1. Biografi
Kiai Ahmad Dahlan Muhammad Darwis
atau Kiai Ahmad Dahlan lahir pada 1 Agustus 1868 di Kampung Kauman, Yogyakarta,
anak ke-4 dari pasangan Kiai Haji Abu Bakar bin Haji Sulaiman dengan Siti
Aminah binti Kiai Haji Ibrahim. Sejak kecil
beliau sudah terlihat sebagai anak yang cerdas dan kreatif. Beliau mampu
mempelajari dan memahami kitab yang diajarkan di pesantren secara mandiri.
Beliau dapat menjelaskan materi yang dipelajarinya dengan rinci, sehingga orang
yang mendengar penjelasannya mudah untuk mengerti dan memahaminya. Beliau juga
sudah mampu membaca al-Qur`an dengan tajwidnya pada usia 8 tahun. Pada tahun 1883,
setelah cukup menguasai pengetahuan agama beliau berangkat ke Makkah selama
lima tahun. Di sana beliau mengkaji kitab-kitab Tauhid karangan Syaikh Mohammad
Abduh, Tafsir Juz ‘Amma karangan Syaikh Mohammad Abduh, Kanz al-Ulum dan
Dairot al-Ma’arif karangan Farid Wajdi, Fi al Bid’ah karangan Ibnu
Taimiyah, Tafsir al Manar karangan Sayid Rasyid Ridha, Majalah al-‘Urwat
al-Wutsqa, dan masih banyak kitab-kitab yang lain yang sering beliau kaji. Menjelang
kepulangannya beliau menemui Imam Syafi’i Sayid Bakri Syatha untuk mengubah
nama dari Muhammad Darwis mendapatkan nama baru Haji Ahmad Dahlan Setelah kembali
ke tanah air, beliau kembali menuntut ilmu dan belajar ilmu fikih dan nahwu
kepada kakak iparnya Haji Muhammad Saleh dan Kiai Haji Muhsin, ilmu falak
kepada Kiai Raden Haji Dahlan, hadis kepada Kiai Mahfuzh dan Syaikh Hayyat,
ilmu qira`ah kepada Syaikh Amin dan Bakri Satock, ilmu bisa atau racun binatang
kepada Syaikh Hasan. Beliau juga belajar kepada Kiai Haji Abdul Hamid, Kiai
Muhammad Nur, R. Ng. Sosrosugondo, R. Wedana Dwijosewoyo dan Syaikh M. Jamil
Jambek. Pada tahun 1903,
beliau dan anaknya, Muhammad Siradj berangkat ke Makkah dan menetap di sana
selama dua tahun. Beliau kembali ke Makkah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Di sana, beliau belajar secara langsung dari ulama-ulama Indonesia di Makkah
yaitu, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, Kiai Mahfuzh Termas, Kiai Muhtaram
dari Banyumas, dan Kiai Asy’ari dari Bawean. Selama di Makkah Kiai Haji Ahmad
Dahlan juga bersahabat karib dengan Kiai Nawawi al-Bantany, Kiai Mas Abdullah
dari Surabaya dan Kiai Fakih dari Maskumambang. Kiai Ahmad
Dahlan ialah seorang yang memiliki gagasan pembaharuan. Beliau terpengaruh
dengan gagasan dari Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha. Bahkan beliau pernah
mendiskusikan esensi dari gerakan pembaharuan kepada mereka berdua. Untuk
mendalami gagasan pembaharuan, beliau sering membaca Majalah al-Manar oleh
Rasyid Ridla dan al-‘Urwat al-Wutsqa oleh Jamaludin al-Afghany. Kiai Ahmad
Dahlan wafat pada tanggal 23 Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Hari ini kita
masih menyaksikan karya besar anak bumi putera ini. Beliau meninggalkan pesan
bagi para generasi penerusnya di Muhammadiyah, beliau mengatakan,
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan cari hidup di Muhammadiyah”. 2. Teladan
dari Kiai Ahmad Dahlan a.
Menciptakan Masyarakat Islam yang Sejahtera Kiai Ahmad
Dahlan dalam menciptakan masyarakat Islam yang sejahtera menekankan pada
bentuk-bentuk pelayanan. Hal ini terlihat pada beberapa sekolah, panti asuhan,
rumah sakit dan penerbit. Pernah jamaah bertanya kepada beliau, “Kenapa Kiai
membahas Surah al-Maun dilakukan berulang-ulang?“. Beliau menjawab, “Saya tidak
akan berhenti menyampaikan Surah itu sebelum anda terjun kemasyarakat mencari
orang-orang yang perlu ditolong”. Bentuk-bentuk
pelayanan di sini terbagi menjadi tiga bidang yaitu, pendidikan, sosial, dan
keagamaan. Pertama, di
bidang pendidikan lembaga pendidikan Islam harus diperbaharui dengan metode dan
sistem pendidikan yang lebih baik. Model pembelajaran sorogan dan bandongan
yang selama ini diterapkan di pesantren perlu diganti dengan model pembelajaran
klasikal, sehingga sasaran dan tujuan kegiatan pembelajaran lebih terarah dan
terukur. Beliau menggabungkan sisi baik model pendidikan pesantren dengan model
pendidikan Barat untuk diterapkan dalam pendidikan Islam. Kegiatan pendidikan
dilakukan di dalam kelas, materi pelajaran tidak hanya pengetahuan agama saja
tetapi dilengkapi dengan materi ilmu pengetahuan umum. Kedua, di bidang
sosial beliau berkonsentrasi pada empat hal yaitu, mewujudkan bidang pendidikan
dan guruan sehingga bisa membangun gedung universitas, mengembangkan agama
Islam dengan jalan dakwah dengan membangun langgar, masjid dan madrasah
pendakwah di daerah untuk tempat pengajian, pengkajian dan ibadah, membangun
rumah sakit untuk menolong masyarakat yang menderita sakit serta membangun
rumah miskin dan rumah yatim dan menyiarkan agama Islam dengan mengedarkan
selebaran, majalah dan buku secara gratis atau dengan berlangganan. Pengetahuan
yang disampaikan dalam majalah atau buku ditulis dengan bahasa yang dimengerti
oleh masyarakat, sehingga pesan yang akan disampaikannya dapat dipahami. Ketiga, di
bidang keagamaan beliau berusaha keras untuk menghilangkan stigma kaum penjajah
bahwa agama Islam itu kolot dan bodoh, karena itu umat Islam perlu diberikan pencerahan
ilmu dan iman. Beliau pernah mengatakan, “Manusia itu semua mati (perasaannya)
kecuali para ulama (orang-orang yang berilmu). Ulama itu dalam kebingungan,
kecuali mereka yang beramal, mereka yang beramalpun semuanya khawatir kecuali
mereka yang ikhlas dan bersih”. b. Ilmu
pengetahuan dan agama adalah pengikat kehidupan manusia Kiai Ahmad
Dahlan menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki perasaan yang sama. Perasaan
yang sama inilah yang akan membawa manusia pada kemajuan dan peradaban.
Perasaan yang sama ini timbul sebab dua alasan yaitu berasal dari satu
keturunan yaitu Adam dan Hawa dan tujuan kedamaian dan kebahagiaan dalam
kehidupan. Menurutnya, jika belum timbul perasaan yang sama, maka lakukan tiga
hal yaitu menganggap ilmu pengetahuan itu penting untuk dipikirkan, mempelajari
ilmu pengetahuan dengan serius dan cermat, dan Tiga hal di atas dapat mengikat
kehidupan manusia dan menimbulkan perasaan yang sama. Hal tersebut juga akan
mengurangi kebodohan universal, kertidaksepakatan dengan pembawa kebenaran, dan
ketakutan akan jabatan, status, pekerjaan dan kesenangan. Dalam
implementasinya, beliau pernah mengingatkan bahwa setiap orang butuh agama
untuk menerangi kehidupan dan membawa kepada kebenaran, setiap orang juga harus
mencari pengetahuan baru tanpa membedakan asal pengetahuannya dari kelompok
mana untuk menghilangkan kebodohan universal dan setiap orang harus mengamalkan
pengetahuan yang sudah dipahaminya agar tidak membiarkan pengetahuan terbuang
atau hanya ada pada pikiran semata.ngatur kehidupan dengan instrumen al-Qur`an.