1. Biografi
Kiai Hasyim Asy’ari
Muhammad Hasyim
bin Asy’ari bin ‘Abdil-Wahid bin ‘Abdil-Halim bin ‘Abdil-Rahman bin ‘Abdillah
bin ‘Abdil-‘Aziz bin ‘Abdillah Fattah bin Maulana Ishaq atau kerap dipanggil
dengan Kiai Hasyim dilahirkan pada tanggal 2 Dzulqa’dah 1287/14 Februari 1871
di Desa Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Beliau lahir di pesantren
milik kakeknya dari pihak ibu, yaitu Kiai Usman yang didirikan pada akhir abad
ke 19. Beliau adalah anak ketiga dari pasangan Halimah yang silsilahnya sampai
pada Brawijaya VI dan Ahmad Asy’ari yang silsilahnya sampai pada Joko Tingkir.
Sejak kecil
tanda-tanda kecerdasan dan ketokohan terlihat pada beliau. Seperti pada umur
ke-13, beliau berani menjadi guru pengganti di pesantren untuk mengajar santri-santri
yang tidak sedikit yang lebih tua. Pada umur ke-15, beliau mulia pergi menuntut
ilmu ke berbagai pesantren di Jawa dan Madura. Dimulai dari Pesantren Wonokoyo,
Probolinggo, Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Trenggilis, Semarang, dan
Kademangan, Bangkalan.
Di kota
Bangkalan, beliau diasuh oleh ulama yang terkenal di Madura yaitu Kiai Kholil
atau sering dipanggil Kiai Kholil Bangkalan. Setelah di Pesantren Kademangan,
beliau berpindah lagi pada tahun 1891 ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo dalam
asuhan Kiai Ya’kub.
Beliau menikah
saat berumur 21 tahun dengan Khadijah, putri Kiai Ya’kub. Setelah menikah,
beliau dan istrinya menunaikan ibadah haji ke Makkah. Beliau kembali setelah
tujuh bulan di sana, yaitu saat istri dan anaknya yang baru berumur dua bulan,
Abdullah meninggal dunia.
Pada tahun 1893,
beliau pergi ke Makkah lagi dan menetap di sana selama 7 tahun. Di sana, beliau
berguru kepada Syaikh Mahfuzh Termas, Syaikh Mahmud Khatib al-Minangkabauwy,
Imam Nawawi al-Bantani, Syaikh Dagistany, Syaikh Syatha, Syaikh al-Allamah
Hamid al-Darustany, Syaikh Ahmad Amin al_Athar, Sayyid Sultan bin Hasyim,
Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghriby, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Athar, Sayyid
Abbas Maliki, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syaikh
Saleh Bafadhal. Selain belajar, beliau juga mengajar di Makkah. Beberapa murid
beliau adalah, Syaikh Sa’dullah al-Maimani (mufti di India), Syaikh Umar Hamdan
(ahli hadis di Makkah), Asy-Syihab Ahmad bin Abdullah (dari Suriah), Kiai Wahab
Hasbullah (pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai
Dahlan (Kudus), Kiai Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar, Jombang), dan
Kiai Shaleh (Tayu).
Pada tahun 1899,
beliau pulang ke tanah air dan mengajar di pesantren milik kakeknya. Lalu
beliau mengajar di Kemuning, Kediri yang merupakan kediaman mertuanya. Kemudian
mendirikan sebuah pesantren yang sering disebut dengan Pesantren Tebuireng,
Cukir, Jombang.
Beliau tidak
hanya dikenal sebagai kiai ternama saja, melainkan sebagai petani dan pedagang
yang sukses. Dari hasil pertanian dan perdagangan ini beliau membiayai keluarga
dan pesantren yang beliau asuh.
Beliau wafat
pada tanggal 25 Juli 1947 dan meninggalkan beberapa putra-putri yaitu Hannah,
Khoiriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak, Abdul Wahid, Abdul Khaliq, Abdul Karim,
Ubaidillah, Masrurah, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Khodijah, dan
Muhammad Ya’kub.
Beliau juga
meninggalkan tulisan pemahaman keilmuannya pada beberapa kitab yaitu, at-Tibyan
fi an-Nahyi ‘an Muqata’at al-Arham wa al-Aqarib wa al- Ikhwan, Muqaddimah
al-Qanun al-Asasi, Risalah fi Ta’kid al-Ahzi bi al-Mazhab al-Aimmah al-Arba’ah,
Mawa’i, Arba’ina Hadisan, an-Nur al-Mubin, at-Tanbihat al-Wajiban, Risalah Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah, Ziyadah Ta’Liqat ‘ala Manzumah Syaikh ‘Abdullah bin
Yasin al-Fasuruani, Żaw’il Misbah, ad-Durar al-Muntasyirah, al-Risalah fi
al-‘Aqaid, al-Risalah fi at-Tasawuf, Adab al-‘alim wa al-Muta’allim, Tamyiz
al-Haq min al-Batil. Beberapa lainnya masih berupa manuskrip, yaitu Hasyiyat
‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syaikh al-Islam Zakariyya
al-Ansari, al-Risalah al-Tauhidiyah, al-Qalaid fi Bayan ma Yajid min al-‘Aqaid,
al-Risalah al-Jama’ah, Tamyiz al-Haq min al-Batil, al-Jasus fi ahkam an-Nuqus,
dan Manasik Sugra.
2. Teladan
dari Kiai Hasyim Asy’ari
a. Berkhidmah
Kepada Guru
Ada cerita yang
cukup mengagumkan tatkala Kiai Hasyim bersama dengan Kiai Kholil. Suatu hari,
beliau melihat Kiai Kholil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya.
Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim pun
mengusulkan agar Kiai Kholil membeli cincin lagi. Kiai Kholil pun mengatakan
bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah
guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut
didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC,
dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim
menemukan cincin tersebut.
Alangkah bahagianya
Kiai Kholil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim
menjadi sangat dekat dengan Kiai Kholil, baik semasa menjadi santrinya maupun
setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terlihat dengan pemberian
tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama`.
b. Berkhidmat
pada Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kiai Hasyim
adalah seseorang yang memberi fatwa bahwa Hindia Belanda adalah darussalam
karena memberi kebebasan umat Islam untuk menjalankan syariat Islam. Tetapi
ketika kita dalam proses mendirikan negara, beliau memfatwakan untuk berjuang
supaya Islam menjadi dasar negara. Seperti saat Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa
jihad pada 17 September 1945 yang berbunyi 1) Hukumnya memerangi orang kafir
yang merintangi kemerdekaan kita adalah fardlu ‘ain bagi setiap orang Islam
yang mungkin meskipun bagi orang fakir. 2) Hukumnya orang yang meninggal dalam
peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid. 3) Hukumnya
orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Selanjutnya
pengukuhan Resolusi Jihad digelar dalam rapat para ulama se-Jawa dan Madura
pada tanggal 22 Oktober 1945. Pengukuhan tersebut ditutup oleh pidato Kiai
Hasyim yang berbunyi, “Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan tidak
turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan
sebagaimana disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang
tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah. Demikianlah maka sesungguhnya
pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela
kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka,
tidak akan surut seujung rambut pun. Barang siapa memihak kepada kaum penjajah
dan condong kepada mereka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau
barisannya. Maka barangsiapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat,
pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya”.
Fatwa Resolusi
Jihad pun disebarluaskan dan dengannya mampu menggerakkan rakyat Indonesia
untuk melawan dan mengusir penjajahan kembali oleh Belanda. Fatwa tersebut
menggambarkan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan kewajiban
agama.
c. Pendidikan
Pesantren Karakter Kebangsaan
Pertama,
pendidikan karakter pesantren berupaya mengajak bangsa ini untuk mandiri bukan
hanya dalam soal ekonomi dan politik. Tapi juga dalam kebudayaan dan kerja
pengetahuan. Dalam pendidikan seperti ini, anak-anak kita diajarkan bahwa bangsa
ini juga punya pengetahuan sendiri, tahu, dan berilmu.
Ada kebanggaan
tersendiri untuk tahu tentang dirinya sebagai bangsa, punya tradisinya sendiri,
dan juga percaya diri bahwa mereka bisa melakukan kerja pengetahuan yang bebas
dan mandiri. Acuan pendidikan pesantren adalah dasardasar kehidupan berbangsa
dan bermasyarakat, yang diperoleh dari masa sejak abad pertama masuknya Islam,
dan juga sebagian mengambil inspirasi dari masa Hindu-Budha (seperti
lakon-lakon pewayangan) untuk kemudian diolah sesuai dengan jiwa pendidikan
pesantren.
Kedua,
pendidikan karakter pesantren mengajarkan anak didiknya untuk bergaul dan
bersatu di antara sesama anak bangsa se-Nusantara, apapun suku, latar belakang
dan agamanya. Mereka diajarkan untuk saling berinteraksi secara harmonis di
antara berbagai komunitas bangsa tersebut. Kalau ada perselisihan, mereka
diminta untuk berdamai melalui mediasi para ulama pesantren atau yang ditunjuk
oleh orang pesantren untuk memerankan fungsi mediasi tersebut. Seperti peran
para ulama Makkah di abad 17 yang meminta Banten, Mataram dan Bugis-Makassar
untuk bersatu, juga peran Kiai Haji Oemar di Tidore, Maluku, paruh kedua abad
18 yang menyatukan para pelaut Indonesia Timur dari berbagai agama dan suku
untuk bersatu menghadapi Inggris dan Belanda.
Ketiga,
pengetahuan diabdikan bagi kepentingan dan keselamatan nusa dan bangsa ini. Itu
sebabnya pesantren mengajarkan berbagai jenis kebudayaan Nusantara yang akan
menjadi alat perekat, pertahanan dan mobilisasi segenap kekuatan bangsa ini.
Keempat, karena
pergaulannya yang begitu rapat dengan bangsa-bangsa lain di jalur perdagangan
dunia di Samudera Hindia, orang-orang pesantren juga mengajarkan anak-anak
bangsa ini cara-cara menghadapi dan bersiasat dengan bangsa-bangsa lain
terutama dengan orang-orang Eropa (kini Amerika) yang berniat menguasai wilayah
di Asia Tenggara.
Kelima,
orang-orang pesantren juga mengajarkan kepada anak-anak bangsa ini untuk
memaksimalkan serta memanfaatkan segenap potensi ekonomi dan sumber daya negeri
ini. Itu sebabnya pesantren hadir di dekat sumber-sumber mata air dan
sumber-sumber kekayaan alam.