
[9] Daniel L.Pals, op.cit., hlm 342
[10] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Bina Cipta, 2000) hlm. 180
[11] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 37
[12] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993) hlm. 15-23
[13] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[14] Bustanuddin Agus, op.cit., hlm. 38
[15] Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1962) hlm. 111

Sabtu, 11 Juni 2011

Friedrich W Nietzsche dan Pandangannya Terhadap Agama


Zaman Pertengahan yaitu antara abad lima belas dan enam belas Masehi, merupakan zaman dimana agama Kristen sangat mendominasi bangsa Barat. Dengan sangat otoriternya, mereka menindak para ilmuwan yang berbeda pendapat dengan doktrin Gereja. Diantara para ilmuwan tersebut ialah Nicolaus Copernicus (1473–1543) dengan teorinya tentang heliocentris. Setelah Zaman Pertengahan atau yang biasa disebut dengan Zaman Kegelapan (Dark Ages), muncul periode Pencerahan (Renaissance). Pada periode ini, berbagai ilmu pengetahuan di Barat banyak berkembang dan juga periode ini menandakan awal dari Zaman Modern. Rene Descartes, Baruch de Spinoza, Gottfried Wilhelm von Leibniz dan Blaise Pascal dengan Rasionalismenya. David Hume (1711–1776), John Lock dan George Berkeley merupakan tokoh filsafat barat yang mengembangkan filsafat Empirisme. Filsafat Positivisme yang dikembangkan oleh August Comte (1798–1857) pun mempunyai pengaruh besar di Zaman Modern yang diteruskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872).
Perkembangan filsafat di Barat dengan berbagai konsep dan bermacam-macam gagasannya, tidak lepas dari peranan para teolog yang pada mulanya berusaha menyelaraskan antara agama dan Filsafat, meskipun pada akhirnya para filosof Barat pada akhir Zaman Modern menolak dan menyerang agama dan Tuhan. Nietzsche sang pembunuh Tuhan dengan berbagai pemikirannya akan sedikit banyak dibahas dalam makalah ini. Dalam makalah ini akan dibahas tentang sekilas riwayat hidup dan beberapa karya yang dihasilkan serta pemikiran-pemikirannya dan pandangannya terhadap agama.    

Sekilas Riwayat Hidup dan Karya-karyanya
Friedrich Wilhelm Nietzche lahir pada tahun 1844 di Rocken, Prusia dari sebuah keluarga pendeta Protestan Lutheran yang sangat taat. Pada waktu berumur 5 tahun ia telah kehilangan ayahnya dan kemudian dididik oleh ibunya.[1] Secara garis besar, riwayat hidup Nietzsche dapat dibagi menjadi empat tahap. Tahap pertama meliputi kehidupan dalam keluarga dan masa kecilnya yang ditandai dengan suasana pendidikan Kristen yang amat kuat. Tahap kedua adalah masa Nietzche menjalani hidupnya sebagai pelajar dan mahasiswa. Tahap ketiga hidup Nietzsche ditandai dengan karirnya sebagai profesor di Basel. Tahap yang terakhir yaitu masa-mas pengembaraan dan kessepian.[2]
Nietzsche sebagai seorang filosof Barat yang sangat besar dan banyak pengaruhnya, menghasilkan beberapa karya ataupun konsep dan ide-ide yang banyak disanjung serta dikritik. Pemikirinya dan karya-karyanya sedikit banyak dipengaruhi oleh seorang pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), seorang musikus Richard Wagner (1813-1883), seorang filosof Arthur Schopenhaur (1788-1860) dengan karyanya Die Welt als Wille und Vors-tellung, serta buku karangan Friedrich Albert Lang (1828-1975) yang berjudul Geschichte des Materialismus und Kritik seiner Bedeutung in der Gegenwart.[3] Adapun beberapa karya yang dihasilkan Nietzsche adalah:
• 1872 - Die Geburt der Tragödie (Kelahiran tragedi)
• 1873 -1876 - Unzeitgemässe Betrachtungen (Pandangan non-kontemporer)
• 1878 -1880 - Menschliches, Allzumenschliches (Manusiawi, terlalu manusiawi)
• 1881 - Morgenröthe (Merahnya pagi)
• 1882 - Die fröhliche Wissenschaft (Ilmu yang gembira)
• 1883 -1885 - Also sprach Zarathustra (Maka berbicaralah Zarathustra)
• 1886 - Jenseits von Gut und Böse (Melampaui kebajikan dan kejahatan)
• 1887 - Zur Genealogie der Moral (Mengenai silsilah moral)
• 1888 - Der Fall Wagner (Hal perihal Wagner)
• 1889 - Götzen-Dämmerung (Menutupi berhala)
• 1889 - Der Antichrist (Sang Antikristus)
• 1889 - Ecce Homo (Lihat sang Manusia)
• 1889 - Dionysos-Dithyramben
• 1889 - Nietzsche contra Wagner[4]

Beberapa Gagasan Pemikiran Nietzsche
1.      Kehendak Untuk Berkuasa
Gilles Deleuze dalam bukunya Nietzsche and Philosophy mengatakan bahwa kehendak untuk berkuasa merupakan elemen yang diferensial dan genealogis yang menghubungka daya dan dengan daya lain dan menghasilkan kualitas. Dengan kata lain kehendak untuk berkuasa mewujudkan diri dalam daya.[5]  Nietzche menerima pengertian pokok dari Schopenhauer yaitu kehendak sebagai asas dari eksistensi manusia yaitu kehendak untuk berkuasa sebab kehidupan merupakan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dan perjuangan merupakan hal yang baik.[6] Di satu sisi gagasan kehendak untuk berkuasa yang dicetuskan Nietzsche dipengaruhi oleh buku Schopenhauer yang berjudul Die Welt als Wille und Vosrtellung, akan tetapi dari sisi lain pandangannya terhadap dunia merupakan kritik terhadap pandangan dunia yang diajukan Schopenhauer.[7] Menurutnya kehendak pada hakikatnya berada diluar prinsip individuasi atau pluralitas karena prinsip ini hanya dapat berlaku pada dunia fenomena yang harus taat pada asas-asas perubahan ruang dan waktu. Lebih jauh lagi, Schopenhauer berpendapat bahwa apa yang seseorang hadapi sebagai dunia tak lain adalah pantulan dari satu kehendak atau idea.[8] Pandangan Schopenhauer yang bercorak sangat dualistik, tak henti-hentinya ditentang oleh Nietzsche. Fokus kritikannya terletak pada pemaknaan terhadap dunia fenomenal dan terhadap pengakuan metafisik kehendak. Menurutnya, pengakuan dunia sejati yang bersifat metafisik hanya datang dari orang yang lemah dan orang seperti ini adalah orang pesimis.[9]
Kuasa untuk berkehendak dalam pengetahuan banyak dituturkan juga oleh Nietzsche. Menurutnya, pengetahuan bekerja sebagai instrumen kekuasaan, maka kehendak untuk mengetahui sesuatu tergantung pada kehendak untuk menguasai. Tujuan pengetahuan bukanlah untuk menangkap kebenaran absolut yang ada pada dirinya, melainkan untuk menundukan sesuatu. Dengan pengetahuan kita bisa menciptakan sebuah tatanan, merumuskan konsep-konsep, memasang skema-skema pada kenyataan yang sebenarnya selalu berubah-ubah. Pengetahuan tumbuh dengan bertambahnya kekuasaan. Kita mungkin menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah sebuah interpretasi objektif yang bersih dari keinginan-keinginan subjektifitas. Namun Nietzsche menunjukan bahwa setiap interpretasi terkait dengan kebutuhan akan subjektifitas. Oleh sebab itu Nietzsche tidak meyakini adanya kebenaran yang absolut, karena itu hanya merupakan fiksi yang seseorang buat karena interpretasi terkait dengan kebutuhan terbatas dan interpretasi pasti bersudut pandang. Oleh karena itu kebenaran bersifat presfektival, tergantung perspektif penafsir. Dan pada analisis terakhir, perspektif adalah suatu kehendak untuk berkuasa yang kemudian disebut dengan perspektivisme.[10] Bisa disimpulkan bahwa a) pikiran merupakan alat untuk mengendalikan insting atau kehendak untuk hidup dan berkuasa b) pengetahuan memiliki nilai jika dapat meningkatkan dan mempertahankan kehidupan.[11]
2.      Ubermensch
Kata Ubermensch apabila diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dalah superman atau manusia super. Istilah ini berarti tingkat kemanusiaan yang jauh lebih tinggi daripada tinggkat kemanusiaan yang ada, dan menjadi tumpuan akhir cita-cita dan tujuan evolusi.[12] Akan tetapi seorang komentator Nietzsche, Walter Kaufman menerjemahkannya menjadi overman atau manusia atas.[13] Dengan konsep ini, dia sedang berbicara dan berharap mengenai masa depan dan meramal manusia masa depan. Ajaran Nietzsche tentang Ubermensch diperkenalkan lewat mulut tokoh Zarathustra yang merupakan pembukaan dari bukunya Also Sprach Zarathustra. Bagi Nietzsche, kebutuhan orang yang paling mendesak adalah soal pemaknaan. Dia melihat bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kebudayaan Barat sampaipada saat itu telah runtuh disebabkan oleh jaminan-jaminan yang dianggap seolah-olah telah ada, oleh karena itu melalui tokoh Zarathustra ia mengajarkan nilai tanpa jaminan kepada semua orang dan nilai ini tidak lain adalah Ubermensch. Maka Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok keseberang dunia.[14]
Ajaran tentang Ubermensch mempunyai hubungan dengan konsep semangat untuk berkuasa. Makna terbesar dunia bagi Nietzsche terletak pada Ubermensch dan untuk mencapai makna terbesar itu, orang harus selalu menjadi jembatan menuju Ubermensch. Orang akan menjadi jembatan menuju Ubermensch apabila seluruh hidupnya dijiwai semangat untuk berkuasa. Ini berarti bahwa orang harus selalu siap mengatasi naluri-naluri kebinatangannya dan mengatur hidupnya sedemikian rupa sehingga dia terus menerus mendapatkan pengalaman akan bertambahnya kekuasaan.[15]
3.      Nihilisme
Nihilisme merupakan sebuah ajaran yang menyangkal keabsahan alternatif positif manapun dan istilah ini telah diterapkan pada metafisika, epistemologi, etika, politik dan teologi. Adapun beberapa pengertian nihilisme dapat dirinci sebagai berikut: a) Penyangkalan mutlak, dalam konteks ini nihilisme berarti titik pandang yang menolak ideal positif mana pun. b) dalam epistemologi nihilisme berarti penyangkalan terhadap setiap dasar kebenaran yang objektif dan real. c) nihilisme merupakan teori bahwa tidak ada yang dapat diketahui, dengan kata lain semua pengetahuan adalah ilusi, tidak bermanfaat, relatif dan tidak bermakna. d) keadaan psikologis dan filosofis dimana tidak ada nilai etis, religius, politis dan sosial.[16] Nihil dalam nihilisme berarti negasi sebagai kualitas dari kehendak untuk berkuasa. Dengan demikian, nihilisme dalam arti dasar dan pokoknya menandakan nilai nol yang diambil oleh kehidupan serta fiksi tentang nilai-nilai yang lebih tinggi yang memberinya nilai tersebut dan kehendak akan ketiadaan yang diekspresikan dalam nilai-nilai yang lebih tinggi.[17]
Renungan tentag nihilisme pada intinya adalah sebuah renungan tentang krisis kebudayaan khususnya di Eropa pada waktu itu. Nietzsche melukiskan bahwa gerak kebudayaan Eropa bagaikan aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir samudra. Metafor ini ditunjukan kepada orang-orang Eropa yag tidak sanggup lagi merenugkan dirinya sendiri, yang takut merenung. Inilah satu dari ratusan tanda kedatagan nihilisme. Selain itu nihilisme juga dapat dikatakan merupakan sebuah akibat timbulnya pemikiran-pemikiran Nietzsche yang menghantam sisa-sisa pemikiran dan kepercayaan sebelumnya. Nihilisme sebagai runtuhnya seluruh nilai dan makna meliputi seluruh bidang kehidupan manusia. Dan seluruh bidang ini dibagi menjadi dua, yaitu keagamaa termasuk moral dan ilmu pengetahuan. Runtuhnya dua bidang ini membuat manusia kehilangan jaminan dan pegangan untuk memahami dunia serta hidupnya.[18] 

Nietzsche dan Kematian Tuhan
Pemikiran dan gagasan-gagasan yang diutarakan Nietzsche tidak lepas dari pengaruh para filosof sebelumnya. Soren Kierkegaard dengan pemikirinnya yang sangat menonjol tentang tekanan pada pribadi, dianggap sebagai orang yang pertama merumuskan eksistensialisme. Nietzsche sebagai penerus pemikirian Kierkegaard, berbeda dengan apa yang telah dirumuskan oleh pendahulunya. Dia terjerumus kedalam pemikiran eksistensialisme ateistik. Eksistensialisme merupakan sebuah gerakan yang filsafat yang menentang esensialisme yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi dan pusat perhatiannya adalah situasi manusia.[19] Adapun tujuan dari filsafat ini adalah mencoba pertanyaan bagaimana manusia seharusnya hidup sesudah ilusi tentang kebebasan yag hacur berantakan oleh mala petaka yang begitu banyak dalam sejarah dan melawan pandangan-pandangan yang menempatakan manusia pada tingkat impersonal atau abstrak.[20]
Selain menolak Tuhan, Nietzsche juga menyerang Tuhan dengan mematikannya. Dengan demikian maka manusia baru bisa bisa berbuat dan betindak. Sebab selama ini manusia dikungkung oleh nilai-nilai agama seperti pahala dan dosa.[21] Keyakinan yang mendasari Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati dan segala dewata sudah mati, hanya manusia ataslah yang masih hidup.[22] Dia mengumumkan ini dalam tamsil tentang orang gila yang berlari ke pasar pada suatu pagi, meneriakan, “aku mencari Tuhan!” ketika seorang penonton dengan pongah bertanya ke mana menurutnya Tuhan pergi, apakah Dia melarikan diri atau mungkin pindah?, orang gila itu menatap tajam kearah mereka. “‘Kemana Tuhan pergi?’ dia bertanya.’aku ingin mengatakan kepada kalian, kita telah membunuhnya – aku dan kalian! Kita semua adalah pembunuhnya!”.[23] Dengan matinya Tuhan, kini orang seolah merasa menghirup udara kosong dan seluruh cakrawala dihapuskan.

Pandangan Nietzsche Terhadap Agama
Neitzsche memandang agama khususnya Kristen sebagai lambang pemutarbalikan nilai-nilai. Sebab yang dipandang sebagai jiwa Kristiani ialah menolak segala yag alamiah sebagai hal yang tak layak, yang memusuhi segala yan nafsani. Menurutnya, pengertian Tuhan agama Kristen adalah pengertian yang paling rusak dari segala pengertian tentang Tuhan, sebab Tuhan dipandang sebagai Tuhan anak-anak, piatu dan janda-janda, Tuhan orang sakit. Tuhan dipandang sebagai roh, yang bertentangan dengan hidup ini.[24]
Untuk membuktikan eksistensi Tuhan, Nietzsche menggunakan pendekatan yag menjelaskan pemahamnnya tentang asal-usul dan sifat perbedaan antara baik dan buruk serta baik dan jahat dan menyingkap klaimnya bahwa kebutuhan kita adalah untuk bergerak melampaui kebaikan dan kejahatan.[25] Berdasarkan pandangan yang demikian itu ia mengajarkan adanya dua moral, yaitu moral tuan dan moral budak. Pengertian baik mempunyai dua arti yang berlainan. Bagi sang tuan, baik adalah perasaan jiwa yang tinggi, bangga, megah. Sedangkan baik menurut sang budak adalah apa yang damai,yang tidak merugikan, yang menaruh belaskasihan. Yang disebut jahat oleh sang tuan ialah apa yang berlaku umum, yang biasa, yang tak bernilai. Sedangkan menurut sang budak ialah segala sesuatu yang menonjol melebihi kawanan seluruhnya, jadi yang luar biasa, yang tidak bisa diperhitungkan, yang berbahaya.[26]

Sebuah kesimpulan
            Nietzsche dengan berbagai konsep dan gagasannya dalam memandang dunia, telah banyak dipengaruhi oleh para pendahulunya. Akan tetapi dalam menyimpulkan ia selalu berbeda dengan mereka. Kehendak untuk berkuasa, ajaran tentang Ubermensch dan Nihilisme merupakan hasil dari pemikirannya yang ditukan untuk menempatkan manusia diatas dan tidak teriakat oleh nilai-nilai. Banyak tokoh dan para pemikir setelah Nietzsche yang mendapat pengaruh darinya.
            Pemakluman Nietzsche mengenai kamatian Tuhan benar-benar merupakan sebuah penolakan terhadap pandangan yang tunggal mengenai Tuhan. Meskipun penilaian Nietzsche tentang eksistensi terkadang lebih bersifat polemis berat sebelah dari pada analisis yang meyakinkan dan terdokumentasikan dengan jelas, analisis itu menimbulkan persoalan serius tentang kecukupan gambaran klasik. Tetapi Nietzsche tidak menunjukan bahwa setiap pandangan tentang Tuhan tidak sesuai dengan struktur fundamental dari eksistensi dan tidak dapat memberi makna dan harapan yang tidak bernada eskapisme. Maka, meskipun beberapa gambaran tentang Tuhan tidak lagi sepenuhnya dapat berjalan bagi kita, adalah tergesa-gesa untuk menerima pemakluman Nietzsche tentang kematian Tuhan sebagai sebuah pernyataan tentang fakta yang final.   


[1] Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)  hal: 374
[2] St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKIS,1996) hal: 2
[3] Lihat St. Sunardi  Ibid, hal: 9
[4] http://neoakatsuki47.blogspot.com/2009/12/friedrich-Nietzsche.html
[5] Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, (terj) Basuki Heri Winarno (Yogyakarta: Ikon Taralitera, 2002) hal: 87
[6] Ali Mudhofir, Op.cit hal: 374
[7] St. Sunardi, Op.cit, hal: 64
[8] Op.cit, hal: 66
[9] Op.cit, hal: 67
[10] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal: 273
[11] Ali Mudhofir, Op.cit, hal: 374
[12] Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) hal: 1056
[13] F.Budi Hardiman, Op.cit, hal: 274
[14] St. Sunardi, Op.cit, hal: 143-144
[15] Op.cit, hal: 156-157
[16] Loren Bagus, Op.cit, hal: 712
[17] Gilles Deleuze, Op.cit, hal: 208
[18] St. Sunardi, Op.cit, hal: 33-34
[19] Lorens Bagus, Op.cit, hal: 185
[20] Op.cit, hal: 186
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama:Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal: 148
[22] Ali Mudhofir, Op.cit, hal. 375
[23] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam, (terj) Zaimul Am, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007) hal. 458
[24] Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Fisafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) hal: 129
[25] John K. Roth, Persoalan-Persoalan Filsafat Agama: Kajian Pemikiran 9 Tokoh dalam Sejarah Filsafat dan Teologi, (terj) Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hal: 300
[26] Harun Hadiwijono, Op.cit. hal: 128

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More