banner blog aing

MAI APOLOJES

Setelah Vakum Selama Hampir Empat Tahun, Theosopher Hadir Kembali Dengan Artikel-Artikel Segar (:

WESTERN PHILOSOPHY

Menawarkan Beberapa Artikel Tentang Perkembangan, Tokoh Atau pun Pemikiran Pada Zamannya.

RELIGIOUS STUDIES

Kumpulan Beberapa Tulisan Yang Berkenaan Dengan Agama Dunia Serta Cara Pandang Disiplin Ilmu Umum.

TUMBLR

About Reality: Kumpulan Kata Bajak, Keluhan Pemirsah, Serta Kumpulan Cerita Pendek Sependek-pendeknya.

KRISTEN:AGAMA DAN DOKTRIN PAULUS

Bagaimana dan Apa Saja Peran Paulus Terhadap Agama Kristen ???.

Jumat, 02 Desember 2011

Ancaman Pluralisme Agama Terhadap HAM

Manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial, tidak lepas dari ikatan norma-norma dalam tatanan masyarakat. Di dalamnya mereka dituntut untuk mematuhi peraturan serta undang-undang yang berlaku. Setiap individu dalam masyarakat mempunyai haknya tersendiri dalam menjalani kehidupan bersosial, disamping kewajibannya untuk patuh pada peraturan yang telah ada seperti negara dan agama. Pluralitas atau kemajemukan merupakan sesuatu yang mutlak dalam sebuah kelompok maupun masyarakat tertentu. Tanpanya manusia tidak dapat menjalakan kehidupannya dengan sempurna, karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi satu sama lain.
Agama yang berkembang di hampir seluruh penjuru dunia, tidak lepas dari pluralitas. Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan kepercayaan lainya, merupakan suatu bukti bahwa agama tidak satu atau tunggal. Dengan banyaknya agama yang dianut oleh berbagai macam kelompok dan jenis manusia, tidak tertutup kemungkinan dengan pluralitas tersebut agama bisa menimbulkan suatu konflik yang berkepanjangan. Para ahli agama, cendikiawan, filosuf dan ilmuwan lainnya menawarkan suatu konsep yang bertujuan untuk mengurangi konflik tersebut yaitu dengan konsep pluralisme agama. Pada perkembangannya, pluralisme agama tersebut menjadi ancaman terhadap hak asasi manusia yang pada dasarnya merupakan hak yang harus dimiliki setiap individu dari manusia. Dengan demikian muncul pertanyaan, bagaimana implikasi dan konsekuensi pluralisme agama? Dan bagaimana ancamannya terhadap hak asasi manusia?. Dalam pembahasan kali ini akan dijelaskan sedikit banyak tentang terminasi-terminasi agama yang menjadi konsekuensi pluralisme agama dan ancaman terhadap agama.

Munculnya Pluralisme Agama
Istilah pluralisme agama pada dasarnya telah lama berkembang di dunia pemikiran dan keagamaan. Istilah mempunyai arti sebagai suatu aliran atau paham yang menyatakan bahwa semua agama yang ada adalah sama dan memiliki tingkat kebenaran yang sama. Secara etimologi, pluralisme agama terdiri dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama. Pluralisme atau dalam bahasa Inggris pluralism merupakan kata yang diambil dari bahasa Latin yaitu pluralis yang berarti jamak atau lebih dari satu. Secara filosofis pluralisme dicirikan oleh keyakinan akan realitas fundamental yang besifat jamak dan berbeda dengan dualisme yang menyatakan bahwa realitas fundamental ada dua serta dengan monisme yang menyatakan bahwa realitas fundamental hanya satu.
kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua suku kata, yaitu a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun.  Selain dari bahasa sansekerta, istilah agama dalam bahasa asing juga bermacam-macam seperti religion dalam bahasa Inggris ataupun al-din dalam bahasa Arab. Adapun definisi tentang agama, banyak para ahli dan ilmuwan yang masih berbeda pendapat tentangnya. Edward Burnett Tylor yang merupakan seorang antropolog mengatakan bahwa agama digambarkan sebagai kepercayaan kepada adanya ruh gaib yang berfikir, bertindak dan merasakan sama dengan manusia.  Akan tetapi pada umumnya para antropolog mendefinisikan agama sebagai suatu kepercayaan kepada adanya kekuatan supernatural sehingga Ia perlu disembah dalam bentuk ritual yang merupakan kegiatan untuk mendapatkan kepuasannya.  Menurut Emile Durkheim yang merupakan seorang sosiolog berpendat bahwa agama adalah alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia.  Sedangkan kaum psikolog yang diwakili oleh Sigmund Freud menganggap bahwa agama sebagai kekeliruan dan tahayul. Namun pada saat yang ia melihat agama sebagai takhayul yang amat menarik karena memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang manusia.  Dengan banyaknya definisi tentang agama, maka para ahli belum mendapatkan pengertian yang sama tentang agama, dikarenakan banyaknya sudut pandang yang mereka tawarkan.
  Beberapa faktor yang menjadi pemicu munculnya pluralisme agama diantaranya sikap inklusif, ekslusif serta klaim absolut kebenaran agama. Sikap inklusif merupakan sikap teologis yang menyatakan bahwa agama yang dianutnya paling benar dan agama lain salah. Berbeda dengan inklusif, sikap ekslusif masih memandang keberadaan agama lain. Selain sikap-sikap tersebut. Ada beberapa konsep yang ditawarkan para ahli yang pada dasarnya merupakan pluralisme agama tetapi disisi lain dapat meredakan konflik yang berbau agama, seperti Humanisme Sekular, Teologi Global, Hikmah Abadi dan Sinkretisme.

Implikasi dan Konsekuensi Pluralisme Agama
Diantara implikasi serta konsekuensi pluralisme agama adalah munculnya terminasi tentang agama-agama yang meliputi sekularisme dan skeptisisme serta pluralisme formalistik yang meliputi keseragaman dan munculnya agama-agama baru. Sekularisme merupakan sebuah ideologi yang pada mulanya berkembang di dunia Barat dan menyebar hampir ke seluruh penjuru Dunia tak terkecuali dunia islam. Paham ini mempunyai tujuan yaitu memisahkan antara hak Tuhan dengan hak Manusia atau memisahkan antara urusan Manusia dengan urusan Tuhan.
Dr. Camile Al-Hajj mengatakan sekularisme adalah gerakan yang muncul akibat konflik sejarah yang terjadi antara Gereja dan kekuasaan di Eropa. Untuk memisahkan antara agama dan Negara disatu sisi serta pemisahan antara ajaran – ajaran gereja dan ilmu pengetahhuan di sisi lain.  Al-Attas menyatakan bahwa kwmunculan sekularisasi adalah hasil dari sejarah pengalaman barat untuk mendamaikan ketegangan antara Filsafat dan Agama. Antara pandangan alam yang semata – mata berdasar pada pandangan akal jasmani, dan pandangan alam yang semata – mata berdasar pada pandangan indra khayali.  Akan tetapi sebenarnya ketegangan yang terjadi di barat antara filsafat dan agama sudah ada pada zaman Yunani purbakala kira – kira empat ratus tahun sebelum zaman Nabi Isa hingga berlanjur sampai sekarang.
Skeptisisme merupakan suatu paham yang beranggapan bahwa manusia tidak dapat mencapai suatu kebenaran.  Paham ini lebih dikenalkan kepada masyarakat luas oleh seorang penganut empiris yaitu David Hume, meskipun sebelumnya ada beberapa filosuf yang memperkenalkannya seperti John Locke dan George Berkeley. Sikap skeptis terhadap agama ia tujukan untuk mengkritik hukum kausalitas. Para filosof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan adalah sebab alam. Pengamatan atau pengalaman menunjukan bahwa di dunia ini terdapat kejahatan dan keburukan  yang menandakan bahwa Tuhan tidak sempurna.  Hume menyarankan bahwa sikap skeptis yang tepat terhadap agama adalah sikap skeptisme sehat, karena dia berpendapat bahwa agama adalah bersumber kepada takhayul. Maka sikapnya adalah membersihkan takhayul-takhayul itu.  Jadi sikap skeptis Hume bisa dikatakan lebih condong pada agnotisme, yaitu anggapan bahwa seseorang tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Selain sekularisme dan skeptisisme yang menjadi implikasi dan konsekuensi terhadap pluralisme agama, keseragaman dan munculnya agama-agama baru merupakan konsekuensi terhadap hal tersebut.

Ancaman Terhadap HAM
Pluralisme agama yang merupakan ancaman bagi masyarakat yang sangat religius, juga mempunyai ancaman terhadap hak-hak yang dimiliki manusia sipil biasa. Apabila kita memperhatikan dan mencermati kondisi HAM dibawah tatanan pluraisme agama yang mana paham tersebut menawarkan kedamaian dan menghindarkan masyarakat pada konflik-konflik, bahwa HAM berada dalam ancaman yang sangat serius baik pada level teoretis maupun praktis. Hak asasi manusia disini dimaksudkan secara khusus apa yang kalangan ahli dikenal dengan hak yang tak mungkin dinafikandalam kondisi yang bagaimana pun, yaitu suatu hak yang dinikmatioleh manusia hanya karena ia dilahirka sebagai manusia.  Berbagai segi positif yang ditawarkan HAM begitu banyak dalam sistem pluraistik maupun demokratik yang berkembang khususnya di Barat. Akan tetapi dalam pluralisme agama yang mana pluralisme agama sendiri menegaskan dan menawarkan akan penghormatan semua agama dan kebebasan agama, ternyata sangat berlawanan secara diametral, sehingga ancaman bagi kebebasan beragama itu sendiri.
Pluralisme agama telah menghalangi hak seseorang dalam kebebasan meyakini dan mengimani komprehensivitas agamanya yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan dalam mengekspresikan jati dirinya secara utuh sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya. Jika hak asasi manusia yang diusung dan banyak dikampanyekan oleh bangsa Barat menawarkan kebebasan agama demi terjadinya keharmonisan dan kedamaian serta mengurangi konflik terhadap agama serta kebebasan pindah agama atau tak beragama, kenapa manusia tidak dibiarkan bebas menggunakan haknya untuk menerima atau menolak pluralisme agama?

Suatu kesimpulan
Implikasi dan konsekuensi pluralisme agama yang berbentuk terminasi agama-agama serta munculnya pluralisme formalistik, ternyanta menjadi ancaman serta kekeliruan terhadap berlangsungnya hak asasi manusia. Disatu sisi pluralisme agama menjadi ancaman bagi mereka yang tidak mau atau yang mempunyai sikap ekslufif terhadap adanya agama lain, dan di sisi lain ia menawarkan kebebasan beragama sebagai pereda konflik yang terjadi atas nama agama dengan konsep-konsep seperti global theologi, humanisme sekuler, sinkretisme dan hikmah abadi. Ancaman yang ditimbulkan dari plurasme agama terhadap HAM yaitu tidak adanya toleransi yang diberikan paham ini terhadap hak-hak yang dimiliki setiap individu yang menolak terhadap pluralisme agama. Ini membuktikan bahwa konsep apapun yang dikembangkan oleh bangsa Barat yang menyangkut agama maupun tatanan masyarakat, terdapat kontradiksi dan ketidakpastian yang jelas,yang mengakibatkan kerugian di satu pihak bahkan lebih. Apabila konsep-konsep tersebut diaplikasikan dalam kehidupan beragama khususnya Islam, maka konsep maupun paham tersebut sangatlah tidak cocok dan tidak sesuai dengan ajaran atau syari’at yang ada.

Selasa, 29 November 2011

Pasar Agama

Pembaca sekalian, perkenalkan namaku Andi van Wallen. Umurku 20 tahun, dan sekarang belajar di salah satu universitas ternama di Amsterdam. Bapakku orang Belanda, seorang direktur di sebuah perusahaan farmasi. Ibuku orang Ambon, yang sudah sejak tahun 60-an telah menetap di Belanda. Secara resminya aku masih menjadi bagian dari agama Kristen. Tetapi sebagaimana mayoritas orang Kristen di negeri ini, mereka datang ke gereja Cuma tiga kali seumur hidup mereka, sewaktu lahir (baptis), sewaktu menikah, dan sewaktu meninggal.

Liburan sekolah ini aku bingung mau kemana, aku sudah bosan sebenarnya tiap tahun pergi ke Ibiza, St. Tropez, Costa Brava, ataupun Texel. Semakin lama koq kurasakan agak monoton, berkumpul beramai-ramai dengan kawan2ku, minum bir, bergoyang semalam suntuk, flirting, dan akhirnya one night stand. Memang menyenangkan, tapi kurasa tahun ini aku membutuhkan sesuatu yang lain. Perjalanan fisikku kurasa sudah cukup baik, negeri ini membolehkanku untuk bereksperimen dalam sex dan cinta. Tapi kurasa ada yang kadang salah dalam hal itu, maksudnya bahwa sex itu banyak dijadikan tujuan, dan bukannya alat dalam mencapai kebahagiaan. Untung aku tidak menjadi salah satu yg salah kaprah itu. Yang pasti, aku menjadi ingin tahu hal-hal lain yang selama ini tidak kuketahui. Akhir2 ini, banyak kejadian yang menyentakkan hatiku, semakin banyak dijalan2 wanita2 yang menutupi seluruh tubuhnya bahkan sampai mukanya, Theo van Gogh dibunuh di tepi jalan dengan tusukan2 mematikan, anak muda teriak-teriak di depan Central Station menganjurkan orang untuk kembali kepada Tuhan Yesus. Semua itu katanya orang-orang demi agama.

Maka liburan ini aku sudah mantap untuk pergi ke pasar agama. Aku ingin mengetahui apa saja yang ada di sana, sehingga siapa tahu aku bisa membeli salah satu diantaranya. Paling tidak aku ada pegangan, kalau-kalau aku terjerembab dalam depresi atau kesulitan. Katanya orang-orang sih paket2 yang ditawarkan oleh stan2 agama itu tidak ada yang mahal, semuanya murah-murah. Hanya yang pasti ketika sudah membeli paket, biasanya persyaratannya adalah untuk memakai paket yang kita beli untuk selamalamanya. Di depan pasar, aku sudah langsung terkagum-kagum. Pasar ini sangat ramai, jauh lebih ramai dari segala pasar yang pernah aku temui. Bahkan di tengah keramaian itu, semakin banyak pula yang datang tiap waktunya, yang berbarengan dengan aku saja, yang kebetulan satu tram, serombongan besar pemuda-pemudi berpakaian modis. Dan tram-tram ini datang tiap 5 menit sekali dari pagi buta sampai menjelang malam. Dan yang juga aku heran, jarang orang yang meninggalkan pasar itu, sehingga aku yakin, hari ini pasti pasar akan penuh sesak oleh manusia-manusia dari segala penjuru. Aku segera merasuk di antara orang-orang yang ada dipasar itu. Aku agak hati-hati dengan menempatkan dompetku di saku depan, karena pasar ini sangat terkenal dengan keganasan pencopetnya.

“ Yahudi, saudara2 sekalian. Umat2 terpilih, satu2nya umat dimana Tuhan mendelegasikan wewenangnya dan sebagian besar kebijaksanaannya. Tapi maaf saudaraku, hanya yang berdarah Yahudi yang bisa memeluk agama ini. Syaratnya cukup berat saudara untuk menjadi Yahudi, makanan anda harus semua kosher, semua ritual2 harus terlaksana mulai dari bar mitzwah sampai Hanukah.“
“Kristen, Kristen, hayo bapak ibu dan saudara2 sekalian, belilah agama Kristen. Beli Kristen dapat hadiah, surga yang nikmat dan indah. Kristus telah digantung di atas tiang salib, demi menebus dosa kita, dosa turunan dari Bapak dan Ibu kita, Adam dan Hawa. Menjadi Kristen gampang sekali saudara2 sekalian, ada dua paket utama : Protestan dan Katolik, tapi kami juga menawarkan paket2 kecil lain. Jangan khawatir, paket ini jumlahnya ada ribuan, dari Mormon, Scientology, Advent, sampai Yehova. Semua hadir untuk anda, wahai gembala2 Tuhan yang terkasih.”
“Islam, Islam, hayo saudara2 sekalian. Belilah paket Islam yang lengkap dan sempurna. Paket Islam adalah rahmat bagi semesta alam, paket lengkap yang membahagiakan seluruh makhluk hidup dari malaikat hingga manusia. Paket Islam tidak banyak2, hanya ada tiga jenis paket besar : Sunni, Syiah, dan Ibadi. Hanya dengan mengucapkan kalimat syahadat, Islam anda sudah syah. Tapi ingat saudara2, anda tidak boleh makan babi, Tuhan melarangnya. Yang perempuan juga harus pakai jilbab, demi menjaga kehormatan.’
‘Jaini, Jaini, agama yang telah menjadi inspirator utama seorang pahlawan kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah. Jaini saudaraku, dengan ahimsanya, telah menghasilkan Gandhi, Nelson Mandela, dan Martin Luther King. Kita harus meninggalkan keduniawian saudaraku, karena keduniawian membuat kita tidak bahagia. Semua makhluk berhak hidup, oleh karena itu tidak satupun dari kita punya hak untuk melukai makhluk-makhluk hidup itu.’
Wah, wah , tawaran paket yang macam-macam. Aku sampai bolak-balik untuk melihat-lihat dan mendengar ocehan para penjual itu. Aku mendengarkan dengan seksama, kadang2 sampai hampir satu jam aku berada di satu stan. Cukup menyenangkan ternyata berada di antara penjual-penjual itu. Taktik marketing yang agresif persuasif ternyata sangat menarik bagi sebagian besar pengunjung pasar ini. Bahkan untuk membeli paket, mereka terpaksa harus antri berlama-lama.
“ Hindu, Hindu, mari2 bapak2, ibu2, adik2 sekalian. Paket Hindu adalah paket lepas yang sangat flexibel, masing2 akan melekat menjadi satu kesatuan. Tuhan adalah satu, tapi mengejawantah dalam trinitas Brahma, Syiwa dan Wisnu, tapi anda boleh menyembah ratusan ribu tuhan kecil dan dewa2 sesuai dengan keinginan anda. Sapi adalah representasi dari ibu segala ibu, dan karena itu kita tidak boleh menjadikannya santapan. ‘
Wah wah, asyik juga agama Hindu ini. Kalau umat Yahudi tadi umat dipilih Tuhan, di Hindu, umat yang malah memilih Tuhan. Aku terus saja berjalan, orang2 lalu lalang bertransaksi, stan yang paling rame ternyata stan Kristen dan Islam, gile bener, sampai antriannya panjang gak ketulungan. Stan Hindu juga cukup panjang, tapi aneh juga yang antri di stan Hindu ini kebanyakan semua orang2 kumuh berkulit gelap. Lama juga aku berjalan bolak-balik di pasar. Aku coba banding2kan harganya, kelengkapan paketnya, keindahan bungkusnya, dan sebagainya. Semua bilang yang baik2 sih, yang nomer satu, kayak jualan kecap. Mana mau ada yang ngaku kecap nomer 2.

Liburan sehari yang menyenangkan tapi sekaligus membingungkan. Aku bingung, Tuhan yang bernama Allah ketakutan sama babi, yang bernama Widi Wasa ketakutan sama sapi. Tuhan yang bernama Waheguru melarang pembunuhan binatang, semutpun dilarang, yang bernama Allah malah menganjurkan membunuh kambing, sapi, dan unta, jutaan ekor setiap tahunnya menemui ajal karena perintah itu. Mayoritas stan mengklaim membawa produksi Tuhan, tapi ada dua stan yang menurutku aneh, stan Budha dan Jaini. Dua stan ini tidak menyebut nama Tuhan sama sekali, malah stan Jaini mengingkari adanya Tuhan, menganggap Tuhan malah hanya banyak menimbulkan masalah daripada memecahkan masalah. Mayoritas stan bilang, Tuhan semua manusia itu satu, tapi kalau satu kenapa perintahnya lain-lain. Kalau namanya lain sih gak masalah, karena itu hanya masalah bahasa, tapi kalau perintahnya lain, itu yg aneh. Ataukah Tuhan sekarang juga plin-plan gak punya pendirian, wah gak tau juga. Tuhan mungkin juga terjebak dalam pragmatisme oportunistis ala politikus.

Sewaktu aku lagi asyik-asyiknya bermain dengan pikiranku sendiri memikirkan keanehan-keanehan itu, tiba-tiba terdengar suara teriakanteriakan. Ada banyak suara wanita dan anak-anak minta tolong. Tak lama kemudian terdengar suara tembakan, dar der dor. Orang-orang berhamburan lari kemana-mana, dan suara raungan mobil polisi juga tak ketinggalan menambah kebisingan dan kericuhan suasana. Tapi dasarnya aku tak terlalu takut dengan keributan, sudah terbiasa demonstrasi dan juga sekaligus terbiasa dikejar-kejar tentara dan polisi. Aku mendekati arah dari teriakan-teriakan itu. Di kerumunan itu aku menyeruak, langsung kumulai mencium bau anyir darah, dan tak lama kemudian kulihat beberapa orang tergeletak berlumuran darah. Sementara kerumunan mengelilingi mereka, tanpa berani mencoba menjamah orang-orang yang bergelimpangan itu. Mereka rupanya masih menunggu polisi yang memang sudah terdengar sirinenya. Tetapi tiba-tiba dari arah berlawanan denganku seseorang dengan peci dan jubah putih, ke tengah dan menuding-nuding. ‘Kalian orang-orang kafir, kalian telah membunuh saudara-saudara kami. Kaum Yahudi dan Kristen keparat, kalian tidak akan pernah berhenti mengganggu kami sampai kami lenyap dari muka bumi.’ Aku segera melihat ke sekeliling, aku lihat memang banyak diantara yang bergelimpangan itu sepertinya sepaham sama bapak yang menuding-nuding itu. Tiba-tiba dorrrrrrrrrr, bapak yang di tengah2 kerumunan itupun roboh dengan darah di pelipisnya. Sepertinya sebutir peluru telah menembus batok kepalanya. Aku jadi ketakutan sendiri, secepat kilat aku segera menyingkir dari situ, mencari aman pikirku, daripada malah bisa jadi tersangka disaat diriku tidak tahu apa-apa. Tidak biasanya aku ketakutan seperti ini, tapi karena mungkin kali ini musuhnya tidak jelas, kalau aku demonstrasi musuhnya biasanya jelas, pemerintah dan militer. Aku segera beralih ke bagian pasar yang agak jauh, dengan sedikit berlari aku ingin segera menjauh dari tempat kericuhan tadi. Terengah-engah aku, tapi ternyata aku salah, di bagian lain juga sedang terjadi keributan. Kali ini keributan terjadi di stan Kristen, tapi yang aneh justru keributan itu diantara mereka sendiri. Antara yang menjual paket saling bersaing, mungkin karena paket yang ditawarkan terlalu banyak, sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Aku segera berlari lagi, untung di sebelah sana kulihat pintu keluar dari pasar. Segera kumenuju kesana. Setelah sampai di pintu keluar, dengan gontai aku pergi menjauh dari pasar.

Liburan yang awalnya menyenangkan berubah menjadi mengerikan, aku telah menjadi saksi penjagalan manusia oleh manusia lainnya. Demikianlah pembaca, pengalamanku selama liburan musim panas kemarin. Sekarang Amsterdam sudah mulai hujan, dan sebentar lagi akan musim gugur. Aku memang tidak jadi membeli paket apapun selama jalan2 di pasar itu, tapi aku hanya berharap semoga keributan di pasar itu berhenti.

Dikutip dr buku: Agama Yakrislam

Kamis, 14 Juli 2011

Al-Qusyairi dan Konsep Tentang Tauhid


Khazanah keilmuan Islam yang dikembangkang oleh para ilmuwan muslim, sangat berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Matematika, astronomi, kedokteran, ilmu bumi dan lain sebagainya, merupakan ilmu-ilmu yang diadopsi oleh Barat.
Filsafat yang berasal dari Yunani yang biasa dikenal dengan tradisi falsafah, berkembang dan bersentuhan dengan tradisi-tradisi keilmuan dalam Islam. Dari sana muncul istilah Filsafat Islam. Antara filsafat (tradisi falsafah) dan tasawwuf mempunyai perbedaan yang sangat besar. Keduanya dalam hal pembahasan, berbeda pada metode dan objeknya. Apabila berbicara filsafat, berarti dalam memandang harus dengan akal dan menggunakan metode argumentasi dan logika. Akan tetapi tasawwuf dengan jalan mujahadah (pengekangan hawa nafsu), serta musyahadah ( pandangan batin).
            Tasawwuf dengan ajarannya yang begitu banyak, telah memberikan pemahaman yang bermacam-macam. Konsep tentang wihdah al-wujud, wihdah as-syuhud, hulul, ittihad dan lain sebagainya, merupakan ajaran yang banyak disimpangkan oleh orang-orang yang tidak mengerti dan tidak paham secara mendalam tentang konsep-konsep tersebut. Al-Qusyairi memandang hal tersebut merupakan sebuah kesesatan dan kebid’ahan dalam agama, yang semuanya telah mencemari dan mengotori keesaan kepada Allah SWT. Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan salah satu konsep tentang tauhid menurut Al-Qusyairi dan menjelaskan pembagian asma serta sifat. Konsep tauhid tersebut digunakan oleh Al-Qusyairi untuk menolak paham-paham yang menyimpang dalam ajaran tasawwuf.

Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Dalam ajaran tasawwuf, banyak para tokoh sufi yang terjebak dalam paham-paham yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid. Salah satu paham yang banyak menjerumuskan para sufi kepada penyimpangan tauhid adalah paham fana’. Al-Taftazani dalam bukunya al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami menjelaskan bahwa para sufi terbagi kepada dua kelompok dalam memahami fana’; kelompok pertama yang berpegang  teguh pada syari’at dan tidak keluar dari ajaran tauhid; dan kelompok yang mengarah kepada paham, wahdah al-wujud, ittihad dan al-hulul.[1] Paham pertama mengarah kepada baqa’ yang menetapkan dualisme antara Allah dan manusia dan antara Allah dengan alam. Dalam hal ini, al-Qusyairi termasuk dalam kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak keluar dari ajaran tauhid.[2]
Menurut Al-Qusyairi fana’ adalah mental state. Beliau memberikan contoh ketika seseorang masuk ke tempat seorang raja yang berkuasa, ia tidak sadar akan dirinya dan orang yang duduk di atas tahta tersebut karena wibawanya yang tinggi. Ketika ditanya setelah keluar ia dari tempat itu, ia tidak dapat berkata apa-apa untuk membayangkan apa yang dilihatnya. Keadaan inilah yang disebut dengan fana’, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an tentang kisah para wanita pelayan kerajaan yang memotong tangannya sendiri tanpa disadari tatkala melihat ketampanan Nabi Yusuf. Keadaan tidak sadar ini terjadi kepada seorang makhluk ketika ia bertemu dengan orang lain sesama makhluk.[3]

Pengertian Tauhid dan Pembagiannya
Al-Jurjani menyebutkan makna tauhid dalam bukunya At-Ta’rifat, bahwa tauhid secara etimologi berarti ketetapan bahwasannya sesuatu itu satu. Adapun dalam istilah ahli hakikat, tauhid merupakan abstraksi dzat Tuhan dari sesuatu yang tergambarkan dalam pemahaman serta bayangan dalam ilusi dan pikiran.[4]
Al-Qusyari adalah seorang tokoh sufi yang benar-benar menjaga kemurnian tauhid kepada Allah SWT. Dalam konsep tasawwufnya ia selalu memposisikan Allah sebagai Yang Esa, ia menolak faham-faham yang bertentangan dengan keesaan Allah dan kemurnian dzat dan sifat-Nya. Tauhid menurutnya adalah mengesakan Allah SWT, sebagaimana ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan:
ö/ä3ßg»s9Î)ur ×m»s9Î) ÓÏnºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ß`»yJôm§9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÏÌÈ [5]
Dalam konsep tauhidnya, Al-Qusyairi mengutip pendapat Al-Junaid dengan kata-katanya: “bahwa tauhid adalah mengesakan al-Muwahhad (Allah SWT) dengan mengimplementasikan keesaan-Nya dengan segala wahdaniyah-Nya, bahwasannya Dia adalah Esa yang tidak beranak dan tidak diperanakan, dengan cara menafikan lawan-lawan-Nya, sekutu-sekutu-Nya dan segala sesuatu tanpa disertai dengan tasybih, takyif dan tamsil.”[6] Ini sesuai dengan ayat berikut:
ã}§øŠs9 ¾ÏmÎ=÷WÏJx. Öäïx« ( uqèdur ßìŠÏJ¡¡9$# çŽÅÁt7ø9$# ÇÊÊÈ [7]
Dalam karyanya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, Al-Qusyairi membagi Tauhid kepada tiga bagian:
1.      Tauhid Haqq li al-Haq (حق للحق) yaitu pengetahua-Nya bahwa diri-Nya adalah Esa dan Ia menjelaskan tentang diri-Nya bahwa Ia adalah Esa.
2.       Tauhid Haqq li al-Khalq (جق للخلق) yaitu ketetapan-Nya bahwa manusia adalah mengesakan-Nya dan Ia menciptakan manusia untuk mengesakan-Nya.
3.      Tauhid Khalq li al-Haq, (خلق للحق) yaitu pengetahuan hamba-Nya bahwa Ia adalah Esa dan penjelasan hamba tentang keesaan-Nya.[8]
Asma’ dan Sifat
            Dalam memandang asma’ dan sifat Allah, Al-Qusyairi lebih condong ke pemikiran Al-Asy’ari. Pendapat yang dikemukakan Asy’ari tentang asma’ dan sifat, sangat berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Mu’tazilah. Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat Allah tidak melekat pada dzat-Nya, dan bukan selain dzat-Nya. (ليس الصفات هى الذات وليس هو غيره). Adapun Mu’tazilah mengatakan bahwa sifat Allah merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari dzat-Nya. (الصفات عين الذات). Al-Qusyairi membedakan nama Allah dalam tiga hal:
a.       Nama dzat (اسم الذات) , yaitu nama Allah: merupakan nama untuk dzat-Nya yang tidak ada sesuatupun yag dinamakan dengan nama tersebut, yang mengandung arti ketergantungan dan bukan untuk diaktualisasikan sebagai akhlak atau perbuatan.
b.      Sifat dzat (الصفات الذات) seperti Baqa’, ‘Alim, Qadir dan sebagainya. Dalam hal ini manusia tidak bisa menyandang sifat-sifat tersebut.
c.       Sifat ‘Af’al (الصفات الأفعال) seperti Maha Memberi. Pada bagian ini manusia diharapkan dapat mengaktualisasikan sifat-sifat tersebut dalam perbuatan mereka sehari-hari.[9]
Inilah yang membedakan antara ahli kalam dan falasifah dalam meneliti dan mengkaji sifat-sifat Allah, dimana mereka menjadikannya sebagai ilmu, sedangkan para sufi untuk diaktualkan dalam perbuatan mereka. Selain itu, beliau menjelaskan bahwa sifat-sifat tersebut mempunyai indikator nisbi (الدلالة النسبية), dimana suatu ketika Allah disifati dengan satu sifat yang mempunyai satu makna mutlak atau lebih yang tidak mungkin seorang manusia menyandang atau memiliki sifat tesebut. Pada keadaan yang berlainan, manusia disifati dengan sifat tersebut akan tetapi ketika itu sifat tersebut mempunyai makna yang sesuai dengan yang hadith (baru).[10]
            Dalam memahami sifat-sifat Allah, Al-Qusyairi menegaskan bahwa sifat-sifat untuk diaktualisasikan dalam perbuatan, bukan hanya diucapkan dengan lidah dan menjadi bahan diskusi ataupun perdebatan yang panjang. Beliau juga dengan tegas menolak pendapat ahli bid’ah tentang sifat-sifat Tuhan dengan mengatakan bahwa, “sifat-sifat Tuhan yang Qadim tidak dapat melekat pada dzat yang hadith, dan sifat yang hadith tidak mungkin dapat melekat pada dzat yang Qadim. Barangsiapa yang meyakini sebaliknya dari ungkapan diatas, maka ia bukan saja telah keluar dari agama yang benar, bahkan lebih sesat dari agama Masihi yang mengatakan sifat kalam Tuhan yang Qadim bersatu kedalam dzat Isa yang hadith. Bid’ah ini menjadi keyakinan kaum Hululiyah. Mereka meyakini bahwa dzat Tuhan dapat bersatu dalam diri seseorang yang hadith.[11]



Sebuah Kesimpulan
            Konsep tauhid yang ditawarkan oleh Al-Qusyairi sangat membantu untuk menolak paham-paham yang menyimpang. Konsep tersebut yang dikemukakan beliau dengan jelas dapat ditemui ketika kita meneliti pendapat-pendapatnya mengenai mahabbah, ma’rifah, syauq, ikhlas, ‘ubudiyyah, dan sebagainya. Konsep-konsep ini juga merupakan konsep-konsep tasawwuf Al-Qusyairi. Puncak tauhid seseorang menurutnya adalah keikhlasan, dan keikhlasan adalah mengesakan Yang Haqq yaitu mengesakan ketaatan kepada Yang Haqq secara sengaja, dengan cara melaksakan segala perintah-Nya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan sesuatu yang lain, seperti untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain, mencari pujian atau segala sesuatu yang dapat diartikan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah semata-mata.


[1] Al-Taftazani, Al-Madkhal ila Tasawwuf (Kairo: Dar el-Tsaqofah) h. 112
[2] Abu Al-Qasim Al-Qusyairi, Ar-Risalah A-Qusyairiyah, (Ed) Abdul Halim Mahmud (Kairo: Dar el-Sya’b, 1989) h. 55
[3] Amal Fathullah Zarkasyi,  Ilmu Al- Kalam: Tarikhul Madzahib Al-Islamiyyah wa Qodloyaha Al-Kalamiyyah, (Ponorogo: Darussalam University Press, 2006) h. 55
[4] Ali Muhammad Al-Jurjani, Kitab At-Ta’rifat, (Beirut: Maktabah Lubnan) h. 73
[5] QS: Al-Baqarah 163
[6]Al-Qusyairi op.cit, h. 581
[7] QS: As-Syuro 11
[8] Al-Qusyairi, op.cit, h. 493
[9] Ibrahim Basuni, Imam al-Qusyairi: Siratuhu, Athsaruhu, Madzhabuhu fi Tasawwuf, (Kairo: Majma’ al-Buhust al-Islamiyah, 1972) h. 69
[10] Zarkasyi,  op.cit, h. 54
[11]Al-Qusyairi, op.cit, h. 581

Jumat, 01 Juli 2011

Barat Dalam Memandang Agama dan Sains


Manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini, tidak bisa terlepas dari suatu sistem keyakinan atau agama. Tanpannya manusia akan kehilangan arah dan merasa kekurangan suatu kebutuhan yang bersifat rohani dan spiritual. Agama yang diturunkan oleh Sang Pencipta merupakan salah satu elemen yang tidak bisa dipisahkan antara manusia dan alam sekitarnya. Dengannya manusia bisa belajar dan memahami beraneka ragam kejadian, gejala-gejala serta fenomena yang bisa dijadikan suatu ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat. Sejarah mencatat begitu banyak disiplin ilmu pengetahuan yang diciptakan ataupun dikembangkan oleh para agamawan. Para ilmuwan muslim contohnya, mereka mengembangkan berbagai banyak ilmu pengetahuan seperti astronomi, geologi, biologi, kedokteran, aljabar atau matematika serta ilmu-ilmu yang lainnya. Semuanya menunjukan bahwa agama mempengaruhi pola fikir dan cara pandang kepada para ilmuwan tersebut dalam menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan atau sains.
Sains atau ilmu pengetahuan selalu menjadi tolak ukur berkembang atau terpuruknya suatu peradaban. Yunani dengan kemajuan ilmu pengetahuannya serta peran para filosofnya seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan yang lainnya, menunjukan sebuah bukti bahwa peradaban Yunani pada masa itu sangat berkembang. Peradaban Mesir Kuno, Messopotamia, Cina dan lain-lain, juga mengalami kemajuan karena dilihat dari ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan. Selain peradaban-peradaban tersebut, Islam yang begitu maju dengan peradabannya tidak bisa terlepas dari khazanah serta tradisi keilmuan Islam seperti Fiqh, Kalam, Tasawwuf dan Falasifah. Peradaban Barat Modern yang berkembang sampai saat ini merupakan sebuah hasil dari usaha mereka dalam menerjemahkan berbagai karya-karya yang dikembangkan ilmuwan muslim di bidang sains. Sebelum peradaban Barat Modern muncul, mereka pernah merasakan suatu zaman yang mereka sebut dengan Zaman Kegelapan, dimana agama (Kristen) ketika itu sangat mendominasi berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang sains atau ilmu pengetahuan. Sains yang bertentangan dengan doktrin ataupun ajaran Gereja ketika itu, akan ditolak dan ilmwuan yang bersangkutan akan dihukum sampai mati. Karena trauma inilah bangsa Barat memandang agama dan sains tidak bisa disatukan.


Barat Modern dan Agama
            Titik awal kemajuan peradaban Barat ditandai oleh munculnya suatu periode yang biasa disebut dengan Renaissance atau era pencerahan, Revolusi Perancis serta industri besar-besaran yang berada di Inggris. Pada masa pencerahan yang terjadi di Eropa, banyak para ilmuwan serta filosof yang bermunculan. Isaac Newton, James Watt, Voltaire dan lain-lain merupakan para ilmuawan yang sangat berpengaruh pada terjadinya era pencerahan, industri Inggris serta revolusi Perancis. Selain para ilmuawan, para filosof dengan ideologinya masing-masing seperti Rene Descartes, Leibniz, John Locke, Hume, hingga Immanuel Kant memberikan pengaruh kepada terjadinya peradaban Barat Modern. Peradaban mereka yang berkembang pada saat ini dipengaruhi cara pandang yang didasari oleh ideologi serta pemikiran-pemikiran mereka diantaranya Rasionalisme, Empirisme, Sekularisme, dan paham serta pandangan yang lainnya.[1] Karena pengaruh paham-paham tersebut maka Barat memandang agama atau sistem kepercayaan sebagai sesuatu yang irasional dan tidak ilmiah.
            Ada banyak bentuk keraguan terhadap agama yang didasari oleh ideologi, paham serta pemikiran-pemikiran yang berkembang pada masa itu. Empirisme yang ditawarkan oleh David Hume meskipun sebelumnya telah diliris oleh John Locke dan George Berkeley, memandang suatu melalui pengalaman atau pengamatan. Melalui empirismenya, ia meragukan agama dalam hal eksistensi Tuhan. Menurut Hume, ketika seseorang percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini, dia akan berhadapan dengan dilema. Manusia berfikir tentang Tuhan menurut pengalamannya masing-masing, sedangkan itu semuanya hanya merupakan setumpuk dan koleksi dan emosi saja.[2] Sikap skeptis terhadap agama ia tujukan untuk mengkritik hukum kausalitas. Para filosof sebelum Hume percaya bahwa alam adalah akibat dan Tuhan adalah sebab alam. Pengamatan atau pengalaman menunjukan bahwa di dunia ini terdapat kejahatan dan keburukan  yang menandakan bahwa Tuhan tidak sempurna.  Hume menyarankan bahwa sikap skeptis yang tepat terhadap agama adalah sikap skeptisme sehat, karena dia berpendapat bahwa agama adalah bersumber kepada takhayul. Maka sikapnya adalah membersihkan takhayul-takhayul itu.[3] Jadi sikap skeptis Hume bisa dikatakan lebih condong pada agnotisme, yaitu anggapan bahwa seseorang tidak bisa tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak.
            Positivisme yang dibawakan oleh August Comte merupakan salah satu dari bentuk keraguan terhadap agama disamping empirisme Hume. Positivisme memandang suatu agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitif. Menurutnya, sejarah perkembangan alam pikir manusia terdiri dari tiga tahap yaitu tahap teologis, tahap metafisik dan tahap positif. Pada tahap teologis, manusia memandang bahwa segala sesuatu didasarkan atas adanya dewa, roh atau Tuhan, sedangkan pada tahap metafisik manusia memandang realitas didasarkan atas pengertian-pengertian metafisik seperti substansi, form, sebab dan lain-lain. Pada akhirnya manusia pada zaman sekarang telah mencapai puncak perkembangan pemikiran yaitu tahap positif.[4] Sesuatu dianggap benar oleh positivisme apabila sebuah pernyataan sesuai dengan fakta, dan pada umunya positivisme berupaya menjabarkan pernyataan-pernyataan yang faktual pada suatu landasan pencerapan atau sensasi.[5] Dengan demikian, seorang positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur dan yang bisa dibuktikan kebenaranya. Karena agama ataupun Tuhan tidak bisa dilihat, diukur maupun dibuktikan , maka agama tidak mempunyai arti dan manfaat.[6]
Selain empirisme dan positivisme yang diusung oleh dua filosof besar David Hume dan August Comte, banyak paham ideologi serta pemikiran-pemikiran yang ditawarkan para filosof terhadap agama yang mencerminkan peradaban Barat. Ludwig Andreas Feuerbach yang sepaham dengan Comte memiliki pandangan yang lebih positif tentang manusia, ia ingin mencampakan agama dalam hal ini Tuhan yang telah menyebabkan menyebarnya rasa putus asa di masa silam.[7] Karl Heinrich Mark tokoh Materialisme dan pencetus Komunisme, memandang agama sebagai desahan makhluk yang tertekan dan candu masyarakat. Selain itu, Mark menegaskan bahwa kepercayaan kepada Tuhan atau dewa–dewa adalah lambang kekecewaan atas kekalahan dalam perjuangan kelas. Kepercayaan tersebut adalah sikap yang memalukan yang harus dienyahkan, bahkan dengan cara paksaan.[8] Dia sendiri mengaku sebagai seorang ateis yang radikal dengan mengatakan “saya membenci segala Tuhan”.[9] Tokoh yang lebih ekstim dalam memandang Tuhan selain Mark adalah Friedrich Wilhelm Nietzsche. Keyakinan yang mendasari Nietzsche adalah bahwa Tuhan telah mati dan segala dewata sudah mati, hanya manusia ataslah yang masih hidup.[10]

Konflik Antara Sains dan Agama
            Sains yang berkembang di Barat yang didasari oleh ideologi serta paham-pahamnya, sangat berpengaruh kepada kemajuan teknologi serta industri dihampir seluruh dunia. Alat komunikasi, transportasi dan lain-lain adalah bukti nyata kemajuan sains dan teknologi Barat. Dibalik itu semua, Barat maju dalam segi sains serta teknologi karena mereka sedikit banyak telah  meninggalkan ajaran agama. Konflik yang terjadi antara sains dan agama mulai muncul kepermukaan pada abad ke 16. Edward A. White mengatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains dan agama ketika itu pada dasarnya merupakan suatu konflik yang sangat fundamental, karena agama dipertahankan oleh kekuasaan Gereja serta institusinya.[11] Serangan sains pada dogma dan ajaran-ajaran yang diterima di seluruh dunia Kristen awal abad 16 pada umumnya terjadi dari luar kedalam, dimulai dengan masalah surga, berlanjut pada sejarah geologis bumi, kemudian pada asal-usul bentuk kehidupan, diikuti pada tubuh manusia dan berakhir pada pikiran manusia.[12] Barat Modern dengan kemajuan sains dan teknologinya melahirkan semangat autonomi dan independensi baru yang mendorong untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan. Dengan demikian, manusia modern seperti yang dikatakan Marcuse adalah manusia satu dimensi, sebab semua aspek kehidupannya hanya terarah ke satu tujuan saja yakni menjaga kelangsungan sistem teknologi sebagai penguasaan total atas berbagai bidang kehidupan lain, tempat ia mengekspresikan dirinya.[13]
            Manusia Barat modern masih menghadapi suatu problem yang bisa menyebabkan konflik yang tidak ada akhirnya antara agama dan sains. Ilmu pengetahuan atau sains yang berkembang menekankan pembahasannaya pada alam fisik, sedangkan agama menekankan pembahasannya pada hal yang metafisik. Apabila ilmu mempunyai konsep yang pasti tentang alam fisik, agama pun mempunyai doktrin-doktrin yang pasti tentang alam metafisik. Mukjizat dan doa adalah ajaran agama yang tidak bisa dibantahkan lagi, seperti contoh kasus Nabi Ibrahim yang tidak terbakar oleh api. Menurut hukum alam api harus membakar tetapi kejadian yang dialami Ibrahim tidak. Dari sini kita bisa melihat bahwa dua konsep tersebut bertentangan satu samalain. Problemnya, apabila agama yang lebih benar maka teori ilmu tersingkir, sedangkan sebaliknya maka agama akan tersingkir.[14]
           
Islam Dan Perkembangan Sains
            Barat yang maju dengan peradabannya sangat bergantung kepada perkembangan sains atau ilmu pengetahuan. Sebelum peradaban Barat berkembang, Islam dengan ilmu serta para ilmuawannya lebih dulu berkembang. Dalam Islam, Ilmu dan agama adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad merupakan suatu perintah untuk membaca. Banyak ayat-ayat yang menerangkan keutamaan ilmu dalam Al-qur’an. Dalam surat Al-Mujaadilah ayat 11, Allah SWT berfirman yang artinya “Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat”. Ini membuktikan bahwa agama dan ilmu pengetahuan atau sains tidak ada konflik serta pertentangan di dalam Islam. Ilmuwan muslim sangat berbeda dengan para ilmuawan Barat yang serta merta menolak agama serta doktrin-doktrinya. Dalam mengembangkan sains, Landasan yang menjadi pegangan seorang ilmuwan muslim adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, kesadaran agama yaitu tauhid adalah sumber dari semangat ilmiah dalam semua aspek ilmu  pengetahuan.[15]
            Banyak dari karya-karya ilmuawan muslim diberbagai bidang sains yang diambil maupun diadopsi oleh bangsa Barat Modern. Kosmologi, geografi, sejarah alam, fisika, matematika, astronomi, ilmu medis dan yang lainnya menunjukan peradaban islam dengan khazanah keilmuannya mampu mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan tanpa meniggalkan ataupun memisahkan antara agama dan sains. Untuk memahami sains yang terdapat dalam Islam sampai ke dasarnya, seseorang membutuhkan pengertian tentang beberapa prinsip Islam itu sendiri, meskipun pemikiran seperti ini tidak bisa dinyatakan dalam istilah modern.[16] Beberapa tokoh universal sains dalam Islam yang banyak dikenal oleh ilmuwan Barat dan karya-karyanya yang sangat berpengaruh diantaranya ialah, Jabir ibn Hayyan dengan nama Latinnya Geber, Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Latin: Alkindus), Hunain ibn Ishaq (Joannitius), Tsabit ibn Qurrah, Muhammad ibn Musa al-Khwarazmi (di Eropa sering disebut  Khwarazm), Muhammad ibn Zakariya al-Razi (Rhazes), Abu Nasr al-Farabi (Alpharabius), Abu’l-Hasan al-Ms’udi, Abu ‘ali al-Husain ibn Sina (Avicenna), Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitsam (Alhazaen), Abu Raihan al-Biruni, Abu’l-Qasim Maslamah al-Majrithi, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (Algazel), Abu’l-Fath ‘Umar ibn Ibrahim al-Khayyami, Abu’l-Walid Muhammad ibn Rusyd (Averroes), Nashiruddin al-Thusi, Quthbuddin al-Syirazi, ‘Abdul Rahman Abu Zaid ibn Khaldun, Bahauddin al-‘Amili.[17] Dengan demikian, penerapan serta aplikasi sains dalam peradaban Islam harus dipadu oleh susunan nilai dari berbagai tindakan dan tujuan manusia menurut ajaran Islam.[18]  
           
Suatu Kesimpulan
            Peradaban Barat Modern berkembang dengan sains dan teknologinya tidak lepas dari pemikiran, paham-paham serta ideologi yang mereka rancang. Cara pandang yang mereka tawarkan didasari oleh rasionalisme, empirisme, positivisme dan aliran-aliran yang lain. Agama sebagai petunjuk bagi umat manusia di dunia ini, telah ditinggalkan oleh manusia Barat Modern dalam mengembagkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka memandang agama sebagai sesuatu yang kurang masuk akal karena ilmu pengetahuan atau sains tidak bisa sejalan dengan ajaran sarta doktrin-doktrin dalam agama. Konsep ataupun aliran seperti naturalisme, humanisme dan eksistensialisme mereka suguhkan untuk membentuk sebuah akar keraguan dalam agama. Dari semuanya itu, maka bangsa Barat Modern lebih menitik beratkan semua aspek kehidupannya pada perkembangan sains dan teknologi dan secara tidak langsung telah meniggalkan agama.
            Berbeda dengan Islam yang merupakan agama sekaligus peradaban. Islam meletakan ilmu pengetahuan yang didasari dengan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai alat untuk memahami berbagai aspek kehidupan. Khazanah keilmuan Islam yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim mampu memadukan antara ajaran-ajaran serta doktrin agama kedalam berbagai bidang disiplin ilmu. Sejarah mencatat begitu banyak karya-karya ilmuawan muslim yang diambil dan dikembangkan di dunia Barat, meskipun tidak sedikit dari hasil karya tersebut banyak diubah bahkan dihilangkan oleh bangsa Barat Modern yang telah meninggalkan agama demi kemajuan sains dan teknologi.


[1] Worldview Barat Modern didasari Rasionalisme, empirisme, Sekularisme, Desakralisme, Non-Metafisis, Dhicotomy dan Pragmatisme, mengenai hal ini lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisme Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies, 2007) hal. 10-11
[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama: Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009) hal. 110
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal. 91-92
[4] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004) hal. 109
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) hal. 858
[6] Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 117
[7] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, Dan Islam Selama 4000 Tahun, (Pent) Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2007)  hal 451
[8] Daniel L. Pals, Dekonstruksi kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Pent) Inyiak Ridwan Munir (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005) hal. 201
[9] Bakhtiar, op.cit., hal. 124 - 125
[10] Ali Mudhofir, Kamus Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) hal. 375
[11] Edward A. White, Science and Religion in American Thought: The Impact of Naturalism, (California: Stanford University Press, 1952) hal. 4
[12] Louis Greenspan dan Stephan Anderson (ed) Bertuhan Tanpa Agama: Esai-esai Bertrand Russel, dengan judul asli Russel on Religion (Yogyakarta: Resist Book, 2009) hal. 160
[13] Simon Petrus L.Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead, (Yogyakarta: Kanisius, 2007) hal. 109
[14] Amsal Bakhtiar, op.cit., hal. 138
[15] Osman Bakar, The History and Philosophy of Islamic Science, (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999) hal. 11
[16] Untuk lebih jelas dalam masalah ini lihat Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di Dalam Islam, (Pent) J. Wahydi, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997) hal. 2-6
[17] Lihat Seyyed Hossein Nasr, Ibid., hal. 23-40
[18] Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Perspektif Islam Tentang Agama dan Sains, (Pent) Yuliani Liputo (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2008) hal. 65

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More